Niall Horan - All The Little Things.
Aku menatap tangan gadis di dalam genggamanku ini nanar. Kulitnya yang putih pucat benar-benar kontras dengan kulitku yang seperti terbakar mata hari.
Ku usap mataku yang pasti sekarang mempunyai lingkaran hitam lebar layaknya seekor panda. Kemarin malam aku masih berada di Florida tapi sore ini aku sudah berada di Inggris. Rasanya tubuhku benar-benar pegal.
Tapi semua rasa lelah dan sakit yang ku rasa tak sebanding dengan yang di rasakan gadis di hadapanku ini. Berbagai macam selang terhubung ke tubuhnya. Matanya bahkan tak terbuka.
Aku rindu sosok gadis ini yang dulu.
Namanya Rania.
Rania yang dulu ku kenal adalah Rania dengan mata coklat yang selalu berbinar terang saat dia menatapku. Rania yang dulu ku kenal adalah Rania yang selalu sibuk mengurusi rambut hitam panjangnya dan akan selalu menggerutu saat dia mengalami 'bad hair day.' Rania yang ku kenal dulu adalah Rania yang selalu berjingkrak saat mendengar lagu favoritnya di putar dan Rania yang tak pernah bisa diam.
Tapi Rania yang di hadapanku sekarang bahkan tak sanggup untuk membuka matanya.
Tangan gadis di dalam genggamanku ini mulai bergerak perlahan membuat detak jantungku langsung otomatis menjadi lebih cepat. "Rania?" Bisik ku pelan di telinganya.
Perlahan aku bisa melihat bola mata coklat itu menatapku. Rasanya ingin saja aku langsung memeluknya seerat mungkin. Namun aku takut hal itu akan menyakitinya.
"Uh, Niall? Kau kah itu?" Tanya Rania dengan suara serak pelan.
Aku mengangguk kecil, tak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahku. Segera ku ambilkan segelas air dan sedotan untuknya. "Ini minumlah dulu."
Setelah membantunya minum dia tersenyum padaku. Baru sebentar dia tersenyum tiba-tiba saja dia terbatuk-batuk keras. Segera aku mengusap punggunya dan menyodorkan tisu. Tapi apa yang kami lihat di bekas tisu itu sama-sama membuat kami menegang.
Darah Rania jelas menodai tisu tersebut. Bibirnya pucat, hampir memutih. Aku pasti sudah akan melesat memanggil dokter kalau saja Rania tidak mencekal tanganku cukup keras.
"Niall, dont." bisiknya. "It's okay. I have that feeling that today will be the day." dia tersenyum tipis ke arahku.
Aku mengacak rambutku frustasi, "Ssh, Rania do not say that words ever again. Everythings will be fine. You will be okay." Kataku. Hah, lucu. Aku bahkan bisa mendengar keraguan di dalam suaraku.
Rania tertawa lirih, "We know that i wont." Aku menggenggam tangan Rania sekilas dan pamit keluar untuk memanggil dokter tapi gadis itu memohon padaku. Benar-benar memohon agar aku tidak pergi. "Tolonglah Niall, waktuku tidak banyak." katanya membuat hatiku mencelos.
Jadi disinilah aku.
Di atas ranjang rumah sakit yang sebenarnya terlalu kecil untuk dua orang dengan Rania bersandar di dadaku."Aku akan merindukan saat aku bisa menyentuh jarimu yang jelek ini." Perlahan gadis itu menyentuh jemariku dan tersenyum. "Atau menyentuh pipimu yang tidak ada bagus-bagusnya." Sambungnya lagi.
Entah kenapa dadaku merasa sangat sesak sekarang.
"Hey Niall," dia berusaha tersenyum meskipun aku tau di pelupuk matanya ada genangan air yang siap untuk meluncur. "Jangan lupakan aku, oke?"
Aku menyentuh pipinya perlahan, "Rania kau ngomong apa sih? Kita akan baik-baik sa-"
"Ssh." Dia memotong perkataanku. Telunjuknya yang menempel di bibirku terasa dingin. "Jangan katakan hal itu karena kita sama-sama tau tidak ada yang akan baik-baik saja, Niall." suaranya pecah saat dia mengatakan hal itu.
Kami diam beberapa saat. Tak mengatakan apa-apa. Ujung kakiku dan dia bersentuhan. Rasanya seperti menyentuh es.
"Satu lagu." gumamnya setelah rasanya lama sekali.
Aku menoleh, "Maksudmu?"
"Nyanyikan aku sebuah lagu. Lagu yang akan selalu bisa ku kenang meskipun aku sudah pergi nanti." sambungnya pelan.
Aku menggigit bibirku keras-keras. Ingin saja aku rasanya membentak gadis ini. Menyuruhnya untuk berhenti mengatakan kata-kata seperti itu. Tapi aku tak bisa melakukanya, tak mungkin. Karena sekeras apapun aku berusaha menyangkal hal yang di katakan Rania, faktanya hal itu benar.
Jadi aku berdeham pelan dan menggenggam tanganya sebelum bernyanyi.
"Your hands fits in mine like its made just for me. but bear this mind it was meant to be. And im joining up the dots with the fragiles on your cheek and it all make sense to me."
Ingatanku melayang kembali kepada Rania yang dulu cerianya minta ampun. Berlari kesana kemari. Tak pernah bisa diam. Rania yang tak terlalu perduli dengan penampilanya, tetapi selalu merasa insecure. Rania yang selalu menomor satukan hal-hal yang membuatnya bahagia. Rania yang dulu sering ku cubiti pipinya keras-keras sampai dia menjerit kesakitan kemudian melemparku dengan sepatunya. Rania yang selalu ku genggam tanganya setiap saat. Rania yang sejauh apapun dia pergi, dia tetap tau kemana dia harus kembali. Kembali padaku.
"I know you never love the crinkles by your eyes when you smile you never love your stomach on your thighs. The dimples in your back at the bottom of your spine but i love them endlessly."
Aku tau Rania paling tidak suka saat dia tertawa dan matanya akan berkerut. Seperti orang tua katanya. Aku sering menertawainya, mengatainya lebih terlihat seperti nenek-nenek dari pada gadis 18 tahun. Tapi dia tidak tau kan kalau sebenarnya aku benar-benar menyukai hal itu? Melihatnya tersenyum atau tertawa memberikan sensasi hangat di dadaku. Rania mungkin tidak tau, tidak akan pernah tau dan mengerti seberapa besar aku menyayanginya.
"I wont let this little things slip out of my mouth. cause it you, its you they add up to. I'm in love with you and all this little things."
Rania tersenyum lebar. Matanya berbinar. Oh astaga andaikan aku bisa menghentikan waktu sekarang juga. Aku tidak mau ada perpisahan.
Aku terus bernyanyi tanpa memperdulikan air mataku yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Yang aku tau adalah sekarang aku bersama Rania dan dia berada di pelukanku semuanya cukup.
"But you're perfect to me." Sambungku pelan. Sial rasanya mataku panas sekali sekarang. Aku benar-benar ingin menangis. Ku pejamkan mataku erat dan air mataku jatuh mengalir dengan brutal. Tapi aku tak berhenti meskipun hanya untuk sekedar menyekanya.
Semenjak penyakit ini menggerogoti tubuhnya, Rania mulai kehilangan rasa percaya diri nya. Rambutnya yang rontok parah membuatnya lebih suka mengurung diri di kamar. Tapi dia tidak tau kan kalau di mataku dia tetap seperti tania yang dulu? Rania yang selalu aku sayang.
"You'll never love yourself half as much as i love you. You never treat yourself right darling, but i want you to. If i let you know i'm here for you, maybe you'll love your self like i love you."
Aku tersenyum tipis setelah menyanyikan lirik itu. Dan Rania membalasku dengan senyuman yang sama. Senyum yang kami sama sama tau mempunyai arti 'aku gak mau kamu pergi.' Tapi beberapa hal memang tidak bisa di ubah dan meskipun benar-benar menyakitkan ini salah satunya.
Saat aku selesai menyanyikan lagu itu, aku tersenyum. Menatapnya yang balas menatapku dengan senyuman manis. Aku mencium pipinya dan memeluknya erat. Aku tau ini perpisahan, ini saatnya. Tanganya masih menggenggam tanganku dengan erat.
"Niall," ucapnya pelan.
Aku menggenggam tanganya makin erat, mengisyaratkan untuk melanjutkan perkataanya. Namun begitu saja. Rania hanya diam.
Dan Rania tak pernah mengucapkan satu patah kata pun lagi, meninggalkanku dengan kata-kata menggantung yang membuatku tak bisa melupakanya seumur hidup.
**
Raniaa maaf ya baru kelar sekarang soalnya sekolah sibuk bgt dan otak juga buntu banget maaf ya:( semoga suka meskipun ini gaje banget:(
elsa.
![](https://img.wattpad.com/cover/7361312-288-k217650.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
memoir(^○^)
Разноеand i'll give away a thousand days just to have another one with you. (a scribbled down wound of a pessimistic seventeen).