Bab 18

59K 3.5K 24
                                    

"Suatu cinta dapat menjadi ilusi dalam sekejap dan suatu kebencian dapat menjadi kepercayaan tanpa disadari"

*****

Amaya tidak lagi mampu menatap lebih lama iris cokelat pria itu. Perasaannya yang telah hancur seakan kembali meluap ke permukaan, hanya karena berada di tempat yang sama dengannya.

Ia pun perlahan bangun dari kursi. Bersiap untuk pergi. Namun, sebuah genggaman menghentikan dirinya. Genggaman tangan dari pria yang entah memiliki arti apa dalam hidupnya.

.

.

Wanita itu melihat Rava dengan raut wajah yang sangat tersiksa. Membuat pria itu kehilangan kata. Hanya mampu menatap kembali wajah tersebut dengan tetap menggenggam tangan Amaya.

Seakan sadar akan kondisi yang terjadi, wanita itu pun langsung kembali duduk di samping Rava dan perlahan melepas tangannya dari genggaman. Ada sedikit perasaan kehilangan yang menyelimuti Rava, tetapi dengan cepat pria itu mencoba untuk melupakan. Tetap fokus pada pertemuan pertamanya dengan pria matahari Amaya.

.

.

-Flashback-

"Aku sudah menghubunginya."

"Siapa?" tanya Amaya ragu-ragu.

"Pria itu. Ia bilang dapat bertemu besok malam."

Amaya tidak membalas. Hanya menatap kosong. Melihat Rava bagai pria itu tembus pandang.

"Persiapkanlah dirimu. Jangan sampai ia sadar bahwa ada yang tidak beres dengan pernikahan kita."

"Aku tahu. Aku tidak akan mengkhianatimu," jawabnya singkat lalu pergi keluar kamar. Meninggalkan Rava yang masih menatap pintu kamar yang tertutup.

"Aku tahu kamu tidak akan mengkhianatiku, itu sebabnya aku memanfaatkan kebaikanmu."

.

.

"Apa kamu yakin dengan semua ini?" tanya Amaya sekali lagi.

"Tentu saja. Kamu bilang ingin dirinya pergi, maka hanya ini satu-satunya jalan," jelas Rava pada Amaya sebelum akhirnya mereka memasuki sebuah restoran bintang lima di Bilangan Jakarta Pusat.

Saat pelayan datang, Rava lantas menjelaskan, dan dengan cekatan pelayan itu langsung membawa mereka ke sebuah meja yang telah direservasi. Tidak lupa buku menu diserahkan pada Amaya dan Rava. Namun, tidak satu pun dari mereka membuka buku berlapis beludru hitam tersebut.

Amaya tidak bisa tenang saat itu. Ketimbang memesan makanan, ia lebih memilih untuk melihat ke arah pintu restoran. Menanti Ragil dengan cemas yang amat kentara.

"Tenanglah. Aku ada di sampingmu."

"Aku tahu, jika tidak ada kamu, aku bahkan tidak akan berani menemuinya."

Mendapat jawaban jujur seperti itu, sontak membuat degup Rava berdebar lebih keras. Beruntung, Amaya masih fokus melihat pintu, jadi Rava dapat menyembunyikan perasaannya untuk sesaat. Ya ... sesaat, karena belum sempat pria itu menata kembali perasaan, iris abunya sudah menangkap sesosok pria yang sudah berjalan ke arah mereka. Dengan penuh percaya diri, membuat Rava geram.

Sesampainya di meja, Ragil langsung duduk berhadapan dengan Amaya dan Rava. Namun, tidak menganggap Rava ada, kedua mantan kekasih itu hanya memandang satu sama lain. Berusaha mengambil alih situasi, Rava pun mulai membuka suara.

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang