"Pertemuan pertama disebut kebetulan. Pertemuan kedua menjadi suatu keberuntungan. Jadi, dapatkah kamu sebut takdir pertemuan kita yang ketiga?"
.
.
Hari itu hari Minggu. Harusnya, Amaya masih tidur rapi dengan piyama sampai pukul sembilan. Namun, ritualnya gagal, karena sejak pagi Helen sudah membobol masuk ke dalam rumah dan terus membangunkan dirinya.
Wanita itu merengek untuk meminta diantar ke apartemen temannya. Alhasil sekarang, walaupun masih pukul tujuh, Amaya sudah sibuk menjalankan mobil dengan masih mengenakan piyama. Hana dan Dava pun jadi terpaksa ikut, karena kedua anak tersebut tidak ingin ditinggal.
"Kamu bikin susah aku saja! Kenapa enggak bawa mobil sendiri, sih? Atau minta tolong sama Mang Adam buat antar kamu."
"Aku lagi malas bawa mobil. Terus juga enggak enak aku suruh-suruh Mang Adam. Dia lagi libur, 'kan."
"Aku juga lagi libur, Helen!" jawab Amaya kesal.
"Sorry. Aku benar-benar lupa kalau hari ini harus bantu teman bikin proposal."
"Teman kamu ini wanita atau pria? Kok, rasanya aku enggak pernah ingat ada teman kamu yang tinggal di Apartemen Sudirman?"
"Ada, kok. Kamu saja yang lupa. Lagi pula untuk apa juga bawa anak-anak kalau akhirnya mereka malah tidur di mobil?" jawab Helen mengalihkan topik pembicaraan.
Sebenarnya Amaya sadar kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, ia memutuskan untuk abai. Amaya akan menunggu sampai Helen sendiri yang bercerita langsung padanya. Semua orang berhak memiliki rahasia apa pun alasannya.
"Mereka tadi ngambek kalau enggak aku bawa. Bilangnya ingin dibelikan es krim."
"Kamu lebih sayang mereka atau diri kamu sendiri?"
"Tentu mereka. Kamu tanya seluruh ibu di dunia juga pasti jawabannya sama kayak aku."
Helen hanya mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti dan kembali fokus dengan ponselnya. Suasana mobil pun hening. Hanya ada lantunan lagu dari salah satu stasiun radio yang sedang mengalun dan memenuhi kesunyian yang ada.
.
At night when the stars light up my room.
I sit by myself talking to the moon.
Trying to get to you.
In hopes you're on the other side talking to me too.
Or am I a fool who sits alone talking to the moon?
(Bruno Mars – Talking To The Moon)
.
.
"Kamu yakin enggak mau aku jemput?" tanya Amaya setelah tiba di pelataran parkir apartemen.
"Enggak perlu. Biar nanti teman aku yang antar pulang. Aku duluan, May."
"Jangan pulang malam-malam, Len!" teriak Amaya lewat kaca jendela mobil.
Setelah Helen pergi, Amaya pun menyalakan kembali mesin mobil. Namun, tiba-tiba ia mematikan lagi mesin, begitu sadar bahwa tas make up Helen tertinggal di kursi penumpang. Buru-buru, Amaya keluar dan berlari menyusulnya.
Sampai dirinya melihat. Sosok tersebut tetapi bersama seorang pria yang tampak tidak asing di matanya. Dan langkah Amaya lantas terhenti saat dirinya berhasil mengingat akan wajah tersebut. Wajah pria aneh yang menatapnya Kamis lalu.
"Jadi itu pacarnya Helen, ya?" gumam Amaya pada diri sendiri dengan nada kecewa.
Kebetulan tak jauh dari sana ada satpam yang sedang berjaga. Amaya akhirnya memutuskan untuk menghampiri satpam tersebut dibanding menghampiri sahabatnya.
"Pak, boleh titip barang enggak buat teman saya? Nanti dia bakal datang ke sini, kok."
"Barang apa, Mbak?"
"Hanya tas make up saja, Pak."
"Boleh, Mbak. Ini nanti temannya yang ambil namanya siapa?"
"Helen, Pak. Sebenarnya orangnya itu yang tadi baru masuk ke sini sama pria tinggi kayak bule itu, loh."
"Oh ... yang tadi. Kenapa enggak langsung kasihkan saja, Mbak?"
"Saya enggak mau ganggu mereka pacaran, Pak. Tetapi, kalau boleh tanya, Bapak kenal enggak sama pria yang kayak bule itu?"
"Kenal, Mbak. Kalau enggak salah namanya Mas Rava. Dia punya kamar di sini, tapi gitu, enggak menetap. Seringnya balik ke rumah."
"Oh, rumahnya bukan di sini, Pak?"
"Rumahnya dia banyak, Mbak. Di mana-mana kayaknya ada. Dia bos besar yang punya perusahaan Tanaba itu kalau enggak salah, 'kan."
"Oh, Tanaka mungkin, Pak!" seru Amaya yang langsung disetujui oleh satpam di hadapannya. "Yasudah, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu. Makasih, Pak."
Setelah menitipkan barang, Amaya kembali masuk dalam mobil. Tak lupa sebelum berangkat pulang, ia mengirimkan pesan singkat pada Helen mengenai tas make up-nya. Lalu, sebelum mematikan ponselnya, lebih dahulu wanita itu mencari sesuatu tentang Tanaka Corporation di google.
Mendapat apa yang ia cari, maka Amaya pun menaruh kembali ponsel, kemudian menyalakan mesin dan melajukan mobil untuk pulang ke rumah.
"Rava Herdiansyah Darmawan. Lihat saja kamu kalau berani macam-macam."
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...