"Sama seperti sebuah persimpangan. Walaupun kamu berusaha keras memilih jalan yang berbeda untuk menghindariku. Pada saatnya, kita akan tetap bertemu. Di suatu titik yang menghubungkan semuanya. Titik yang kunamakan takdir"
*****
Amaya kembali muncul. Berjalan dengan langkah pasti menuju ke arah Rava. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya, tetapi entah mengapa ia selalu berbeda di mata pria itu. Tanpa bicara Amaya langsung duduk. Masih dengan wajah kakunya, ingin dengan jelas menunjukkan benci pada Rava.
"Kamu bawa apa yang kuminta?" tanya pria itu padanya.
"Ini. Aku hanya bisa membawa beberapa helai rambut mereka."
"Lebih dari cukup dan hasilnya baru akan keluar besok. Aku akan menghubungimu la- Tunggu, kamu mau ke mana?" tanyanya kaget saat tiba-tiba melihat Amaya lantas berdiri dari tempat duduknya.
"Hari ini aku hanya ingin menyerahkan bukti DNA yang kamu butuhkan saja. Untuk urusan lainnya kupikir bisa menyusul saat DNA yang mereka miliki memang cocok denganmu. Permisi."
Amaya langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Rava yang masih terlihat kaget. Hanya untuk beberapa saat, karena diam itu segera menjadi tawa saat Rava sadar betapa dirinya benar-benar tidak dianggap oleh wanita itu.
"Amaya."
Bahkan hanya dengan menyebutkan namanya mampu membuat hati Rava bergetar. Wanita yang berbeda dari setiap wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Wanita yang mampu mengubah pikirannya hanya dengan tindakan. Wanita seperti itu ternyata memang ada.
.
.
Tentu saja. Mereka memang anak-anak Rava. Hasil tes DNA pun mengatakan hal yang sama dengan dugaan pria itu. Sekarang yang harus ia lakukan hanya tinggal menemui Amaya.
Rava:
Hasilnya sudah ada di tanganku. Kita bertemu jam tujuh di kafe sebelumnya.
Segera setelah pesannya terkirim, pesan balasan dari Amaya langsung masuk.
Amaya:
Ya.
Benar-benar sangat irit bicara. Membuat Rava makin penasaran akan sikap Amaya nanti saat mengetahui hasil tes di tangannya.
.
.
Amaya hanya diam. Kemungkinan terburuk yang ingin dihindari justru terpapar jelas di depan matanya. Mereka memang anaknya. Anak dari pria brengsek ini yang kini berada di hadapannya.
"Jadi sekarang apa yang kamu inginkan?" tanyanya dengan nada paling datar yang bisa dibuatnya.
Mata wanita itu masih menunduk. Melihat hasil tes dengan sinar yang redup. Berusaha menerima dan menutupi perasaannya yang hancur di saat yang sama.
"Masih sama dengan perkataanku sebelumnya, aku ingin kita menikah. Kamu mendapat anakmu dan aku mendapatkan penerusku. Adil, bukan?"
"Pernikahan itu akan kulakukan, tetapi aku punya syarat," Amaya akhirnya menaikkan wajah. Membalas dengan tatap yakin.
"Apa?"
"Pernikahan ini, aku ingin berjalan sebagaimana mestinya. Kamu dan aku walau tidak ada cinta di dalamnya, aku ingin kita tidak berkhianat satu sama lain. Aku ingin kita setia sampai tua. Aku tidak ingin perceraian maupun orang ketiga dalam pernikahan kita. Namun, aku juga tidak mau ada kontak fisik. Jadi, anggap saja kita hanya menikah sebatas hidup bersama atas sumpah setia tanpa cinta dan kontak fisik."
Pria itu tampak kaget dengan perkataan Amaya. Ia pikir Rava akan keberatan akan syaratnya. Tetapi, hasilnya justru berkebalikan.
"Baiklah. Aku akan setia hanya denganmu. Aku juga sudah bosan dengan wanita-wanita bayaran itu. Tapi aku juga ingin kamu setia hanya denganku. Jika kamu berkhianat dariku, aku akan langsung menghancurkanmu."
Pria itu bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Amaya bisa merasakan dari tajam matanya.
"Satu hal lagi, aku ingin anak-anak itu masuk dalam kartu keluargaku."
"Kenapa?" tanya Amaya kaget.
"Karena yang kubutuhkan penerus dan jika mereka terus ada dalam kartu keluargamu maka status mereka akan tetap menjadi anak angkat. Aku mau mereka dalam kartu keluargaku sebagai anak kandung. Nama belakang mereka juga, aku ingin mengubahnya sebagai Darmawan."
Fakta yang menyakitkan tetapi benar adanya. Hana dan Dava ... sampai kapan pun mereka memang bukan anak kandung Amaya.
"Terserah kamu saja. Nanti, biar aku yang menjelaskan pada mereka."
.
.
Setelah bertemu dengan Rava, wanita itu lantas pulang ke rumah Ayahnya. Ingin segera memberi penjelasan yang telah lama diminta darinya.
Namun, mendadak kakinya mematung. Amaya merasa takut dan ingin lari saja, sampai Mbok Tami—salah seorang pengurus rumah—tiba-tiba membuka pintu rumah. Mempersilakan dirinya masuk dan tidak lagi bisa kabur.
Rumah Ayahnya masih tetap sama. Tidak ada yang berubah satu pun sejak terakhir kali ia berkunjung. Hanya satu yang berbeda. Perasaan Amaya yang kini gusar untuk menemui Ayahnya.
"Ayah," ucapnya pelan saat telah berada di ruang keluarga dan melihat Ayahnya sudah terduduk di salah satu sofa.
"Duduk."
Mendapat perintah langsung membuat tubuh Amaya otomatis untuk mengikuti. Tanpa banyak bicara. Membiarkan hening mengisi di antara mereka.
"Coba kamu jelaskan semua dari awal. Tentang alasan dirimu yang sampai bisa masuk berita dan mengenai pertunangan yang bahkan tidak pernah Ayah datangi."
"Aku ... aku sebenarnya membuat masalah dengan pria itu. Hana dan Dava itu ternyata anaknya. Anak kandung dari Rava. Lalu, karena merasa tidak terima, maka aku datang dan marah-marah di kantornya.
"Tentu saja Rava tidak bisa terima karena aku membuat image-nya hancur. Aku juga intropeksi dan sadar bahwa aku salah. Kemudian kami memutuskan untuk menikah dan semua hal yang di berita itu termasuk pertunangan adalah cara terbaik untuk memperbaiki image Rava.
"Tentang aku yang sudah bertunangan dengannya. Atau tentang aku yang merupakan cinta pertamanya, itu semua untuk membuat image Rava baik di publik. Lagi pula aku sudah setuju untuk menikah dengannya."
"Kamu yakin ingin menikah dengannya? Ayah kenal baik dengan kakek ataupun keluarganya, dan mereka tidak sebaik yang kita kenal di publik, May. Terlebih dengan cucunya yang bernama Rava itu. Ayah tidak ingin kamu menikah dengan pria semacam itu."
"Ia tidak seburuk itu, Yah," dusta Amaya sembari memberi senyum palsu.
"Lagi pula bersama dengannya bisa memberi keluarga utuh bagi Hana dan Dava. Aku yakin kami bisa Bahagia," lanjutnya dengan keyakinan yang dibuat-buat. Sejujurnya, Amaya juga tidak pernah percaya dengan Rava, tetapi ia tidak punya pilihan lain.
"Jika menikah dengannya adalah hal yang kamu inginkan, maka Ayah akan mendukung, dengan catatan bahwa kamu harus langsung bilang ke Ayah saat mengalami masalah dengannya."
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...