54. ECLIPSE

1.5K 86 10
                                    

CHAPTER FIFTY-FOUR

ECLIPSE

"Buset, calon superstar. Congrats, Bro!" Aiden menyambut Damen dan Alenta tak jauh dari pintu utama sebuah stasiun radio terkenal di Cervera. Ia membentangkan selembar kertas linen bertuliskan "I ADORE DAMEN!" selagi mengempit buket yang tersusun atas sekumpulan bunga tulip berwarna kuning. Sengaja warna kuning dipilihnya lantaran mengandung simbol keceriaan dan persahabatan ... yah, setidaknya itu menurut penuturan pelayan toko bunga langganannya.

Alenta mencium aroma yang langsung ia kenali: parfum super mahal milik Nelson. Dari situlah ia mampu jitu menebak pemberhentian Aiden sebelumnya, yakni training centre. Sesungguhnya, ia masih tak menyangka kehadiran Aiden sekalipun ia sendiri yang memberitahukan padanya mengenai kunjungan pertama Damen dalam rangkaian tur ke berbagai radio guna mempromosikan album bertajuk Hiraeth yang dirilis semalam, tepat pada pukul dua belas. Damenlah yang menamainya. Kata tersebut berakar dari bahasa Wales yang cukup sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Namun, bisa disimpulkan maknanya ialah perasaan rindu akan "rumah" yang tidak lagi bisa jadi tempat untuk kembali atau bahkan "rumah" yang tak pernah ada—nostalgia yang diwarnai duka.

"Kenapa lihat – lihat? Pengin?" dakwa Aiden.

"Huh, you wish!" Alenta kontan menggeleng. Bukannya iri, hanya saja ia gemas terhadap adegan yang baru saja ia saksikan—sudah bak ibu yang senang melihat keakuran dan kekompakan anak – anaknya. "I was just ... well, yes, when I was a girl, I used to want flowers. I'm a woman now and rather than flower, I want ultimate power over ... myself."

Aiden dan Damen menyuguhkan reaksi yang serupa. Keduanya menyeringai, dapat terbaca jelas betapa bangganya mereka mendengar pengakuan Alenta.

"Thanks, Den, tapi kesambet apaan lo sampai bela – belain kemari? Pakai bawain kembang segala pula."

"Gue turut senang aja. Malahan gue berpikir kalau ...." Aiden mengambil jeda untuk membasahi bibir bawahnya. "We need to throw a party for your debut."

"Absolutely!" timpal Alenta, matanya berbinar karena antusiasme. "Ngomong – ngomong, gimana opini kamu terkait lagu kolaborasi kami berdua?"

Tanpa ragu Aiden berkomentar, "Aku suka lagunya, tapi gak dengan video musiknya."

"Kenapa? Padahal konsepnya keren tahu!" sembur Alenta usai menyempatkan diri untuk tersenyum ramah dan melambaikan tangan kepada satu dari dua penyiar radio yang tadi banyak membantunya sewaktu siaran.

"Peka dikit elah, Len. Ya ... apalagi jika bukan gara – gara lakon kita sebagai sepasang kekasih," celetuk Damen.

Jalan pikiran Aiden tak ubahnya labirin rumit, berbelit – belit, nan tak berujung—selalu sulit untuk Alenta telusuri. Tak jarang ia merasa dipermainkan perasaannya meskipun sejatinya tidak.

"Mm, kamu mau pulang bareng siapa?" tanya Aiden, mempersilakan Alenta menentukan pilihannya sendiri. Sesuai apa yang gadis itu kehendaki: mempunyai kuasa dan kendali penuh atas dirinya, menjadi sosok wanita yang independen.

Alenta mencuri pandang ke arah Damen melalui ekor matanya, sedangkan rekan duetnya itu menatapnya balik—menunjukkan dukungan penuh—seolah - olah ia sanggup menerawang masa depan. "Kamu. Aku kangen Annabelle."

"Ya udah, Dam, kami duluan, ya?" pamit Aiden.

"Hey, man." Damen menepuk pundak Aiden tepat sebelum pria itu berbalik badan. "Be her knight, treat her right."

Aiden mengangguk, lalu menggamit pergelangan tangan Alenta—membawanya menuju area parkir. "Kamu lapar gak?" tanyanya sembari memakaikan helm ke kepala Alenta.

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang