Halo, kamu yang di sana!
Aku lagi nemenin Papa rapat bareng sama kolega kerjanya. Bosan. Tadinya aku mau chat kamu, tapi aku ingat kalau kamu sibuk dan kamu pasti punya banyak hal yang lebih penting dari pada aku dan pesan-pesanku. Jadi aku kira ada baiknya kalau aku tulis aja apa-apa yang mau aku omongin ke kamu. Aku cuma... apa ya, pengen berbagi sama kamu.
Bukankah harusnya begitu ya?
Bukankah dua orang yang diikat dalam satu hubungan semacam memiliki hak khusus untuk saling mengetahui setiap detail tentang hari satu sama lain? Seharusnya gak masalah 'kan kalau aku ngerusuhin ponsel kamu dengan celotehan gak penting tentang hariku?
Tapi... apa ya, aku tau diri. Aku ngerti kalau kita adalah dua individu yang sama sekali berbeda. Aku mungkin santai, pesimis dan cenderung cuek dengan urusan-urusan di kampus. Tapi kamu berbeda; kamu santai namun tetap was-was dan serius di saat yang bersamaan. Kamu optimis; meski kerap kali terlihat gak percaya diri, aku tau jauh di dalam hatimu kamu percaya kalau tidak ada yang tidak mungkin. Dan kamu, kamu perduli dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingmu. Kamu mengurus semuanya sebisamu, setiap detailnya. Semuanya--kecuali kita.
Aku minta maaf. Aku tau aku sedang meracau sekarang. Teman-teman papaku memberiku segelas kopi dengan asap yang mengepul saat aku tiba tadi. Aku tersenyum saja pada mereka, tidak cukup berani untuk mengatakan kalau aku alergi terhadap minuman yang satu itu. Tapi tetap saja, dengan senyum kecil, aku meminumnya.
Kurasa kopi ini jugalah yang mendorongku untuk menulis. Tiap teguknya memicu suatu perasaan aneh di dalam diriku; pusing yang berlebihan, detak jantung yang semakin cepat--perasaan tidak enak. Biasanya aku benci dengan sensasi ini. Aku bahkan pernah hampir menangis, memohon agar rasa itu hilang dariku saat aku tak sengaja meminum sesuatu yang mengandung kafein beberapa minggu lalu. Tapi hari ini... aku merasa lebih baik.
Kepalaku berat, aku tidak akan bohong soal itu. Tapi reaksi entah apa yang berlangsung di dalam tubuhku ini, entah bagaimana caranya, berhasil menutupi puluhan rasa yang bergejolak di dalam dadaku beberapa hari belakangan. Rasa itu, kamu penyebabnya.
Kamu lihat, aku bukan tipe perempuan yang banyak meminta. Aku bisa hidup tanpa kamu di sisiku setiap detiknya. Aku bisa hidup tanpa berbicara denganmu. Aku bisa hidup tanpa tau apa sebenarnya yang kamu rasakan terhadapku. Tapi kamu tau masalahnya apa? Aku mungkin bisa melalui semua itu, tapi aku tidak mau.
Banyak yang mengatakan kalau kita menganggap seseorang itu penting, maka kita akan selalu berusaha meluangkan waktu untuknya. Tak perduli sesibuk apapun kita. Benarkah itu? Jika memang benar, kenapa kamu seakan gak punya waktu untukku? Apa itu artinya... aku gak cukup penting buat kamu?
Aku bukan orang yang pintar dalam Matematika. Faktanya, aku sangat membenci pelajaran itu semasa sekolah. Tapi, ayo kita berhitung sedikit. Aku harap hitungan matematika ini mampu membawamu kembali pada kewarasanmu;
Satu hari terdiri dari 24 jam. Waktu yang cukup lama, bukan? Potong delapan jam untuk tidur, maka masih ada 16 jam yang tersisa. Dalam kurun waktu 16 jam itu, ada banyak sekali hal yang kamu lakukan. Iya, aku mengerti kamu sibuk. Ada terlalu banyak hal yang harus kamu urus selain aku. Tapi apa susahnya sih, di antara waktu 16 jam yang kamu punya itu, kamu menyisihkan lima menit untuk mengirimiku pesan? Oke baiklah, persetan dengan lima menit, bahkan untuk mengetik kata 'hai' saja tidak sampai memakan waktu satu menit. Kamu bahkan bisa memainkan ponsel selagi makan, atau sebelum sholat, atau sebelum kamu mandi. Lalu apakah aku sama sekali tidak pantas mendapatkan 1 menit saja dari 24 jammu yang berharga?
Hah, maaf, aku memang payah. Aku tau kamu tidak pernah sekalipun menganggapku sebagai prioritasmu. Kita sama-sama tahu soal itu dan aku tidak masalah sama sekali. Aku sudah mengetahuinya sejak jauh-jauh hari. Tapi... apa aku segitu tidak berharganya, ya, di mata kamu sampai-sampai kamu bisa menjalani hari tanpa mengucapkan satu patah kata pun padaku tanpa merasa rindu? Apa gak pernah ya, di antara 24 jam waktu yang kamu miliki aku terlintas di pikiran kamu? Apa gak pernah ya, di saat kamu duduk sendiri, kamu bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang aku lakukan dan apakah aku baik-baik saja?
Yang membuatku merasa seakan aku benar-benar payah adalah; aku sangat rendah diri. Aku selalu melihat diriku sebagai sesuatu yang tidak berharga, tidak cukup penting. Tapi kemudian kamu datang, dan kamu membuatku merasa seakan aku ini sesuatu yang bukan aku. Seakan aku ini sesuatu yang jauh lebih berharga. Dan selama beberapa saat, aku mempercayai hal itu.
Tapi lalu kamu menghilang. Kamu tidak meninggalkanku namun tidak juga ada di sampingku. Kamu... yah, hilang. Dan sikapmu itu berhasil membuat semua rasa yang dulunya sempat terkubur itu kembali muncul. Aku kembali merasa tidak berharga, tidak cukup layak untuk bahagia.
Dear, aku harap kamu baik-baik saja di sana. Dan aku harap kamu tidak tersinggung dengan ucapanku. Aku hanya... mencoba jujur pada diriku sendiri. Aku menyayangimu, sungguh. Tapi jika sikapmu terus dan terus seperti ini... aku tidak yakin.
Jangan salahkan aku jika suatu saat nanti aku bertemu dengan seseorang yang mau mendengar kisah tentang hariku. Seseorang yang siap mendengar semua celotehanku dan tidak keberatan dengan ocehanku yang memenuhi layar ponselnya. Seseorang yang menyisihkan sedikit waktu dari 24 jam berharga miliknya untukku. Seseorang yang... membuatku merasa penting. Seseorang yang menempatkanku satu tangga di bawah prioritas utamanya. Dan ketika saat itu tiba, aku tidak yakin apakah aku masih cukup kuat untuk berpegang pada kita.
Karena, dear, selama ini aku telah menyisihkan banyak waktu untuk menunggu--menunggu kamu memberi kabar, menunggu kamu untuk melihatku, menunggu kamu untuk perduli. Namun, sayang, semua waktuku hilang tak berjejak.
Mungkin hari ini aku baik-baik saja. Tapi suatu saat nanti, aku akan terlalu lelah untuk menunggu. Pun aku akan mengemas barangku dan berjalan mundur, menghilang bersama dia yang telah lama menungguku.
KAMU SEDANG MEMBACA
memoir(^○^)
Ngẫu nhiênand i'll give away a thousand days just to have another one with you. (a scribbled down wound of a pessimistic seventeen).