"How do you spell 'Love' ?" -Piglet
"You don't spell it ... you feel it" -Pooh"
*****
Amaya hanya terus menatap ke luar, sementara Rava mengemudi. Wanita itu sekarang sudah berada di dalam mobil, menuju perjalanan pulang. Entah mengapa berada di dekat Rava terasa lebih menenangkan dibanding terjebak bersama Ragil.
"Sampai berapa lama lagi kamu akan diam?" tanyanya sontak membuat wanita itu kaget.
"Aku sedang tidak ingin bicara."
Sebenarnya, Rava bisa saja berusaha mengerti Amaya dan mendiamkan wanita itu untuk memberinya privasi. Namun, ia terlalu penasaran. Tidak ingin kehilangan satu informasi pun terkait istrinya tersebut.
"Apa yang kamu bicarakan dengannya tadi?"
"Masih sama. Mengenai masalah kembali padanya."
"Lalu?"
"Tidak ada lalu. Aku menolak idenya karena aku sudah menikah dan kemudian kamu datang."
Laju mobil terhenti. Bukan karena kata-kata Amaya, tetapi karena lampu lalu lintas telah berubah warna menjadi merah. Angka seratus dua puluh muncul sebagai tanda pada para pengemudi untuk menunggu selama dua menit. Entah karena bosan menunggu atau mungkin karena merasa jawaban Amaya sebelumnya aneh, maka Rava dengan tiba-tiba sudah menoleh ke arah wanita itu. Melihat Amaya dengan tatapan tajam yang terpantul dari dalam kaca.
"Ayo, kita pergi."
"Hah?" sahut Amaya tidak mengerti. Wanita itu sekarang sudah balik menoleh. Memutuskan untuk bertemu mata dengan suaminya tersebut.
"Bulan madu. Ayo, kita pergi berbulan madu."
Ucapan Rava sukses membuatnya gugup. Namun, belum sempat dirinya bertanya lebih jauh, Rava sudah kembali melajukan mobil setelah lampu berwarna hijau.
.
.
Setibanya di rumah, mereka berdua disambut oleh Mbak Yuni yang membukakan pintu. Wanita muda itu memang sengaja tinggal di rumah Amaya dan Rava untuk mengurus anak-anak juga pekerjaan rumah.
Saat Amaya sudah berhenti sejenak dan hendak menyapa kembali Mbak Yuni untuk menanyakan kabar anak-anak, Rava justru hanya berjalan cuek kemudian langsung masuk ke dalam kamar. Namun, tidak ingin mengambil pusing sikap Rava, Amaya memilih untuk segera pamit setelah mengetahui anak-anak sudah tidur, dan ikut menyusul Rava.
Niat Amaya saat tiba di kamar pertama kali adalah langsung merebahkan tubuh dan melupakan semuanya. Namun, pemikiran itu sirna seketika, begitu dirinya langsung bertemu mata dengan Rava yang sekarang sedang duduk di atas kasur tepat menghadap pintu.
"Jadi, bagaimana menurutmu? Apa kamu bisa ambil cuti untuk minggu ini?"
"Kamu serius tentang rencana bulan madu itu?" tanya Amaya balik padanya.
"Tentu saja. Hei, maksudku kita sudah menikah. Jadi, sudah seharusnya 'kan kita berbulan madu."
"Pernikahan kita hanya pura-pura, Rav. Jadi, tidak perlu sampai berbulan madu."
"Bagaimana kalau disebut sebagai upaya melarikan diri?"
"Maksudnya?"
"Mantanmu kembali dan mungkin akan menerormu di kantor. Kamu harus memberinya waktu untuk menyerah. Pergi sejenak dan ia akan langsung melupakan keberadaanmu seolah kamu tidak pernah ada."
Ucapan Rava terasa benar. Terlalu tepat sampai membuat Amaya ikut sakit hati saat mendengar ide melupakan dirinya dari Ragil. Sebut ia egois, tetapi Amaya memang masih mencintai pria itu.
"May, kenapa diam saja? Kamu setuju, 'kan?"
"Terserahlah. Aku sekarang memang tidak punya banyak pilihan," jawabnya singkat, kemudian melangkah pergi dari hadapan Rava.
Saat itu, Amaya perlu ke kamar mandi. Bukan hanya untuk membersihkan diri, tetapi juga untuk menenangkan pikirannya dari segala kekacauan yang ada.
.
.
Bau shampoo mengelitik hidung Rava. Aroma strawberry yang manis membuat perut pria itu tiba-tiba saja berbunyi tanpa bisa ditahan.
"Kamu lapar?" tanya Amaya yang sudah keluar dari kamar mandi.
"Tidak juga," dustanya yang langsung disusul oleh bunyi perut sebagai tanda bohong.
"Tidak usah gengsi. Aku bisa membuatkanmu makanan."
"Biar aku sendiri saja."
"Tidak usah. Biar aku saja, kebetulan sekali aku juga lapar sama sepertimu," balas Amaya cepat sembari melangkah ke arah pintu kamar. Namun, gerakan wanita itu terhenti. Dirinya lantas menoleh dan kembali berucap, "Kamu tidak usah turun. Mandilah selagi aku memasak. Air dingin akan membuatmu lebih segar."
.
.
Rava sudah selesai memakai piyamanya. Pria itu lantas turun. Menyusul ke arah dapur yang langsung disambut oleh wangi masakan. Tidak ingin mengganggu Amaya yang masih sibuk dengan penggorengan, membuat Rava akhirnya memutuskan untuk duduk di atas pantry. Menunggu istrinya selesai memasak.
"Masak apa?" tanyanya basa-basi.
"Tumis seafood."
"Kedengarannya sulit. Kenapa tidak masak mie saja?"
"Mudah, kok. Lagi pula, makan mie di malam hari tidak bagus untuk kesehatan."
"Kata siapa? Buktinya, aku sehat-sehat saja."
"Nanti saat kamu terkena kanker, jangan mengeluh padaku," jawab Amaya yang sukses membuat Rava mengedip seketika.
"Kamu ingin aku mati?"
"Ayo, makan. Tumisnya sudah matang. Lapar membuat orang kehilangan akal," sarkasnya pada Rava.
Belum sempat pria itu membalas, Amaya sudah lebih dahulu menaruh sepiring nasi di hadapannya. Kemudian dengan cepat ia kembali menaruh sepiring tumis dengan bau sangat sedap tepat berjejer dengan piring nasi. Amaya lalu mengambil dua pasang sendok dan garpu, baru setelahnya ia duduk di samping Rava sembari menaruh piring nasinya dan menggeser sedikit piring tumisan ke tengah. Tidak lupa, wanita itu juga menyerahkan sendok dan garpu yang sebelumnya ia ambil kepada Rava.
Tidak menunggu lagi, pria yang sudah sangat lapar itu langsung mengambil beberapa sendok tumis dan meletakkan di piringnya. Sementara, Amaya hanya bisa tertawa melihat sikap Rava yang tidak sabaran itu.
"Kenapa? Kamu tidak pernah melihat orang kelaparan sebelumnya?"
"Berdoa dulu."
Dalam hati ia mengikuti perintah Amaya dan berdoa. Baru, selanjutnya Rava melahap segera makanan di depannya.
"Kamu sering memasak?" tanya Rava di sela suapnya.
"Hmm ... aku tidak biasa makan mie instan seperti seseorang."
"Kamu mengejekku?"
"Mungkin. Hahaha. Entah mengapa duduk bersampingan seperti ini membuatku lupa sejenak mengenai masalah yang ada."
"Jangan khawatir. Aku sudah bilang akan membantumu. Minggu ini kita akan langsung berangkat bulan madu dan besok kita urus semuanya."
"Bulan madu, ya ... manis sekali kedengarannya."
"Kamu ingin ke mana? Mungkin ada tempat yang ingin kamu datangi," hibur Rava.
"Lombok. Aku punya sebuah rumah kecil di sana."
"Baiklah kalau itu maumu."
Mereka pun akhirnya kembali diam. Sibuk pada makanan masing-masing. Berusaha terus melangkah di tengah keraguan.
.
.
Ditulis oleh: Penulisdsy
Vote, follow, dan komentar jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Behind The Wedding
Romance[Romance - 19+] Follow dulu, baru dibaca. -PRIA yang LICIK bagai RUBAH- Dari semua cerita dongeng aku paling benci dengan kisah putri tidur, karena ia mendapat bahagia hanya dengan tertidur. Ingin sekali aku membangunkan dan menyadarkannya bahwa ti...