Bab 29

51.9K 2.8K 38
                                        

"Waktu terus berjalan, tetapi manusia kadang suka menghentikan seenaknya dan menyalahkan takdir sebagai gantinya."

*****

Amaya hanya bisa menatap tidak percaya pria di hadapannya. Ia tidak menyangka dunia teramat sempit seperti sekarang.

Lucu sekali. Aku bahkan sampai melarikan diri ke pulau lain untuk menghindarinya, tetapi lihat ... dia sekarang malah berada tepat di depan mataku. Hah ... benar-benar lucu, sarkas batinnya sembari tetap melihat sinis Ragil.

"Amaya," panggil pria itu sekali lagi.

"Aku mau ke toilet," balas Amaya sudah membuang muka.

"Aku ... maksudku, kamu ke mana saja?"

Merasa tidak bisa lari dari pertanyaan Ragil, wanita itu memilih urung untuk ke toilet. Lantas membalik tubuh dan bersiap pergi sejauh mungkin.

"Kamu mau ke mana?!"

Berat suara Ragil meninggi saat melihat wanita yang dicintainya itu hendak menghindar. Satu tangannya bahkan sudah meraih lengan Amaya. Berhasil menghentikan langkahnya.

"Lepas atau kugigit," ancam Amaya tanpa menoleh sedikit pun.

"Kita perlu bicara, May."

"Ok."

Dengan satu gerakan cepat, Amaya berbalik dan langsung mengigit tangan Ragil hingga akhirnya pria itu melepas cengkraman sambil meringis kesakitan. Tidak lupa Amaya memanfaatkan kesempatan tersebut. Buru-buru mengerahkan sisa tenaga untuk menggerakkan dua kakinya.

.

.

Ragil hanya bisa tertawa melihat bekas gigitan pada pergelangan tangannya.

Amaya selalu bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Perlahan, keras tawanya berubah menjadi diam. Dengan segala perasaan, Ragil sudah mengangkat satu tangannya itu. Lantas mengecup bekas gigitan di pergelangannya.

"Aku akan kembali memilikimu. Pergilah sekarang, karena pada akhirnya kamu akan tetap kembali padaku," lirihnya pelan.

.

.

Kintan menatap aneh pria yang baru ditemuinya itu. Ragil, sahabat yang dikenalnya saat di Amerika tersebut, lantas datang padanya sembari memamerkan bekas gigitan di pergelangan tangan.

"Kamu digigit siapa?"

"Malaikat."

Mendapat jawaban asal seperti itu, langsung membuat Kintan tidak ingin lagi meladeni. Setelah menghela napas, wanita itu langsung berjalan mendahului. Menuntun Ragil menuju lift.

"Sebenarnya, kenapa kamu datang menemuiku? Aku bahkan baru tahu kamu sekarang di Jakarta."

"Aku sengaja pulang, meski hasilnya di luar perkiraan."

"Maksudmu?"

Pertanyaan Kintan menggantung saat bunyi lift menyela pembicaraan keduanya. Begitu pintu besi di hadapan mereka terbuka, maka tanpa ragu keduanya masuk. Berdiri bersisian.

"Lantai berapa?" tanya Ragil dengan satu tangan sudah siap menekan tombol.

"Lantai tujuh."

"Ok."

Untuk beberapa saat keduanya terdiam sembari memperhatikan beberapa pekerja lain yang ikut masuk memenuhi ruang dalam lift. Sampai tidak ada yang tersisa. Membuat pintu besinya kembali tertutup secara otomatis.

"Jadi, apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba datang menemuiku seperti sekarang?"

Kintan kembali bertanya. Sudah mengangkat wajah. Berusaha melihat Ragil dari sisi bahunya.

"Ingat senja yang pernah aku ceritakan dahulu?" balasnya pelan.

"Kekasih setiamu itu, bukan?"

"Benar dan bukan. Wanita itu sekarang bukan lagi kekasihku, tetapi ia akan kembali menjadi milikku jika kamu mau membantu."

Ting!

Pintu lift terbuka pada lantai tiga. Tiga orang pekerja yang sebelumnya ada di dalam, lantas keluar tanpa adanya pengganti yang masuk.

"Bantuanku? Memang apa hubungan kekasihmu itu denganku?" lanjut Kintan saat pintu sudah kembali menutup.

"Kamu belum dengar kabarnya?"

"Berita apa?"

"Hah, ternyata kamu masih sama. Terlalu abai dengan segala pemberitaan dan sibuk sendiri dengan kerjamu."

Ragil sudah mengalihkan pandang. Balik melihat depan.

"Apa maksudmu sebenar—"

Ting!

Tanya Kintan terputus saat lift lagi-lagi kembali terbuka. Kali itu pada lantai lima, membuat beberapa orang lainnya keluar dari dalam sana, menyisakan Ragil dan Kintan berdua.

"Apa maksudmu, Gil?!" tanya Kintan tidak sabar. Ia sekarang merasa lebih bebas saat tidak ada lagi orang lain yang akan mendengar pembicaraan mereka.

"Rava sudah menikah," balas pria itu sembari balik menoleh. Melihat lurus Kintan yang sudah mengatupkan bibirnya.

"Ia menikah dengan wanita senjaku. Wanita yang menjadi alasanku pulang sekarang," lanjutnya memperjelas segalanya.

Ting!

Lantai tujuh. Pintu lift terbuka lagi. Namun, saat itu tidak ada yang masuk ataupun keluar. Kintan sudah lupa dengan keadaan. Terlalu kalut, sampai Ragil harus lebih dahulu melangkah. Langsung menarik keluar wanita itu yang masih terdiam layaknya boneka.

.

.

"Tidak mungkin! Tidak mungkin wanita tadi menikah dengan pria itu!"

Kintan masih menolak kenyataan bahkan saat Ragil sudah keluar dari ruangnya. Ia masih merasa tidak percaya dengan semua hal yang diceritakan Ragil. Tentang Rava yang menikahi wanita senjanya. Tentang wanita senjanya yang tidak lain adalah Amaya, wanita yang baru ditemuinya itu. Atau tentang keduanya yang bahkan telah memiliki anak.

"Gila!" teriak Kintan sembari menjatuhkan diri pada kursi kerjanya. Ia sudah meremas keras rambut hitamnya dengan kedua tangan. Berusaha tetap waras di tengah kekacauan yang ada.

"Pria itu tidak pernah menerima cintaku dan kini menikah dan punya anak?! Benar-benar gila!"

Brak!

Tanpa bisa mengontrol, kedua tangan Kintan sudah berhasil menggebrak meja. Memukul dengan teramat keras.

"Lalu untuk apa aku pergi selama ini dan memberinya waktu?!" lanjutnya dengan napas terengah.

Kintan sungguh tidak rela. Rava, pria yang selalu menjadi cintanya tersebut. Pria yang membuatnya tetap sendiri hingga sekarang. Pria yang menjadi obsesinya sejak dulu. Ia tidak sudi melepas pria itu bahkan tanpa sepengetahuannya.

"Tidak akan kubiarkan. Aku harus merebutnya dengan cara apa pun."

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang