Bab 28

49.8K 2.8K 12
                                    

"Sama seperti seekor laba-laba, terkadang suatu momen juga menunggu kita untuk terperangkap di dalam jerat jaringnya."

*****

Ruang tunggu lobi menjadi trauma tersendiri bagi Amaya. Semenjak kejadian bersama Rava, wanita itu menjadi agak enggan untuk berlama-lama menunggu di lobi kantor. Namun, dirinya tidak memiliki pilihan. Ia harus menginjakkan kaki di sana untuk mengambil kembali ponselnya.

Amaya sudah membuat janji sebelumnya dengan Kintan agar bisa bertemu di kantor wanita itu. Ia sudah tidak sanggup berlama-lama tanpa ponsel kesayangannya tersebut. Tidak lupa, Amaya juga membawakan Kintan sekotak kue sebagai tanda terima kasih.

"Permisi," ucapnya pada seorang resepsionis.

"Iya, Bu. Ada keperluan apa?"

"Saya ingin bertemu Ibu Kintan dari bagian Marketing. Apakah bisa?"

"Apa sebelumnya sudah membuat janji?"

"Sudah."

Setelah mendengar Amaya, lebih dahulu resepsionis itu memastikan melalui interkom. Baru saat persetujuan didapat, Amaya diperbolehkan untuk masuk dengan menggunakan id card tamu.

Tidak lagi menunggu, wanita itu lantas masuk ke dalam lift untuk bergegas ke lantai tujuh menuju ruangan Kintan. Setibanya di lantai tersebut, Amaya langsung disambut oleh seorang wanita cantik yang sudah tersenyum ramah padanya.

Wanita itu tinggi meski hanya menggunakan heels dengan senti yang pendek. Kulitnya yang seputih kertas ditutup dengan celana bahan hitam dan blouse biru muda yang tampak indah saat dipakainya.

"Amaya, bukan?" tanyanya dengan sopan.

"Ah, iya. Apa benar ini dengan Ibu Kintan?"

"Tidak perlu formal denganku. Panggil Kintan saja," jawab Kintan sembari memeluk sebentar Amaya.

"Ayo, masuk ke ruanganku," lanjutnya sudah melepas pelukan dan menuntun Amaya untuk berjalan bersamanya.

Keduanya pun lantas masuk ke dalam sebuah ruangan yang seluruh dindingnya berupa kaca buram dengan sebuah pintu kayu menjadi penghubung di tengah.

"Silakan duduk di sana," pinta Kintan sambil satu tangannya menunjuk sebuah sofa berwarna merah yang berada di sudut ruang. Tepat di hadapan sofa tersebut, sudah ada satu meja kecil berbentuk persegi serta sebuah sofa lainnya dengan warna senada.

"Terima kasih," balas Amaya pelan.

Wanita itu sudah berjalan ke arah sofa. Lantas duduk sambil masih menggenggam kotak kue yang dibawanya.

"Amaya ingin minum apa?"

Kintan sudah bertanya sekali lagi saat satu tangannya sudah berhasil mengangkat gagang interkom.

"Tidak perlu repot-repot. Aku tidak haus, kok."

"Aku juga tidak repot, kok."

"Hmm ... kalau begitu teh saja."

"Baiklah. Tunggu sebentar, ya."

Setelah mendapat jawaban, maka dalam sekejap, Kintan langsung memesankan minuman Amaya pada OB, kemudian menutup interkom setelah selesai meminta.

"Kamu ke sini sendiri?"

Kintan sudah mengajak bicara lagi Amaya sembari dirinya sibuk memeriksa laci-laci meja kerjanya.

"Iya, sendiri. Kebetulan aku dalam masa cuti, jadi bisa leluasa untuk membuat janji denganmu."

"Wah, irinya. Aku juga ingin cuti sepertimu."

"Tidak perlu iri. Aku pun mengambil cuti karena terpaksa. Lagi pula, berlama-lama di rumah juga bosan."

"Tentu saja bosan, jika tanpa ini," sahut Kintan cepat sambil menunjukkan ponsel Amaya yang sudah diketemukannya dari salah satu laci.

"Ah, ponselku," balas Amaya dengan mata berbinar.

Melihat respon Amaya yang kelewat senang, membuat Kintan ikut tertawa bersamanya. Setelah mengambil ponsel, wanita itu langsung melangkah kembali. Lantas duduk di depan Amaya dan menyerahkan ponselnya itu.

"Kali ini dijaga. Jangan sampai tertinggal lagi."

"Tentu saja. Aku akan menjaganya baik-baik."

Amaya sudah meraih ponselnya. Langsung memeluk mesra tanpa malu di hadapan Kintan.

"Oh, iya. Ini hadiah kecil untukmu. Terima kasih sudah menjaga ponselku."

Amaya menyimpan dulu ponselnya dalam tas, kemudian menyerahkan kotak kue yang sudah dibawanya sedari tadi.

"Wah, terima kasih. Aku suka sekali kue dari toko ini."

"Benarkah? Syukurlah, jika kamu suka."

Obrolan mereka terputus saat keduanya mendengar suara ketukan pintu dari luar. Membuat Kintan refleks berdiri dan membukakan pintu itu.

"May, minumnya sudah datang. Kita makan dulu kue sambil minum, yuk. Sekalian kamu menemani aku istirahat sejenak."

Tanpa berpikir lagi, Amaya langsung menyetujui tawaran Kintan. Memperpanjang waktu pertemuan mereka untuk lebih banyak bercerita satu sama lain.

.

.

"Kamu sudah menikah, May?"

"Hmm ... meski belum terlalu lama, sih."

"Wah, aku bahkan tidak sangka, loh. Kamu terlihat masih sangat muda."

"Ah, kamu bisa saja."

"Sungguh. Sekali lagi kamu membuatku iri, deh."

"Memang kenapa kamu belum menikah sampai sekarang?"

"Aku terlalu gila kerja, May. Aku saja masih harus menyesuaikan diri untuk tinggal di Jakarta. Sampai beberapa tahun lalu, aku soalnya ditempatkan pada head office di Amerika."

"Oh, kamu baru balik lagi ke sini?"

"Iya. Baru sekitar sebulan? Atau kurang? Entahlah, tetapi beban kerjaku tetap saja banyak. Aku bahkan sudah dikirim-kirim untuk urusan dinas di kota lain."

"Kelihatannya sangat berat, ya. Aku jadi tidak enak padamu."

"Tidak masalah. Lagi pula, aku masih menunggu seseorang juga."

Amaya hendak bertanya lagi, tetapi niatnya urung saat pintu kerja Kintan kembali diketuk. Kali itu, bukan OB yang datang, melainkan sekretarisnya yang menyela untuk mengabarkan Kintan akan tamu lain yang sudah datang dan menunggu dirinya di lobi bawah.

Sadar akan kehadirannya yang sudah cukup menyita waktu Kintan, maka dengan cepat Amaya pamit pulang. Tidak lupa wanita itu mengucapkan sekali lagi rasa terima kasihnya.

"Ayo, aku antar sekalian," ajak Kintan sudah berdiri. Siap untuk mengantar Amaya turun ke bawah.

Sesampainya di lobi, mereka kembali mengucapkan salam perpisahan. Lantas berpelukan, sebelum akhirnya berpisah. Kintan menuju ruang tunggu tamu, sementara Amaya memutuskan untuk ke kamar kecil lebih dahulu.

Namun, belum sampai dirinya di kamar kecil, tiba-tiba saja Amaya menghentikan langkah sambil memandang lurus ke depan.

"Amaya ...," panggil seorang pria yang sudah berdiri di hadapannya.

Tidak menjawab, Amaya hanya bisa terdiam sembari membulatkan matanya dengan sempurna. Merasa waktu seakan terhenti. Ingin menolak nyata akan kemunculan Ragil yang kembali membuatnya sesak.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang