"I knew the second I met you that there was something about you I needed. Turns out it wasn't something about you at all. It was just you."— Beautiful Disaster by Jamie McGuire
.
.
Panggilan telepon yang sedari tadi berdering membuat Rava mau tak mau bangun dari tidur lelahnya. Padahal, dirinya baru sempat terlelap setelah terlalu sibuk bekerja, rapat, dan mengurus berbagai perjanjian yang sudah tidak ingin lagi diingatnya.
[Halo] jawabnya serak karena kantuk.
[Halo, Rav. Kamu di sana? Kenapa gelap, sih?]
Suara wanita di ujung sambungan membuat Rava seketika bangun dari tidurnya. Dengan cepat pria itu sudah terduduk di atas tempat tidur. Lantas melihat layar ponsel yang saat itu ternyata terhubung dengan panggilan video.
Pantas saja sebelumnya Amaya bilang gelap, karena mungkin yang ia lihat tadi adalah lubang telingaku, batinnya membenarkan.
[Kenapa menghubungiku, May?]
[Ah, tidak. Aku hanya ingin memastikan kabarmu saja dan sepertinya ... aku salah waktu, ya?] tanyanya sembari menahan tawa.
Tentu saja, penampilan Rava yang berantakan pasti sukses membuat Amaya geli. Rambut awut-awutan dengan kemeja kantor yang masih dipakai.
[Tidak, kok. Aku tidak masalah dan lalu kabarku baik.]
[Syukurlah, kalau begitu. Oh, aku ada satu alasan lagi menghubungimu.]
[Apa?]
[Ini.]
Layar ponselnya kini tidak lagi menunjukkan wajah Amaya. Lantas berubah menampilkan dua anak manis dengan masih lengkap memakai seragam. Salah satu anak bahkan telah berhasil mengambil alih layar dan dengan suara riang ia mulai membuka suara.
[Ini Hana, Yah! Kangen! Kenapa Ayah enggak pulang-pulang, sih?]
Ucapan anak itu sukses membuat Rava tergelak. Jika ada orang lain yang mendengarnya, pasti Rava akan dituduh seperti Bang Toyib yang tidak pulang berbulan-bulan. Padahal, baru beberapa hari saja ia pergi dari rumah.
[Iya, Ayah juga kangen. Di sana kalian bagaimana? Baik-baik saja 'kan sama Ibu?]
Mengucap kata 'Ibu' benar-benar terasa aneh di lidahnya. Menyadarkan Rava bahwa dirinya tidak lagi seorang diri.
[Baik, kok. Aku enggak bandel waktu Ayah enggak di sini. Kakak juga. Oh, iya, tetapi kalau Ibu malas-malasan mulu di rumah, Yah.]
Dengan cepat layar ponsel kembali berubah menunjukkan wajah Amaya. Wanita itu seakan ingin menyangkal perkataan putrinya. Sudah menggelengkan kepalanya dengan cukup keras. Meski, tampilan wajah Amaya hanya bisa sebentar Rava lihat, karena sekarang Hana sudah berhasil kembali menguasai ponsel istrinya itu.
[Yah! Yah! Aku mau minta oleh-oleh. Mau boneka kucing yang besar!] pinta Hana heboh.
[Dek, jangan minta yang aneh-aneh] suara seorang anak laki-laki kini berhasil terdengar.
Dava yang sedari tadi menunggu giliran berbicara sudah ikut menempatkan wajah di samping wajah adiknya itu.
[Jangan dengerin Hana, Yah! Hana cuma mau pamer ke Clara, gara-gara Clara kemarin nunjukin ikan Arwana yang besar.]
[Biarin saja, biar ikan Clara nanti dimakan kucingnya Hana.]
Pembicaraan yang benar-benar membingungkan. Siapa Clara? Ada apa dengan Arwana? Tampaknya sepulang dari perjalanan bisnis, aku benar-benar harus mengikuti lebih banyak cerita kedua bocah itu agar tidak bingung di saat seperti ini.
[Bukan masalah, kok. Nanti Ayah belikan, ya. Lalu, kalau Dava mau dibelikan apa?] lanjut Rava menengahi.
Setelah tampak menimbang-nimbang, akhirnya anak lelakinya itu berceletuk riang ingin dibelikan teleskop dan mulai bercerita tentang keinginannya melihat matahari.
Rava hanya bisa menganggukan kepala sambil menahan senyum. Perkataan anak-anaknya benar-benar tak ada yang masuk akal sama sekali. Dengan sabar, ia mendengarkan segala hal remeh yang dibicarakan mereka. Sampai akhirnya, wajah Amaya kembali muncul.
[Sudah, ya. Sekarang giliran Ibu.] sela Amaya sembari memandang anak-anaknya. Hanya untuk beberapa saat, karena sekarang iris hitam wanita itu sudah balik melihat Rava.
[Maaf, tadi anak-anak malah ribut, padahal kamu kelihatan capek banget.]
[Tidak masalah. Sudah terlanjur bangun juga. Oh, terus ini ponsel kamu sudah balik?] tanya Rava memastikan.
[Sudah. Beruntung, ponselku ditemukan orang baik. Cantik pula. Kamu pasti kalau bertemu dengannya langsung ikut jatuh hati sepertiku.]
Tidak tahu harus memberi respon selanjutnya, Rava hanya bisa diam mendengar Amaya. Lantas membuat istrinya itu kembali melanjutkan omongan dengan bergebu.
[Lalu, bagaimana dengan kerjamu? Semua berjalan lancar? Atau tidak?]
[Lancar, kok. Memang sibuk tetapi masih bisa ku-handle.]
[Kamu makan teratur? Biasanya pasti kamu lupa sarapan sama makan malam, 'kan] selidik Amaya yang memang benar adanya.
Selama perjalanan bisnis kali itu, seperti biasa, Rava selalu tak ingat kapan waktu makan yang tepat. Tak jarang ia hanya akan langsung tidur, bahkan tanpa sempat mandi dulu karena terlalu lelah.
[Diam berarti benar. Makanlah. Tidak ada gunanya uang setelah nanti sakit.]
Ada ketulusan pada sorot mata Amaya yang dapat langsung Rava rasakan. Membuat menahan napas. Sedikit berdebar karena tatapan itu.
[Tenang saja. Aku akan makan dengan baik di sini.]
[Memang kamu masu sampai kampan di sana?]
[Aku masih belum bisa memastikan. Masih ada beberapa hal yang harus dibicarakan kembali. Ah, tetapi tenang saja masalah oleh-oleh pasti kubeli.]
Padahal, tidak dibeli juga Amaya tidak masalah. Namun, Rava memang pria yang selalu menepati janji. Ia tidak suka mengingkari kata-katanya sendiri.
[Kalau begitu tidur lagi sana. Kuputus sambungannya, ya.]
Sekarang Amaya sudah tersenyum. Melambaikan satu tangan bersama dua anaknya yang ikut muncul di layar. Membuat Rava mau tidak mau ikut tersenyum melihat pemandangan itu.
Dan setelah sambungan terputus. Membuat layar ponsel gelap kembali, maka dengan tiba-tiba Rava bisa melihat pantulan dirinya yang masih tersenyum tanpa pria itu sadari.
Tersenyum, tertawa, dan bingung. Tampaknya kini Rava mulai belajar untuk lebih banyak memiliki ekspresi. Seperti dugaan awalnya, Amaya memang menarik. Wanita itu seolah bisa merapat dan mendekati dinding pertahanannya.
Namun, tidak ingin terlalu ambil pusing dengan masalah itu, Rava memilih untuk kembali melanjutkan tidur. Balik terlelap di tengah senangnya.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...