Bab 42

24.1K 1.2K 1
                                    

"I don't care how hard being together is, nothing is worse than being apart."—Starcrossed by Josephine Angelini

.

.

Rava bingung. Ia berusaha menghubungi semua sahabat Amaya, tetapi hasilnya nihil. Rava tetap tidak bisa menemukannya. Sejak awal, Rava sudah khawatir akan wanita itu. Ponselnya sejak siang hari mati. Seharian pesan dari Rava diabaikan olehnya. Pria itu pun tetap tidak bisa menemukan sosok istrinya saat pulang. Rava benar-benar khawatir.

Pukul 23.18, sesaat sebelum ia akan melapor pada polisi, suara gerbang terbuka. Dengan cepat, Rava menghampiri pintu utama dan membukanya. Benar saja, ia menemukan Amaya. Istrinya, dengan raut wajah lelah. Belum sempat ia berkata, wanita itu sudah berlari dan memeluknya. Amaya menangis.

"Kamu kenapa?!"

Wanita itu hanya menangis tanpa menjawabnya sedikit pun. Tidak ingin memperburuk keadaan, Rava menggendongnya ke dalam, membawa Amaya ke kamar mereka. Ia tetap menangis, terus seperti itu dan Rava hanya bisa menenangkan.

"Kenapa?"

"Aku takut ... aku takut kamu pergi meninggalkanku," jawabnya dengan terus terisak.

"Aku di sini, May. Aku di sini. Aku enggak akan meninggalkanmu."

Amaya mulai menenangkan diri. Perlahan, ia menjauh, menghapus sisa air mata dan menatap Rava dengan mata sembabnya.

"Aku bertemu dengannya. Kintan. Kekasihmu."

Rava kaget dan terdiam untuk beberapa saat. Sebelumnya, ia memang tidak curiga, karena tidak ada pergerakkan apa pun yang terjadi. Namun, ternyata dugaannya salah. Wanita licik seperti Kintan pasti memang akan melakukan sesuatu pada Amaya.

Dengan sekali gerakkan, pria itu meraih istrinya. Memeluknya dalam dengan teramat sayang.

"Aku bukan kekasihnya, May. Sejak awal aku bahkan tidak menganggap hubungan kami sebagai sepasang kekasih."

Amaya terdiam. Rava pun melanjutkan ucapannya.

"Kamu tahu, aku dulu tidak peduli tentang cinta. Bagiku, cinta hanyalah suatu hal yang egois. Ibuku meninggalkan Ayah karena cinta egoisnya pada pria lain. Ayahku meninggalkanku karena cinta egoisnya pada Ibu. Sebulan setelah Ibu meninggal karena kecelakaan dengan prianya, Ayah memutuskan bunuh diri. Mereka meninggalkanku seorang diri."

"Maaf."

"Tidak. Tidak perlu meminta maaf. Aku sudah melupakan semua itu."

Amaya melonggarkan pelukan Rava, mendongak, dan berkata, "Mengapa?"

"Karenamu. Bertemu denganmu membuatku sadar, tidak semua cinta salah. Cintamu pada anak-anak. Cintamu yang selalu menunggu. Cintamu padaku. Aku menyukainya dan berubah karenamu."

"Lalu Kintan?"

Rava kembali memeluknya erat. Menghirup aromanya lama.

"Aku bahkan tidak mencintainya sedikit pun. Ia wanita egois. Ia pergi untuk mengejar ambisinya dan tetap memaksa obsesinya padaku. Lupakan dia, seperti aku yang tidak pernah mengingatnya."

"Kamu tidak akan pergi 'kan?" tanyanya memastikan.

Lagi, Rava melepaskan pelukan. Pergi mengambil sebuah kotak beludru kecil dari dalam laci meja dan memberikan kotak tersebut pada Amaya.

"Apa ini?"

"Bukalah."

Saat Amaya membuka kotak itu, tampak sebuah cincin indah yang bersinar dengan permata putih menghiasinya. Cantik sekali, membuat wanita itu terus terdiam dalam benaknya.

"Aku ingin memberikan ini padamu tadi, tetapi kamu menghilang. Aku menyiapkan cincin ini untuk melamarmu. Lamaran yang sesungguhnya."

Amaya menatap suaminya. Melihat Rava terkejut dengan matanya yang masih sembab.

"Tidak ada bunga. Tidak ada pesta atau kejutan. Maaf, tetapi aku ingin kamu menikah denganku. Ayo, kita ulang lagi pernikahan kita."

"Benarkah ini nyata?"

"Tentu. Dan aku tidak menerima penolakan."

Wanita itu kembali memeluk Rava.

"Aku bahagia," bisik Amaya.

Mereka menikmati pelukan tersebut. Tidak boleh ada yang menghancurkan kebahagiaan keduanya. Tidak untuk siapa pun, bahkan untuk Kintan.

.

.

[Aku ingin bertemu denganmu]

[Akhirnya kamu sadar]

[Kirim saja alamat dan waktunya]

[Baiklah dan love you]

[....]

Rava tidak menjawab dan justru mematikan sambungan ponsel. Ia muak mendengar ocehan wanita itu. Ia sudah bertekad menyingkirkan Kintan, itulah sebabnya segera setelah Amaya terlelap, ia menghubungi wanita tersebut.

Ditaruh ponselnya kembali ke atas meja kecil di samping ranjang. Dalam hening, ia memperhatikan wajah istrinya. Tenang dan lelah.

Wanita ini menangis terlalu lama. Membuatku ikut terluka.

Pelan, ia merapihkan rambut istrinya. Ia akan melindunginya, apa pun yang terjadi. Pria itu bersumpah di tengah sepinya malam dengan terus menatap sayang Amaya.

.

.

Mata Amaya masih sedikit bengkak. Dengan sedikit polesan make up, wajahnya kembali seperti semula. Amaya mulai tenang. Cincin dari Rava pun ia gunakan. Cincin itu ia sematkan berdampingan dengan cincin pernikahan mereka. Tampak indah bersama.

Mood-nya mulai membaik. Sepanjang pagi, ia terus memperhatikan suaminya dengan sayang. Hingga saat dirinya turun dari mobil untuk masuk ke kantor. Dengan satu gerakan cepat, dikecupnya pipi pria itu, lalu ia keluar.

Amaya melambaikan tangan terlebih dahulu, sebelum benar-benar meninggalkan Rava. Ia harus percaya pada suaminya. Sambil menggenggam erat cincinnya, ia meyakinkan diri, bahwa tidak akan lagi ada masalah yang terjadi.

.

.

Rava sudah mengabari Amaya sebelumnya bahwa hari itu ia akan telat. Setelah pekerjaannya selesai, ia langsung pergi menemui Kintan. Sesampainya pria itu di depan pintu apartemen, terlihat Kintan yang lantas datang menyambutnya, mempersilahkan Rava untuk masuk ke dalam.

"Ingin minum apa?"

"Kumohon, pergilah dari hidupku sebelum aku memaksamu."

"Apa maksudmu, Rav? Lihat aku! Aku mencintaimu dari dulu sampai sekarang!"

Wanita itu berusaha meluluhkan Rava dengan menjual rasa cintanya, tetapi Rava tetap datar menghadapi.

"Kamu tahu aku tidak peduli dengan cintamu. Aku hanya memperingatkan. Jika kamu tetap mengganggu aku dan Amaya, kamu tahu apa akibatnya. Kamu pasti tahu," tekannya sekali lagi.

Rava ingin pergi, tetapi wanita itu mencegatnya. Ia berusaha mengulur waktu dengan segala rengekan dan bualan cintanya. Sampai terdengar bunyi pintu terbuka, membuat Kintan dengan tiba-tiba saja sudah melompat dan mencium cepat bibir Rava.

Dengan seluruh tenaganya, pria itu langsung melepaskan ciuman paksa Kintan dan mendorong wanita itu hingga terjatuh. Ia berbalik menghadap ke arah pintu yang terbuka. Matanya bertemu dengan mata istrinya. Jantungnya berdetak takut. Amaya salah paham. Ini jebakan. Wanita itu pergi bersama dengan Rava yang menyusulnya. Meninggalkan Kintan sendiri dengan senyum puas di wajah.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang