"Jawaban tidak akan ditemukan jika tidak dicari. Namun, terkadang jawaban itu akan terpapar hanya dengan sekali membuka mata"
.
.
Hari itu sangat melelahkan. Sungguh. Setelah selesai berurusan dengan Rava, wanita tersebut langsung pergi menjemput Hana dan Dava di TK. Ia sengaja meliburkan supir karena ingin pergi bersama anak-anaknya. Tujuan awal Amaya melakukan hal tersebut adalah untuk menghilangkan stres. Namun, menghadapi kedua anak itu ternyata sangat menguras tenaga. Terlebih saat menghadapi Hana yang sebentar-bentar merengek untuk dibelikan sesuatu. Beruntung, Dava sangat dewasa di usianya yang hanya lima tahun. Entah dari mana sifat sabarnya didapat, tetapi hal itu sangat membantu Amaya, terutama saat Dava ikut melarang Hana untuk meminta yang macam-macam.
Pukul tujuh malam, mereka baru tiba di rumah, akibat makan malam terlebih dahulu di salah satu restoran yang masih berada dalam mall yang mereka kunjungi. Amaya pun langsung mandi bersama kedua anaknya. Setelah selesai dirinya mandi, maka wanita itu memutuskan untuk istirahat di ruang keluarga, sembari menonton salah satu kartun yang menjadi kesukaan si kembar.
"Bu, kenapa Tante Helen jadi jarang ke sini?" tanya Dava tiba-tiba membuyarkan konsentrasi Amaya dari TV.
"Eum ... Tante Helennya lagi sakit, Kak. Jadi, butuh istirahat dulu di rumah."
"Sakit, ya ... kalau begitu nanti aku mau minta tolong sama Mbok Lia untuk buatin bubur, deh."
Mendengar ucapan Dava, membuat hati Amaya menjadi senang. Wanita itu jadi merasa sangat tidak rela jika kelak anak manisnya tersebut menemukan wanita lain selain dirinya. Namun, pikiran Amaya akan masa depan Dava lantas buyar saat tiba-tiba saja Mbok Lia datang. Menghampiri mereka untuk memberitahu bahwa ada tamu yang sedang menunggu dirinya di luar.
Menungguku? Malam-malam seperti ini? Siapa kira-kira yang datang, ya?
Dengan segera, Amaya bangkit dari sofa dan langsung menuju pintu depan. Terdiam dengan kedua mata melebar begitu irisnya dapat menangkap sesosok pria yang baru saja dipermalukannya siang tadi.
"Bukankah aku sudah memperingatkan untuk tidak memperlihatkan wajah busukmu lagi di depanku. Jadi, kenapa kamu masih berani sampai datang ke sini?" tanyanya dengan nada sinis.
.
.
"Kenapa harus takut ketika aku bahkan bisa menuntutmu atas pencemaran nama baik," jawabnya tak kalah sinis.
"Hah? Pencemaran nama baik? Untuk apa aku mencemari manusia yang sudah kotor dari lahir. Benar, bukan?"
"Sudahlah. Aku sudah terlalu lelah dan tidak memiliki waktu untuk meladeni wanita gila sepertimu. Jadi, langsung pada inti masalah saja. Di mana anak yang kamu bilang adalah anakku, hah?!"
Suara Rava sudah meninggi. Tidak lagi mampu menutupi kemarahan yang memang masih menguasai dirinya itu.
"Kamu memang benar-benar membuat jengkel, ya," balas Amaya sembari mengigit bibir bawahnya. Seolah sedang menahan makian. Lalu, tanpa memberi kejelasan lagi, wanita itu sudah menarik satu tangan Rava. Membawanya keluar dari halaman rumah. Berjalan menuju rumah dengan cat putih yang berada tepat di samping rumah Amaya.
"Lepaskan!"
Pria itu sudah menghempas tangan Amaya. Membuat wajah bulatnya langsung menoleh. Menatap tajam Rava.
"Kamu memintaku untuk menunjukkan anakmu, 'kan? Kalau begitu ikut aku dan akan aku tunjukkan anak beserta wanita yang telah kamu tinggalkan," kata Amaya membuat Rava kehilangan kata. Wanita bertubuh mungil itu sudah pergi. Melanjutkan lagi langkah tanpa menyadari bahwa pria yang ditinggalnya tersebut mulai berdebar tanpa bisa dicegah.
Apa maksudnya berkata anak dan wanita yang aku tinggal? Jadi, yang hamil bukan dirinya melainkan orang lain? Damn, shit! Jangan-jangan benar aku telah berbuat kesalahan fatal!
Mengabaikan cemas yang mulai menghantui dirinya, maka Rava memutuskan untuk mengikuti langkah wanita itu. Berjalan dengan keringat dingin mulai meluncur. Berharap bahwa segala pikiran buruk dalam benaknya adalah imajinasi yang mustahil untuk terjadi. Ya ... semoga.
"Helen! Keluar sekarang juga!" teriak Amaya sambil menggedor pintu tetangganya.
Helen? Kenapa aku tidak asing dengan nama wanita itu? Ah, bukannya nama itu sama seperti kekasih Hil-
"Ada apa, May?! Kenapa malam-malam begini malah bertamu, sih?" tanya Helen dengan wajah yang sudah menyambut mereka berdua. Mata hitamnya yang menangkap sosok Rava langsung membentuk raut bingung. Merasa heran karena kehadiran pria yang tidak diduganya tersebut.
Namun, belum sempat dirinya membuka suara untuk bertanya, tiba-tiba saja Amaya sudah menyela. Membalik badan dan mulai bicara dengan pria yang terdiam di belakangnya itu.
"Kamu sudah lihat sendiri. Wanita ini adalah wanita yang sedang hamil anakmu, brengsek!"
Mendapat cela yang tidak pernah pantas untuk diterimanya, membuat Rava langsung menurunkan pandang ke bawah. Melihat dingin Amaya dengan iris abunya.
"Kamu sedang apa ada di sini, Rav?"
Berat suara seorang pria menyela di antara mereka. Membatalkan niat Rava yang sudah ingin memaki kasar. Balik melihat depan dan dapat menemukan wajah dungu sahabatnya tanpa rasa bersalah.
"Kenapa melihatku seperti itu? Bukannya kamu ingin menyelesaikan masalah dengan wani- Wah! Kamu wanita itu, 'kan?! Wanita yang hamil anak Rava!" teriak Hilmi begitu dirinya melihat Amaya. Lantas terkejut membuat Helen makin bingung karenanya.
Wanita dengan rambut bob tersebut lalu berpikir. Sejenak. Berusaha mencerna setiap adegan yang baru dilihatnya tersebut. Sampai akhirnya ia berhasil. Memecahkan teka-teki yang sepertinya akan berubah menjadi masalah besar.
"May ... pacarku itu Hilmi. Pria yang ada di sampingku ini. Bukan ... Rava," katanya sembari memejamkan kedua mata.
.
.
Hening beberapa saat. Tidak ada yang berbicara. Tidak bagi Rava yang sudah mengepalkan kedua tangan. Juga tidak bagi Hilmi yang sudah mengangkat satu tangan untuk menutup wajah frustasinya. Namun, dengan sisa keberanian yang ada, Amaya memutuskan untuk memastikan kenyataan.
"Len ... mungkinkah aku salah melabrak orang?"
Dan hanya butuh satu jeritan emosi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jeritan yang datang dari pria yang sudah tidak lagi mampu untuk bersikap waras.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...