52. MUGSHOT

1.8K 102 14
                                    

CHAPTER FIFTY-TWO

MUGSHOT

•••••

You remind me of a penny ... two-faced and worthless.

•••••

Ever mendongak, matanya menjelajahi langit – langit ruang interogasi yang berwarna kelabu. Bilik itu remang – remang, hanya berpelitakan sebuah lampu berlumen rendah. Bayangannyalah yang setia mendampingi, di masa sulit seperti ini sekalipun. Selama menunggu kedatangan penyidik, ingatannya kembali ke malam final Caballero Cup.

"Hai, Dik," sapa anak sulung dari keluarga Haaz, Mason. Pria yang mengenakan setelan serba hitam itu terkesan angkuh. Aura mengintimidasi berpendar ke seputarnya.

Alih – alih memaki tampang yang tampak tengah meremehkannya itu, Ever memilih menawarkan segelas bir khas Oikos. "Hi, Don."

Selaku suksesor Abram, Mason memang berhak menyandang gelar "the don". Kekuasaan dan pengaruhnya dalam lalu lintas bisnis ilegal yang dirintis sang ayah amatlah besar. Bahkan yang mulanya sebatas perdagangan gelap narkoba belaka, berhasil mengepakkan sayap ke sektor persenjataan dan perjudian. Sebuah kasino megah di Las Vegas menambah daftar capaian pria berusia kepala tiga ini.

Ever tumbuh dengan kedengkian pada ketiga kakak laki – lakinya yang selalu dibanggakan oleh Abram. Berawal dari kedengkian, kebencian berangsur – angsur menguasai hatinya. Terlebih lagi jauh di dalam kalbu ia menjerit, haus akan kasih sayang para kakaknya. Suatu kala ia pernah mendamba diperlakukan selayaknya tuan putri, dianugerahi dengan tiga pria yang hebat, tangguh, tanggap nan penuh welas asih terhadapnya. Nahas, itu masihlah dongeng belaka. Sepanjang ingatannya, Mason dan Elon kompak mengucilkan sementara Orion masih menyisakan setitik rasa kasihan dan tak sebegitu abai.

Ever ingin kesetaraan. Ketika keputusasaan mulai melemahkannya dan ambisi membutakannya, setan – setan jahanam mulai membisikkan kidung – kidung menyesatkan. Ever nekat banting setir menuju kegelapan. Ia bersumpah untuk mengudeta Mason dari takhtanya sebagai pembuktian kelayakan diri agar sang ayah berkenan membanggakan dan mengasihinya.

Sejak belia ia kerap mengamati serta mempelajari cara kerja sindikat kriminal tersebut. Perlahan namun pasti, Ever mulai lihai dalam pemafiaan. Merasa cukup siap, Ever mengemis pada Mason supaya setuju untuk memasrahinya sejumlah tugas tak berselang lama dari ulang tahunnya yang kesembilan belas. Tak ingin kepalang tanggung, ia bersiteguh mempraktikkan pengetahuannya secara langsung—di lapangan. Biarpun demikian, nyalinya sempat ciut. Apalagi Ever sadar betul dunia macam apa yang akan ia cemplungi: kejam, berbahaya, dan penuh tipu muslihat.

Ever terkejut mendapati kepercayaan Mason saat itu. Bajingan itu memberikan lampu hijau, bahkan mengutus salah seorang kaki tangan kepercayaannya untuk mendampingi di awal - awal—menjadi semacam penasihat.

Gadis itu telalu naif. Di balik dukungan yang Mason berikan, ada sebuah rencana terselubung. Ever—yang keburu menyimpulkan bahwa hati sang kakak mulai luluh—telah jatuh ke dalam perangkap Mason yang tanggap membaca tindak tanduknya.

Pria itu tak sedungu yang Ever sangka, lebih - lebih ini menyangkut tampuk pimpinannya. Justru ia memanfaatkan momentum ini untuk menjatuhkan Ever, membalaskan dendam kesumatnya. Ia terdoktrin Abram, ikut – ikutan membenci dan menyalahkan Ever atas kematian sang ibu. Di matanya Ever tak lebih dari sekadar pembunuh. Maka, ia pun mendelegasikan adik bungsunya itu ke Thelburg dan kemudian memutasikannya ke Cervera.

Keputusannya bukan tanpa suatu alasan. Berkaca dari nasib Abram, Mason mengerti bahwa Cervera bukanlah tempat yang aman bagi orang – orang semacamnya. Penegakan hukum di kota ini sangatlah rigid. Oleh karena itulah, ia tak pernah berminat menjadikan Cervera sebagai target pasar.

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang