53. UTOPIA

1.8K 99 12
                                    

CHAPTER FIFTY-THREE

UTOPIA

Utopia merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang telah lama menjadi destinasi unggulan warga Cervera untuk menghambur – hamburkan uang. Konstruksi bangunannya terbilang unik sebab berkiblat pada arsitektur bergaya Victorian yang dipadukan dengan sentuhan teknologi modern—kurang lebih serupa The Queen Victoria Building yang berlokasi di Sydney, New South Wales, Australia.

Alenta sedang mengidap "kanker" alias kantong kering. Ia kemari hanya demi menemani Ivette membeli sejumlah skincare yang direkomendasikan oleh rekannya di MAUVEIT. Kendati demikian, netranya menolak diajak berkompromi. Masih saja kepala batu—jelalatan pada setiap jendela kaca yang ia lewati.

Alenta sengaja memperlambat jalannya ketika hampir sampai di depan satu dari ratusan gerai milik sebuah fashion brand yang sudah tak asing lagi dalam dunia mode. Pantas saja gerai itu mentereng, bagaimanapun harus menyesuaikan barang – barang prestisius nan tentunya mahal yang mereka tawarkan. Namun, yang menyita perhatiannya bukanlah tas ataupun gaun rancangan para desainer bertalenta dari brand tersebut, melainkan advertising panel yang tersedia tak jauh dari pintu masuk. Terakhir kali ia berkunjung ke Utopia, panel tersebut masih menampilkan foto Ever—selaku brand ambassador—yang memamerkan satu set perhiasan yang belum lama ini dirilis. Entah karena tak ingin terdampak skandal Ever atau apa, tapi sosok anggun nan ayu Ever tak lagi menghiasi bidang di sana. Alenta pun jadi kembali terngiang – ngiang perkataan jangkar berita pagi tadi.

Tak berselang lama, sampailah keduanya di tujuan utama. Selagi Ivette asyik berkonsultasi seputar kondisi dan kebutuhan kulitnya agar dapat memutuskan produk varian mana yang paling cocok, Alenta berminat melihat – lihat koleksi masker yang dipasarkan dalam gerai satu ini. Di tengah jalan, seorang pramuniaga mencegatnya dan bergegas menyodorkan sebuah botol dengan kombinasi warna – warna pastel.

Oh, shit, batin Alenta.

Selama beberapa saat, wanita berpenampilan ciamik tersebut mengobservasi jerawat sebesar biji kacang hijau yang tumbuh pada dagu Alenta. Jerawat hormonal itu didapat Alenta tak lama jelang periode haidnya. Hari ini ia sama sekali tak berhasrat untuk bersolek, maka sudah pasti jerawat kemerahan itu terpampang gamblang dalam kondisi polos tanpa riasan seperti sekarang.

"Ih, ada jerawat. Gak malu apa, Kak? Padahal kakak cantik loh kalau mukanya bersih, bebas jerawat. Nah, serum ini solusi tepat bu—"

"Having flaw ain't a law-breaking. Am I wrong, Judge?" interupsi Alenta. "Saya gak malu kok ... well, we are imperfectly perfect in this perfectly imperfect world."

"M—maaf atas kelancangan saya, Kak."

Alenta mengangguk singkat. Ia nyaris memberikan lektur mengenai pentingnya mencintai diri sendiri yang dapat dimanifestasikan dengan—salah satunya—menerima dan memandang positif kekurangan yang dimiliki serta untuk tidak memaksakan standar kecantikan yang dianut kepada orang lain. Akan tetapi, ia sedang malas meladeni manusia semacam pramuniaga tersebut.

"Terima kasih atas rekomendasi produknya, tapi maaf ... lain kali saja, ya," tutur Alenta sebelum kembali ke tempat Ivette.

Usai menunggu sepanjang seperlima jam, Alenta membuntuti Ivette yang melangkah keluar dengan paras semringah. Pasalnya, satu paket skincare yang kini terkemas rapi dalam paper bag berwarna lilac itu memang telah lama berada dalam bucket list Ivette.

"Ke mana lagi nih kita?"

"Ada toko frozen yogurt yang baru buka. Dari ulasan yang aku baca di internet, kayanya enak sih dan lagi ada promo besar – besaran juga. Mau coba?" saran Ivette yang tahu sahabatnya ini menggandrungi segala menu olahan yogurt.

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang