2. APPROVAL

426 43 21
                                    

CHAPTER TWO

APPROVAL

Alenta mengikuti jejak Aiden. Ia berlari supaya cowok itu berhasil terkejar. Ia baru keluar dan hendak berbelok kala Aiden berkata, "Aku tahu kamu pasti bakalan cari aku. Biar kamu gak capek, makanya aku putusin buat nungguin kamu di sini. Kurang pengertian apa sih aku?"

Alenta memajukan tubuhnya ke arah cowok yang sedang bersandar pada dinding luar studio seni tersebut. "Mau kamu apa, sih?"

"Kamu. Aku butuh kamu."

Alenta menggulirkan bola matanya karena muak dengan mulut manis Aiden. "Stop ngegombal, deh!"

"Aku serius. Aku butuh kamu buat selamatkan klub bola. Aku mau kamu jadi PR klub bola. Tolong bantuin promosi kami selama expo nanti," pinta Aiden tanpa basa - basi lagi.

Alenta membasahi bibirnya, tampak resah. Dirinya termasuk golongan para people pleaser dan ia membenci fakta tersebut. Salah satu ujian terberatnya ialah ia cepat setuju, bahkan ketika tidak terlalu setuju. Akan tetapi, di kesempatan kali ini ia harus mampu dengan tegas berkata tidak. "Gak bisa. Aku bukan anak bola. Lagi pula, di saat itu, aku bakal fokus bantuin klubku sendiri, Den." Alenta mendadak kehilangan nyali untuk sekadar menatap lawan bicaranya. Ia enggan dihantui oleh raut kecewa Aiden.

"Please, help us! Klub musik udah punya banyak anggota. Kehilangan satu orang aja, aku rasa gak akan berpengaruh besar. Peminat tiap tahun klub kamu juga relatif stabil, kan? Sedangkan klubku? Udah di ujung tanduk, Len. Please, pertimbangin lagi, ya?" Aiden benar – benar telah membuang jauh – jauh gengsinya. Apa pun akan ia lakukan demi berjayanya kembali klub yang ia penggawai.

"I'm sorry, I can't," balas Alenta sebelum kembali masuk ke studio seni.

•••••

Aiden sudah di depan ruangan yang belum pernah ia jamah. Di atas pintu terpasang plakat bertuliskan "STUDIO MUSIK". Julukannya serupa studio seni, yakni "STUSIK". Stusik sama luasnya dengan stusen sebab merupakan perpaduan antara ruang kelas dan studio musik. Rasio luas ruang kelas dan studionya sendiri adalah 1 : 3. Sebagai kembaran stusen, stusik juga tak memiliki bangku dan meja.

Aiden memasuki stusik tanpa ragu sekalipun ia sadar betul ia tidak mengambil kelas musik dan bermusik pun bukanlah keahliannya. Ia sengaja bolos kelas sejarah demi menyelinap kemari. Ia bersyukur Kak Getler—guru musik—tak tiba lebih awal darinya. Dengan begitu, ia tak perlu mencari - cari alasan supaya diperbolehkan masuk.

Pandangan Aiden mengedar, memindai keberadaan Alenta. Pas sekali! Orang yang ia cari juga tengah menatapnya dengan raut sarat akan keterkejutan. Ia segera turut bergabung, duduk di dekat Alenta.

"Hai, Alenta!" sapa Aiden.

"Gue gak pernah lihat lo di kelas musik. Lo baru ambil buat tahun ajaran ini, ya?" tanya seorang cowok yang duduk di samping kiri Alenta.

"Kepo," balas Aiden.

"Kamu kenal cowok ini, Len?" Damen menunjuk Aiden seraya terang – terangan memperlihatkan ketidaksukaannya. Kendati demikian, sejujurnya ia iri akan kulit sawo matang yang mempertegas kesan eksotis yang terpancar dari sosok Aiden.

Yang begitu tipe Alenta banget, batin Damen.

"N—nggak kok, Dam."

"Kamu lupa, ya? Tadi pagi, kita jadian."

"Eh, nggak ya, jangan mengada - ngada kamu!" bantah Alenta.

Seorang pria muda berkacamata memasuki ruangan, membuat semua siswa otomatis terdiam. Itu Kak Getler dan well ... karena umurnya masih seperempat abad, ia meminta para siswa memanggilnya "kak" saja. Sebulan yang lalu, ia diangkat sebagai pengajar tetap, menjadikannya guru termuda di Cervera High, melengserkan Bu Ruth dari posisi tersebut.

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang