"Bunga daisy memiliki arti harapan. Jadi maukah kamu menjadi daisy-ku? Menjadi harapanku?"
*****
Beberapa hari ini menjadi hari yang melelahkan bagi Rava. Selang beberapa waktu setelah ia bertemu Amaya, maka segera Rava bersama kakeknya mengatur pertemuan dan bertemu secara langsung dengan keluarga Amaya untuk membicarakan masalah pernikahan dan status anaknya.
Bukan tanpa alasan, kakek Rava menjadi sangat tidak pemilih seperti itu. Ia dengan tangan terbuka menerima Amaya dan kedua anaknya karena Amaya memiliki latar belakang yang jelas. Lagi pula, dengan munculnya Hana dan Dava, maka tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan mengenai masalah perusahaan.
[Kapan kamu akan mempertemukanku dengan mereka?] tanya Rava pada Amaya melalui ponsel.
[Minggu depan? Aku sibuk sekali minggu ini dan mereka masih butuh waktu untuk menerima semuanya.]
[Aku sudah memberi banyak waktu padamu, berapa lama lagi aku harus menunggu?!] tanyanya frustasi.
[Jika kamu tak bisa menunggu, lebih baik hentikan saja semua ini!] jawabnya kesal.
[Sabtu minggu depan aku akan bertemu mereka dan aku tidak mau lagi mendengar alasan darimu!] balas Rava pada akhirnya sambil mematikan sambungan. Lantas menatap emosi ponselnya yang tidak bersalah dengan pandang tajam.
Wanita itu selalu saja bisa membuatku kesal. Kenapa, sih, sekali saja dia tidak pernah mau menurut denganku. Belum menikah dengannya saja sudah membuatku stress. Tidak bisa kubayangkan bagaimana kehidupan pernikahanku nanti.
.
.
"Dasar, pria gila! Hobinya hanya marah-marah dan mengancam orang seenaknya. Dipikir memberi penjelasan pada anak-anak segampang bertengkar dengannya, hah?!" seru Amaya pada diri sendiri. Ia lantas meletakkan kembali ponsel ke atas meja. Mencoba untuk bersandar sejenak pada punggung kursi kerjanya, berharap agar stress karena Rava dapat memuai dengan sendirinya.
Sejujurnya, Amaya ingin saja langsung mempertemukan Rava dengan Hana dan Dava. Terlebih lagi, anak-anak itu sudah sering menanyai kabar Ayahnya begitu ia menjelaskan semua hal pada mereka. Tentang Ayah mereka yang masih ada dan mengenai pernikahannya.
Namun, ia takut. Wanita itu takut jika sampai kedua anaknya lebih memilih Rava dibanding dirinya. Takut jika suatu saat mereka akan meninggalkannya. Tidak, Amaya tidak akan siap akan kemungkinan tersebut. Membayangkannya saja sudah membuatnya ngeri.
"Aku memang harus menerima ini ... menikah, mempertahankan anak-anak, dan melupakannya ...," lirihnya pelan tanpa semangat.
.
.
Akhirnya tiba juga. Hari di mana mereka bertemu dengan Ayahnya. Ayah kandungnya. Khusus untuk hari itu, mereka bahkan sampai meminta Amaya untuk memilihkan baju terbaiknya. Hana dan Dava benar-benar terlihat sangat senang. Membuat Amaya mau tak mau ikut tersenyum saat melihat ketidak sabaran pada dua anaknya.
Namun, senyum itu lantas hilang saat melihat sesosok tinggi yang baru masuk ke dalam restoran tempat mereka menunggu. Rava. Pria itu sudah melangkah dengan percaya diri dan senyum lebar di wajah.
Ia bahkan langsung duduk tanpa menunggu persetujuan lagi dari Amaya. Bersamaan dengan datangnya Rava, maka seorang pelayan juga ikut menghampiri meja mereka. Lantas memberikan menu tambahan padanya. Meski, percuma karena setelah pria itu mengambil buku menu, maka pada detik selanjutnya ia hanya menaruh saja buku tersebut di atas meja.
"Ini pasti Hana, ya? Dan yang tampan ini pasti Dava?" tanya Rava langsung dengan nada teramat ramah yang belum pernah Amaya dengar. Benar membuat wanita itu ingin mual saat mendengarnya, tetapi tidak dengan kedua anaknya yang lantas mematung.
Hana dan Dava saat itu hanya terdiam dan melihat Rava bagaikan sebuah dewa yang bersinar. Tatapan mereka melekat pada pria itu dengan bibir merah terkatup, sampai Dava tiba-tiba berseru.
"Om 'kan yang dulu ada di rumah tante Helen?!"
"Iya. Perkenalkan nama Om, eh bukan, nama Ayah, Rava. Rava Herdiansyah."
Jawabannya benar-benar membuat Amaya makin kesal. Merasa tidak terima dengan klaim baru yang Rava ucapkan setelah semua sikap kejamnya.
"Ayah?! Jadi benar kalau Om itu adalah Ayah Hana sama Kak Dava?!" tanya Hana yang tampak tidak terganggu dengan gelar Ayah yang baru disandang pria di hadapannya.
"Benar, dong. Memangnya, Ibu belum cerita tentang Ayah?" tanyanya selidik sembari memicingkan mata pada Amaya.
Apa-apaan pria ini?! Seenaknya saja memanggilku Ibu. Memang aku Ibunya?! Lagi pula, beraninya ia menuduh tanpa bukti. Rasanya aku ingin melempar saja garpu di hadapanku ke wajahnya.
"Sudah, tetapi aku enggak yakin."
"Kalau sekarang, apa kamu sudah yakin anak manis?"
"Sudah, Om. Lagi pula, nama Om hampir mirip dengan nama Kakak, berarti aku memang punya Ayah. Yeay!" seru Hana dengan senangnya. Kedua pipi chubby-nya bahkan sudah terangkat karena senyum dengan semu merah merona.
"Tentu saja. Masa anak-anak selucu kalian enggak punya Ayah. Lalu, panggilnya jangan Om terus. Coba panggil Ayah saja."
Dan satu kalimat dari Rava itu sukses membuat Amaya membara karena cemburu, meski memberi efek sebaliknya pada kedua anak mereka.
.
.
Rava biasanya merasa canggung dengan anak-anak. Jangankan berinteraksi, untuk berbicara pun rasanya ia malas. Tetapi, entah mengapa kedua anak di hadapannya sekarang mampu membuat Rava untuk selalu berbicara dengan penuh tawa. Ia bahkan sampai rela untuk menuruti permintaan Hana yang minta untuk disuapi. Sesuatu yang amat mustahil dan tidak pernah terlintas dalam benak pria itu sekali pun.
Namun, Rava tidak kesal. Ia justru senang dengan tingkah laku lucu anak-anak itu. Dava yang sebelumnya Rava kira akan lebih pendiam, ternyata juga ikut bertanya berbagai macam hal padanya. Benar-benar membuat makan malam kali itu menjadi makan malam paling menyenangkan yang pernah dialaminya.
Tidak sendiri. Tidak membicarakan masalah bisnis ataupun masalah perjodohan dan lain sebagainya yang membuatnya kesal. Hanya tentang dirinya dan anak-anak tersebut.
Sementara Amaya, wanita itu hanya bersikap bagai zombie yang siap memakan Rava hidup-hidup. Kedua matanya terus menatap nyalang gerak-gerik Rava dengan mulut penuh karena mengunyah. Tentu karena satu alasan jelas, karena Amaya tidak suka melihat pria itu akrab dengan anak-anak.
Meski, Rava tidak ambil pusing karena sikap permusuhan tersebut. Ia justru malah menikmatinya. Terus menjalani waktu menyenangkan itu selama mungkin dan melupakan sejenak akan mimpi buruk yang terus menghantui hidupnya.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...