"Apakah kebahagiaan yang tidak dapat ditanggulangi adalah sebuah kebahagiaan? Atau malah kemalangan?"
*****
Kehadiran Rava bagai badai yang memutar balik hidup Amaya dalam seketika. Setelah beragam kegilaan sesaat yang terjadi begitu cepat, tiba-tiba saja pria itu sudah tidak ada di sisi Amaya. Lantas meninggalkan dirinya seorang diri untuk perjalanan bisnis.
Cuti panjang yang terlanjur diambil wanita itu menjadi sia-sia. Menjadikan dirinya hanya bisa pasrah sembari bermalasan di rumah.
Tidak ada banyak hal yang bisa Amaya lakukan untuk menghabiskan waktu. Setelah anak-anak berangkat sekolah, maka seperti koala, wanita itu hanya tiduran di atas tempat tidur sembari sesekali memainkan ipad milik Rava yang sudah dipinjam lebih dahulu.
"Hah, bosan sekali," lirihnya pelan dengan pandang melihat langit-langit kamar.
Wanita itu sudah meletakkan ipad ke atas nakas. Lantas bangun dan duduk bersila di atas tempat tidur.
"Sudah tiga hari aku hanya bermalasan seperti ini. Haruskah aku menghubungi Rava?"
Dirinya menimbang kemungkinan itu. Sudah sewajarnya juga sebagai istri, Amaya perlu menghubungi pria yang masih sah menjadi suaminya tersebut.
Maka, tidak lagi meragu, Amaya langsung meraih kembali ipad. Mencari dial number Rava di sana.
"Tunggu. Bagaimana jika dia sedang sibuk sekarang? Nanti aku malah dimarahi karena mengganggunya," duganya sembari menghentikan gerakan jemari. Dalam diam, Amaya meragu lagi akan pilihannya.
"Lebih baik aku hubungi Hilmi saja. Rava bilang pria itu juga ikut bersamanya 'kan. Jadi, aku tidak akan mengganggu kerjanya."
Mendapat solusi terbaik, maka beralih dari dial number Rava, sekarang Amaya sudah mencari dial number milik Hilmi. Langsung menghubungi begitu dirinya menemukan nomor itu.
Pada dering pertama ia merasa gugup. Jantungnya semakin berdebar di dering kedua. Kemudian, dirinya lantas mematikan panggilan pada dering ketiga.
"Tunggu. Kenapa aku jadi gugup begini?"
Seperti orang bodoh, Amaya sekarang malah sibuk berdebat dengan diri sendiri. Mungkin karena ia terlalu pengecut. Tidak siap untuk mendengar berat suara Rava yang dapat langsung membuat gugup dirinya.
Pada akhirnya, wanita itu menghubungi lagi Hilmi. Menunggu cukup lama sampai panggilan tersambung. Diangkat oleh seorang pria yang tidak lain adalah Rava.
.
.
[Halo, May. Kenapa menghubungi?]
[Ra ... va?] tanya Amaya ragu.
[Iya, ini aku. Kamu ingin bicara denganku, 'kan?]
[Aku memang ingin bicara denganmu, tetapi kenapa kamu mengangkat ponsel milik Hilmi?]
[Pria itu yang langsung menyerahkan ponselnya padaku saat melihat nomor yang tertera adalah nomor ipad-ku. Memang kenapa? Kamu kecewa aku yang mengangkat.]
Suaminya itu sudah menuduh dengan sedikit kesal. Sebenarnya, selama tiga hari tersebut, Rava sudah ingin menghubungi Amaya untuk mendengar kabarnya bersama anak-anak. Namun, ia urung. Takut jika semakin rindu saat mendengar suara Amaya.
[Tidak kecewa, kok. Aku hanya bingung saja.]
[Kenapa tidak langsung menghubungi ponselku?]
[Aku takut mengganggu kerjamu.]
Tidak mengganggu. Justru aku menantikannya, batin pria itu menjawab. Namun, bibirnya berucap beda.
[Sudahlah. Jadi, kenapa menghubungiku?]
[Aku ... aku hanya ingin mengabari kalau aku sudah membuat janji untuk mengambil ponselku.] dusta Amaya.
[Hah? Kamu repot-repot menghubungi hanya untuk mengabariku tentang itu.]
[Hmm ... tidak juga, sih. Aku ... aku—]
[Aku rindu padamu dan anak-anak.]
Rava sudah memotong. Merasa tidak sabar untuk menunggu Amaya berkata jujur.
[Kami baik-baik saja di sini. Bagaimana denganmu?] balas Amaya mengalihkan pembicaraan.
[Tidak ada masalah. Pekerjaan berjalan lancar.]
[Kapan kamu akan pulang?]
[Mungkin lusa. Masih ada yang harus aku selesaikan.]
[Jangan lupa bawa oleh-oleh. Hana dan Dava sudah sering memintaku untuk memberitahumu.]
[Kamu sendiri. Apa kamu tidak mau oleh-oleh?]
[Pulang saja dengan selamat. Dirimu sudah menjadi oleh-oleh bagiku.]
[Baiklah. Kalau begitu kututup dulu, ya.]
Rava sudah bersiap untuk memutus sambungan, sampai dirinya mendengar lagi suara lembut Amaya dari ujung sambungan.
[Kenapa lagi?]
[Aku juga merindukanmu.]
Maka, kalimat itu lantas mengakhiri panggilan di antara keduanya. Berhasil menciptakan senyum lebar pada wajah kaku Rava.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa

KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...