Bab 6

74.1K 4.5K 36
                                    

"Tidak akan ada asap jika tidak api. Tapi, kenapa bisa ada asap di hadapanku saat aku sedang tidak bermain api?"

.

.

Rava hanya menatap kosong berkas-berkas yang berserakan di atas meja kantornya. Urusan bisnis yang memakan waktu dua bulan di Eropa membuat pekerjaan pria itu di kantor terus menumpuk hingga melihat tumpukannya saja sudah membuatnya jengah.

Padahal ia baru saja sampai dan masih mengalami jet lag. Entah karena tidak ada karyawan yang kompeten atau karena memang sudah menjadi tugasnya untuk melakukan pemeriksaan akhir terhadap seluruh dokumen yang ada, membuat Rava mau tak mau harus langsung bekerja setibanya di Indonesia.

Apa gunanya uang kalau istirahat pun aku tak bisa menikmatinya.

Mencoba untuk sedikit menghibur diri sendiri, maka pelan pria itu mendengus. Lantas melirik ke arah kalender yang berada di pojok meja.

Tanggal 5 Mei ... hari Kamis. Sudah lama aku tidak melihat wanita kamisku. Apa dia tetap datang setelah kejadian tatapan mata kami terakhir kali, ya?

Pria itu akhinya memutuskan bangun dari kursi dan berbalik arah menghadap jendela kaca besar di belakangnya. Tidak ada siapa pun di sana. Di bangku taman yang biasanya wanita itu duduki. Padahal sekarang sudah masuk jam makan siang dan harusnya wanita itu sudah ada di sana. Entah dengan sebuah buku di tangan, kotak bekal, ataupun hanya sekedar mendengarkan lagu lewat ponselnya.

"Ayo, cabut, Rav! Malah bengong lagi di sana," ucap seseorang yang dibarengi dengan suara pintu terbuka. Membuat kerut dahi Rava mendadak muncul. Sadar akan pemilik suara yang mengganggu dirinya itu.

"Aku sudah bilang lebih dari seratus kali, Mi. Kalau masuk ketuk pintu dulu!"

"Lupa, Rav. Hehehe ... sudahlah, dibanding diam tidak jelas, lebih baik kita cari makan."

Merasa pasrah, membuat pria itu pun akhirnya membalik badan dan ikut Hilmi turun ke bawah tanpa perlawanan. Ya ... mungkin sekarang sudah saat tepat baginya untuk melupakan. Menghapus wanita yang sempat menarik perhatiannya itu untuk selamanya.

.

.

"Mbak, bisa tolong ketemu sama Pak Rava Herdiansyah?" tanya seorang wanita pada resepsionis di depannya.

"Maaf, Bu. Sudah buat janji sebelumnya?"

"Rava bilang enggak perlu buat janji dulu, sih. Oh iya, bilang saja kalau tunangannya menunggu di bawah. Namanya Amaya," jawab wanita itu dengan senyum termanisnya.

"Baik, Bu. Sebentar saya sampaikan."

Mendengar kata 'tunangan' membuat resepsionis itu menjadi agak terbebani. Langsung mengangkat interkom dan berusaha menghubungi sekretaris Rava tanpa banyak bicara. Hampir satu menit ia mencoba, tetapi sia-sia. Tidak ada yang mengangkat seperti ingin menunjukkan bahwa semua pasti sedang sibuk untuk memaksimalkan waktu istirahat makan siang.

"Maaf, Bu. Sepertinya sekretaris maupun Pak Rava sedang keluar makan siang. Saya sudah mencoba untuk menghubungi keduanya, tetapi tetap tidak ada yang mengangkat," jelas resepsionis tersebut dengan raut wajah bersalah.

"Ah, tidak masalah. Jika begitu sa-"

Ting!

Pintu lift terbuka dan dari sana terlihat beberapa karyawan yang keluar. Tidak dikenal Amaya kecuali seorang pria tampan yang memang menjadi sasarannya sejak awal. Membuat wanita itu langsung menyeringai dingin seakan telah mendapat buruannya.

"Awalnya saya ingin menunggu. Namun, sepertinya takdir memutuskan untuk berkata berbeda."

.

.

Iris abu Rava langsung dapat menemukan sosok wanita yang sempat dicarinya begitu pintu lift terbuka. Pria itu bahkan sampai melebarkan kedua mata, ingin memastikan lebih jelas wanita yang saat itu bahkan sudah melangkah perlahan ke arahnya. Membuat langkah Rava terhenti. Hanya bisa diam seakan waktu benar terhenti saat itu.

Plakk!

Sebuah tamparan keras melayang di pipi kanannya. Belum sempat ia merasa sadar akan segala situasi, tetapi tiba-tiba saja pipi kirinya juga ikut ditampar. Menambah rasa sakit yang berdenyut di wajah tampannya itu.

Apa ... apa yang sebenarnya sedang terjadi?!

Seakan ingin menambah kebingungan Rava, maka tidak membuang sedetik pun waktu, Amaya lantas mendorong pria itu dengan kedua tangan. Membuatnya langsung jatuh ke atas lantai tanpa pertahanan apa pun. Tidak hanya mendorong, wanita itu juga sudah mengeluarkan setoples garam. Membuka tutupnya dan menuangkan butir putih tersebut tepat ke atas kepala Rava.

Tanpa perlu melihat kondisi sekitar, mereka berdua yakin bahwa seluruh mata sedang memperhatikan adegan tersebut. Adegan di mana seorang bos besar seperti Rava dipermalukan secara luar biasa oleh wanita yang tiba-tiba muncul itu.

Merasa sadar akan kenyataan tersebut, maka dengan tatap marah, Rava sudah mendongakkan kepala. Melihat wanita yang balas menatapnya tanpa sedikit pun takut.

"Heh, brengsek! Berani-beraninya kamu kabur setelah bikin anak!"

"Anak? Anak yang mana?!"

"Enggak perlu sok bodoh, deh! Setelah merasakan enaknya sekarang dengan gampangnya kamu tinggal semua masalah yang terjadi!" teriak wanita itu makin keras.

"Dasar, wanita gila! Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu, jadi jangan seenaknya menuduh seperti sekarang!"

"Kamu ini pura-pura atau memang bodoh benaran, sih? Kamu mau makin buat drama sama aku? Oke! Sekalian saja kita buat pengakuan agar semua orang tahu. Biar publik mendengar bahwa kamu ini hanya seorang pria pengecut yang hanya bisa lari dari kenyataan!"

Drama? Ini sinetron? Atau kamera tersembunyi? Sebenarnya apa yang sedang terjadi sekarang?!

"Kenapa diam saja?! Apa selain bodoh kamu juga bisu, hah?! Sudahlah, intinya aku ingin memberi peringatan. Ingat bahwa kamu tidak perlu muncul lagi di depanku! Ah, dan perlu juga kamu tahu bahwa aku akan sebar semua perbuatanmu itu sampai viral di sosial media! Dasar, penjahat kelamin!" pekik Amaya pada akhirnya yang masih membuat Rava shock karena tidak percaya.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang