Bab 24

26.4K 1.5K 11
                                    

"It's one thing to fall in love. It's another to feel someone else fall in love with you, and to feel a responsibility toward that love." — Every Day by David Levithan

.

.

"Kamu gila! Kenapa menari seperti wanita tidak tahu aturan, hah?!" bentak Rava menjadikan kesadaran Amaya sedikit pulih.

Namun, bukan memberi penjelasan, Amaya malah balik menatap sembari tertawa tidak jelas. Kedua tangannya sudah terangkat, kemudian membekap pipi suaminya.

"Rava—berisik," jawab Amaya manja.

"Kamu mabuk?"

"Tidak. Hik!"

"Hanya orang buta yang percaya ucapanmu sekarang. Sudahlah. Tidak ada gunanya aku bicara dengan orang mabuk. Lebih baik kamu sekarang tidur."

Rava sudah melepas tangan Amaya dari pipinya. Kemudian, lantas membawa istrinya itu menuju tempat tidur.

"Aku belum mau tidur, Rav! Kamu saja yang tidur sana!" ronta Amaya sudah berhasil melepaskan diri.

Rava yang terkejut langsung menoleh ke belakang. Melihat kembali istrinya yang kini sedang menatap dirinya balik.

"Kamu mabuk, May. Kamu harus tidur."

"Kalau begitu kita tidur bersama," sahut Amaya langsung mendorong kuat Rava sampai tubuh pria itu tepat merebah ke atas tempat tidur.

Kemudian, tidak memberi jeda, Amaya langsung merubuhkan diri. Menimpah Rava dengan liat tubuhnya. Membuat napas pria itu tercekat.

Entah karena efek bir yang sempat diminumnya atau karena gairah yang sudah lama tidak ia lepaskan, menjadikan tubuh Rava menegang kaku di bawah lembut tubuh istrinya. Dengan sisa kesadaran, pria itu berusaha mendorong Amaya. Ingin buru-buru memberi jarak di antara mereka.

Namun, percuma. Amaya malah sudah memeluk erat tubuhnya. Terlalu kuat sampai Rava kini sudah mampu mencium aroma manis parfum dari wanita itu. Menghilangkan kewarasannya. Lantas dengan satu gerakan cepat, Rava sudah menggulingkan tubuhnya. Menjadikan tubuh Amaya sekarang berada tepat di bawahnya.

"Jika kamu masih ingin selamat, cepat lepaskan tanganmu dari tubuhku, May," pinta Rava serius. Pria itu berhasil memberi jarak, tetapi kedua tangan Amaya masih melingkari punggungnya.

"Tidak akan," cicitnya dengan senyum lebar merekah.

Hilang sudah pertahanan Rava. Ia sudah tidak mau peduli dengan segala moral dan peraturan yang ada. Tanpa mau membuat waktu lagi, pria itu langsung menempelkan bibirnya dengan lembut bibir istrinya.

Sentuhan ringan perlahan menjadi lumatan, terlebih saat lidah pria itu ikut bermain, menjilat, dan memperdalam ciuman di antara mereka. Tidak ada penolakan yang diterima Rava. Sebaliknya, lidah Amaya ikut menaut sembari kedua tangannya meraba kasar punggung suaminya itu.

Tidak ada lagi rasa malu. Keduanya sudah dikuasai hasrat panas, menjadikan gerakan mereka semakin tidak terkendali. Rava sudah menciumi leher Amaya. Sementara, Amaya ikut menggeliat bersama sentuhan pria itu.

Sesekali kecupannya itu meninggalkan bekas, merangsang desah tak tertahan yang lolos dari rekah bibir istrinya. Bagai sebuah candu, semakin erang Amaya menggema di telinganya, maka semakin Rava ingin menandai seluruh tubuh istrinya itu dengan jejak miliknya. Tidak hanya tanda, pria itu juga sudah sibuk menjelajahi lembut kulit Amaya dengan kedua tangan.

Tiap belaian dari kekar tangannya terasa begitu menggelitik, memicu keinginan lebih bagi Amaya untuk dipuaskan. Tidak merasa sabar, wanita itu juga sudah ikut mengeratkan pelukan. Menarik tubuh Rava semakin dekat dengan dirinya.

"Nngg—Rav ...," rintih Amaya membuat Rava kembali menutup bibir merah muda itu dengan bibirnya. Merasa ingin menguasai setiap parau yang dimiliki wanita itu.

Satu tangannya juga sudah bergerak naik. Lantas meremas tak sabar puncak lembut Amaya sepanjang bibir mereka memangut satu sama lain. Sampai tiba-tiba kedua tangan kurus Amaya sudah terkulai lemah. Sementara, lidahnya tidak lagi membalas.

Tidak mungkin, batin Rava cepat. Menghentikan sejenak kegilaan, pria itu lantas mengangkat kembali tubuhnya. Langsung mendapati Amaya yang sudah memejamkan kedua mata tanpa kesadaran.

"Kamu tidur, May?" tanya Rava memastikan.

Dalam diam, ia berdoa agar istrinya menjawab sehingga dirinya bisa kembali memuja tubuh lembut itu. Namun, kenyataan terlalu pahit baginya. Amaya sudah benar-benar tidur. Meninggalkan Rava dengan kenjatanan yang sudah membengkak.

"Hahaha," tawa Rava frustasi sambil bangun dari tempat tidur mereka.

Rava kini sudah berdiri. Memandangi Amaya yang sudah setengah telanjang dengan bibir merekah. Beberapa bercak merah pada putih kulitnya juga tidak lepas dari penglihatan pria itu. Membuat Rava makin tersiksa akan gairah yang terlanjur meletup.

"Tertidur tepat saat aku menginginkanmu. Kamu memang benar-benar menyebalkan, May," lanjut Rava sambil kedua tangannya membenarkan kembali pakaian Amaya. Kemudian, menutupi tubuh mungil itu dengan selimut.

Tidak ingin lebih lama lagi terjebak dengan Amaya, maka dengan langkah lesu, Rava sudah berjalan menuju kamar mandi. Ingin mewaraskan kembali akal pikiran. Berharap agar kejantanannya dapat tenang lebih cepat dengan guyuran air dingin.

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa

[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang