61. (X) : AMOUR-PROPRE

897 59 15
                                    

EXTRA CHAPTER

AMOUR-PROPRE

•••••

A value is valuable when the value of value is valuable to oneself.

-Dayananda Saraswati-

•••••

Para wartawan didampingi oleh rekan kamerawannya telah meramaikan muka bangunan pengadilan sejak kedatangan Aiden beberapa jam sebelumnya. Mendapati sosok Aiden yang baru saja keluar melalui pintu masuk utama, secara simultan mereka berasak dari tempatnya dan mulai mengerumuni pria satu itu.

Tak seperti biasanya, Aiden tampil necis—berbalut jas yang dipinjamkan oleh sang ayah. Ia, bersama dengan pengacaranya, dikawal oleh tiga personel kepolisian menuju mobil Finn yang telah menanti di titik yang sesuai arahan dari tim keamanan. Tak satu pun di antara sekian banyak pertanyaan seputar sidang pemungkas yang ditodongkan padanya mendapat tanggapan. Kendati dikenal ramah di kalangan awak media, khusus kali ini sekadar tersenyum saja ia enggan.

Terlepas dari bagaimana pun reaksi Aiden, kasus ini pada akhirnya tetaplah menjadi topik pembicaraan hangat. Boleh dikata semacam tak dapat terelakkan mengingat ketenaran Ever yang beberapa saat lalu telah resmi dijatuhi vonis seumur hidup penjara lantaran terjerat pasal berlapis, yakni pasal terkait percobaan pembunuhan serta pasal terkait pengedaran narkoba.

Aiden menghela napas panjang, lantas mengembuskannya pelan-pelan sembari menyandarkan kepala pada headrest. Sementara itu, Finn menyempatkan untuk menoleh sekejap ke arah sahabatnya sebelum menginjak pedal gas. Membaca kelegaan melalui bahasa tubuh Aiden, dirinya pun jadi ikut terbawa merasakan hal yang sama. "The war has finally come to an end, eh?"

Masih dengan mata yang terpejam, Aiden lekas menimpali, "Life, basically, is a never-ending war though. So, brace yourself, soldier."

Finn berpikir sejurus, tiba-tiba teringat akan suatu film berjudul Captain America: The Winter Soldier yang entah sudah berapa kali ditontonnya bersama Aiden dan Leo. "Hey ... 'til the end of the line," celetuk Finn mengutip baik Steve Rogers maupun Bucky Barnes yang merupakan tokoh sentral dalam film tersebut.

Aiden mengalihkan pandangan dari lampu lalu lintas—yang masih menunjukkan cahaya merah di kanannya—ke kaca spion tengah yang sedang digunakan Finn untuk mengamati refleksinya dari baris depan. Kemudian, ia meloloskan tawa kecil begitu tersadar bahwa dirinya tidaklah berperang sendirian. "Yeah, 'til the end of the line," beo Aiden.

•••••

Usai mengantar pengacara Aiden—yang kebetulan merupakan teman sebangku ayahnya semasa sekolah dahulu—kembali ke kantornya, Finn meneruskan tugas lainnya, yakni mengantar Aiden ke training centre.

Sesungguhnya Aiden diizinkan mangkir dalam sesi latihan hari ini. Namun, dirinya kekeh untuk tetap datang lantaran merasa sayang bila melewatkan sesi latihan terakhir dalam rangka menyambut derbi di mana dua klub yang sama-sama bermarkas di Cervera—Ilios FC dan Essere FC—saling adu kekuatan.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, Aiden telah tiba di tempat tujuannya. Menjadikan area lobi sebagai titik start, ia berlari kecil—berniat menyambangi Alenta sejenak sebelum pergi ke ruang ganti. Akan tetapi, selang beberapa langkah, barulah ia teringat bahwa hari ini Alenta tidak memiliki jadwal mengantor. Langkahnya berubah menjadi gontai—efek dari merasa kecewa.

"Loh, Aiden?"

Aiden mendongak, dari arah berlawanan didapatinya Arsene—dengan raut heran—berhenti tak jauh di depannya. Pria itulah yang menganjurkan Aiden untuk absen, tak ayal bosnya satu itu merasa cukup terkejut melihatnya di sini. "Ya, Ar?"

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang