"Kau mau atau tidak? Kau harus berani nekat! Ah, dasar payah." Dee bersungut kesal menatap ke arahku sambil melipat tangan di depan dada.
Aku menghela nafas, "Semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dasar kau, idiot." Balasku ketus.
Dia memutar mata, "Oh jadi kau mau nya seperti apa? Menunggu pangeran mu itu menghampirimu deluan? Mau menunggu sampai kapan?" Tanyanya dengan nada sarkastik membuatku menghela nafas.
Sekarang aku benar-benar tidak mengerti apakah aku atau Dee yang keras kepala. Dee- sahabatku- bisa dengan mudah nya berteman dengan semua pria di sekolah. Sementara aku? Aku hanya gadis biasa yang lebih suka tenggelam dalam tumpukan buku berisi dongeng khayalan tentang cinta sejati dari pada mencari teman sungguhan di dunia nyata.
Dan tadi Dee baru saja menyuruhku untuk 'nekat' agar bisa berkenalan dengan seorang senior yang sedang ku taksir? Yang benar saja, ku rasa ada yang salah dengan otaknya.
Nekat?
Maksudnya dengan nekat adalah dengan berpura-pura menabrak pria itu. Bisa juga dengan memanggil nya saat dia lewat. Tapi aku masih waras dan masih punya pikiran. Berpura-pura menabrak? Hidup ini bukan sinetron. Memanggilnya saat dia lewat? Aku bahkan tidak cukup berani untuk meminta tambahan ekstra sambal di cafetaria saat makan siang.
Perkenalanku dengan pria itu benar-benar bisa di bilang tidak wajar.
Baiklah akan ku ceritakan.
Waktu itu aku sedang tenggelam dalam kisah Cammie dan Zach dalam novel seri Gallagher Girls saat salah satu teman sekelasku bertanya, "Ada yang bawa parfum atau tidak?" Dan aku dengan spontan mengangkat tangan.
Jangan berfikir aku ini centil atau apalah. Aku selalu membawa parfum untuk mengantisipasi semua bau tak sedap di sekitarku. Lagi pula bukanya aku membawa parfum mahal, itu hanya parfum refil berbau buah segar yang aku suka.
Dan tanpa aku sadari seseorang yang wajahnya asing buatku ada berada 2 langkah dariku dengan ekspresi datar terpasang rapi di wajahnya. Dan tanpa dia perlu bicara aku tau bahwa dia yang ingin meminjam parfum, jadi aku mengulurkan botol kecil berwarna cream itu padanya.
Dia bahkan tak tersenyum padaku saat aku memberikanya parfum itu. Aku tak bisa berhenti memperhatikan betapa mancung hidungnya serta garis rahangnya yang keliatan begitu sempurna.
Kemudian dia mengembalikan parfum itu padaku dan tanpa ucapan terimakasih dia pergi meninggalkanku.
Dua hari kemudian hal itu terulang lagi. Aku masih merasakan perasaan normal saat melihatnya tapi semuanya berubah saat kali ketiga dia datang ke kelasku dan meminjam parfum lagi.
Semuanya berjalan seperti biasa sampai saat aku tak sengaja menjatuhkan botol parfum yang terbuat dari plastik itu. Dia memungut botol yang jatuh di lantai tepat persis di sebelahku kemudian tanpa ku duga dia berbisik pelan di telingaku cukup pelan hanya untukku yang bisa mendengar, "You're cute." Kemudian seakan tak terjadi apa-apa dia pergi meninggalkanku, masih tanpa senyuman.
Dan sejak hari itu aku akhirnya mencari tau nama pria itu.
Namanya Zayn.
Oke, kembali ke saat sekarang.
Tadi pagi aku memasuki kelas dengan langkah malas. Satu-satunya motivasiku sekolah hari ini adalah harapan kalau dia akan datang ke kelasku dan meminjam parfum. Aneh memang, tapi kalau kau jadi aku kau pasti akan seperti itu. Melakukan apapun, mengharapkan apapun demi orang yang kau suka.
Dan kalau kau bertanya apa alasanku berdebat dengan Dee, jawabanya mudah saja.
Saat aku dan Zayn berpapasan tadi, dengan kurang ajarnya dia menolakku sehingga aku hampir menabrak Zayn. Kemudian saat kami menaiki tangga berdua dan tepat di depanku ada Zayn dia berkata dengan keras, "Raras, kau ini bagaimana sih? Katanya ingin bisa kenalan denganya tapi begini saja tidak berani." Sontak aku mencubit tanganya dan berlari ke dalam kelas dengan muka merah padam. Aku cukup yakin Zayn mendengar kata-kata itu karena dia melirikku sekilas sebelum aku lari.
KAMU SEDANG MEMBACA
memoir(^○^)
Randomand i'll give away a thousand days just to have another one with you. (a scribbled down wound of a pessimistic seventeen).
