Buat ismi, kemarin lagi denger lagu Tahu Diri-nya Maudy Ayunda dan entah kenapa kepikiran buat ngerjai OneShot kamu deluan hehe semoga suka yaa:)
Buat yang lain sabar ya soalnya masih buntu nih.-. Hehe maaf.
***
Aku menatap pantulan diriku sendiri di cermin. Gaun putih panjang yang cantik nampak pas di tubuhku. Mau tak mau aku tersenyum kecil.
Gadis mana sih yang tidak senang di hari pernikahanya? Jangan menganggap aku tidak bahagia, aku bahagia sungguh. Namun kalau takdir bisa di ubah aku tidak ingin hal ini terjadi, belum mau.
Pintu kamar yang ku tempati terbuka. Aku bisa melihat Harry dari sudut mataku tersenyum lebar dan berjalan ke arahku. "You're so pretty i swear." Kata Harry setelah dia berdiri di sebelahku. Matanya mengerjap beberapa kali saat menatap pantulan diri kami di cermin.
Harry benar-benar tampan dengan tuxedo yang di kenakanya. Melihat Harry tersenyum lebar di sebelahku seperti ini sejujurnya membuat sebagian dari diriku hancur. Aku terlalu jahat padanya, andai saja dia tau.
"Ismi, i'm so glad i found you." Bisiknya pelan di telingaku sebelum mencium pipiku pelan.
Baru saja aku ingin menjawab perkataanya, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Di ambang pintu seorang pria berdiri dengan senyum khas dan menatap Harry, "Oi, boleh aku minta waktu berbicara dengan si calon pengantin?" tanyanya.
Harry tertawa dan berjalan ke arah pintu, kemudian menepuk punggung pria itu pelan dan berkata, "Sure mate." Sebelum pergi meninggalkan aku dan pria itu berdua.
"Never thought this day will come." Gumam si pria dan aku hanya diam.
Pria inilah alasan aku merasa bersalah pada Harry. Simpel saja, aku akan menikah dengan Harry hari ini tapi perasaanku terpaku pada pria di hadapanku ini.
Bukanya aku tak mencoba menghilangkanya, tapi rasa ini tidak mau pergi. Sebut aku bodoh, aku punya orang sebaik Harry yang mencintaiku tapi jika aku bisa memutar waktu, menulis takdirku sendiri, aku pasti akan memilih bersama pria di hadapanku ini.
Tapi takdir sendiri yang mengatakan dengan keras kalau kami memang tidak bisa bersatu.
"Apa kau bahagia?" Tanya pria itu pelan saat dia hanya berjarak satu langkah lagi dariku.
Aku berdeham, mencegah agar suaraku tidak pecah. Tapi aku gagal. "Aku seharusnya bahagia." kataku parau.
"Kau memang harus bahagia." Dia tersenyum pahit, "Dia beruntung bisa memilikimu. Andai aku bisa seberuntung dia."
Aku menggigit bibirku keras, aku benar-benar berusaha agar tangisku tidak pecah begitu saja. "Kau punya kesempatan itu." Aku menatapnya penuh harap, "kita bisa pergi. Kita bisa melarikan diri, apa saja asalkan bersamamu."
Tapi pria di hadapanku menggelengkan kepalanya dan menangkup wajahku di kedua tanganya, "Kita gak bisa." katanya lembut, "Aku harap kita bisa tapi kita gak bisa."
Aku terduduk lemas, menghapus air mata yang mulai mengalir di sudut mataku. "Harry bahkan tidak tau seberapa kutu bukunya aku." Aku mencoba tertawa, "Dia bahkan menyuruhku berhenti membaca karena katanya aku lebih memperdulikan buku darinya."
Pria di hadapanku tertawa kecil dengan suara parau. "Harusnya kalau dia memang mencintaimu dia tidak akan merubah hal-hal kecil yang biasa kau lakukan demi dia agar bisa mendapatkan perhatianmu. Dia harusnya memahami kebiasaanmu."
Aku tercekat dan bergumam, "Tidak ada yang bisa memahamiku sebaikmu, Zayn."
Zayn-pria di hadapanku- melempar tatapan ke arah lain dan menunduk. Matanya terlihat rapuh saat dia berkata, "Aku tau."
Oh demi Poisedon, rasanya sakit sekali. Tanpa bisa ku tahan pertanyaan yang sudah ku simpan sejak lama keluar begitu saja, "Tapi kau mencintaiku kan? Kau memahamiku lebih baik dari siapapun." Aku menutup mulutku dengan telapak tangan, mencegah tangis menyembur begitu saja. "Kau membuatku bahagia." Sambungku dengan isakan pelan.
Zayn menatapku nanar kemudian berlutut di hadapanku yang terduduk di kursi beralaskan satin putih kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Ismi, aku sayang sekali padamu, sungguh. I love you more than you'll ever know. But it hurts a lot, Ismi. Kita berdua tau kita.." Zayn menunduk dan berdeham pelan, suaranya berubah serak, aku tau dia berusaha untuk tidak menangis. "Kita tau kita berdua tidak bisa. Ini terlarang. Bukan jalan kita." Jemarinya menghapus air mata yang mengalir di pipiku, dia berusaha keras untuk tersenyum.
"Kau pasti bisa. Bahagialah untuk dirimu, Ismi. Kalau kau tak bisa, bahagialah untukku." Sambungnya kemudian memelukku erat. Aku balas memeluknya, menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Zayn.
Kemudian tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, seorang pria berusia 40-an menatapku dan Zayn dengan senyum kecil. "Nampaknya ada peristiwa mengharukan disini." Gumam pria itu.
Zayn memasang senyum selebar mungkin, "Bukan begitu, Pa. Kau tau, mana mungkin aku bisa menjalani hari tanpa adik kecilku ini. Harry akan membawanya pergi jauh dalam hitungan jam." Zayn mengangkat bahu dan menatapku, "I'll miss her so much."
Pria yang di panggil Zayn dengan sebutan papa berjalan ke arah kami dan memelukku. "Kau sudah dewasa, Ismi. Aku tidak percaya kau akan menikah hari ini. Nah, ayo turun semua sudah siap di bawah." Pria itu menggandeng tanganku dan menuntun ku turun ke bawah. Ke tempat acara pernikahanku akan di langsungkan.
Aku menatap Zayn nanar, namun aku berusaha tersenyum. Kemudian aku melirik pria di sebelahku dan bergumam, "Ayo kita turun, Pa."
Berkali-kali Zayn berkata dia mencintaiku hanya saja dia tak bisa. Dan berkali-kali aku berjanji pada diriku sendiri untuk menyerah. Menyerah melawan takdir yang sampai kapanpun menentang kami. Namun semuanya jelas, sekeras apapun kami berusaha, ini takdir. Takdir tidak menginginkan kami bersatu.
Lagi pula mana mungkin kau bisa bersatu dengan saudara kandungmu sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
memoir(^○^)
De Todoand i'll give away a thousand days just to have another one with you. (a scribbled down wound of a pessimistic seventeen).