59. (X) : ATARAXIA

1.3K 63 21
                                    

EXTRA CHAPTER

ATARAXIA

•••••

ἀταραξία

(n.) a state of freedom from emotional disturbance, anxiety; calmness untroubled by mental or emotional disquiet; tranquility.

•••••

"C'mere, babe!" panggil Aiden selagi menanti Alenta yang masih berjuang menerobos kelimun Apollo yang sibuk berebut kesempatan untuk mengoleksi tanda tangan atau sekadar memperoleh hasil jepretan jarak dekat para pemain tim kebanggaannya.

Dengan bantuan dua personel keamanan yang kebetulan berjaga tak seberapa jauh dari sana, Alenta pun berhasil mencapai dinding setinggi satu meter yang membatasi area tribune dengan lapangan. Melihat itu, Aiden lekas mengaitkan lengannya di seputaran sendi-sendi bahu Alenta agar lebih mudah baginya dalam mengangkat sekalian menarik Alenta keluar. Keduanya serempak tergelak begitu sukses meloloskan diri dari para penggemar yang sudah ibarat segerombolan zombie dalam beberapa judul tontonan yang pernah Alenta tamatkan saja.

"Watch out!"

Jika bukan berkat diperingati oleh Aiden, Alenta nyaris melupakan fakta bahwa masih ada satu perintang tersisa yang harus ia lalui, yakni led perimeter boards—media mejeng sejumlah iklan produk keluaran korporasi yang berkenan mensponsori liga. Kendati tak setinggi dinding sebelumnya, Alenta sepatutnya tetap ekstra berhati-hati.

Musim ini boleh dibilang merupakan musimnya Ilios FC. Tim berjuluk The Yellows alias The Sun menjadikan Grand League sebagai ajang untuknya bersinar terang. Grand League tergolong liga top-tier berskala nasional yang tentunya dilimpahi sorotan publik. Menjadikan kabinetnya sebagai tempat persinggahan trofi bergengsi satu itu adalah dambaan sebanyak dua puluh klub yang berpartisipasi dalam perebutan gelar.

Rekam jejak ciamik nan konsisten yang Ilios FC torehkan selama 38 laga ke belakang menjadi resep kunci supaya dapat mengeklaim puncak klasemen di penghujung musim. Tak mandek sampai di situ, kebahagiaan yang dirasa segenap keluarga besar Ilios FC kian lengkap saja lantaran mereka berketepatan sekali bisa merayakan kemenangan besar ini di rumah sendiri.

"Kita kudu berfoto bareng trofi! Tadi aku sudah pesan ke Nelson dan dia bilang giliran kita meminjam itu sehabis Miguel," ujar Aiden yang sesekali membungkuk ke arah para suporter sebagai wujud salutnya atas dukungan yang tak pernah absen mereka curahkan.

Alenta manggut-manggut seraya memainkan medali yang telah terlebih dulu dikalungkan pada Aiden. Beberapa kali dirinya tepergok mendongak dan menatap Aiden dengan hati penuh akan kekaguman. "Look at you, look at how far you've come! You're definitely going places. Your mom and Aro must be very proud of you."

"They do?" tanya Aiden tampak lebih seperti sedang menyatakan afirmasi kepada dirinya sendiri.

He's showing his vulnerability, batin Alenta dengan perasaan terenyuh.

Aiden jarang sekali menunjukkan kerentanan atau kelemahannya. Itulah mengapa bagi Alenta momen-momen seperti sekarang menjadi salah satu pengalaman yang dari waktu ke waktu mengundang antipatinya sebab ia tak suka bilamana Aiden dilucuti kekuatannya begitu saja.

"They do, Den." Alenta menuntun Aiden ke dalam dekapannya. Sang tunangan berlutut, menempelkan kepalanya ke perut Alenta dengan manja. Meski bersembunyi dalam pengayomannya, ia langsung mampu menangkap bahwasanya pria itu tengah membiarkan diri untuk menangis—sekali lagi jujur terhadap perasaannya. "Kamu ingat gak, Den, aku pernah kepengin banget punya iris biru?"

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang