9. ALIEN

197 28 2
                                    

CHAPTER NINE

ALIEN

•••••

Don't turn to be an alien.
Please understand my language.
Coz in it, there's a hint that I love you.

•••••

Aiden menatap malas ke arah layar proyektor yang kini sedang menampilkan beberapa benda luar angkasa beserta deskripsinya. Pokok bahasan pada kelas fisika kali ini sangat membosankan baginya. Well, karena secara umum materi tentang tata surya memang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya.

"Luar angkasa menyimpan banyak misteri, ya?"

Aiden menoleh pada rekan sebangkunya itu yang kini sudah berganti statusnya, dari sahabat menjadi pacar. "Hm."

"Jadi keingat alien. Kamu tahu nggak waktu kecil aku pengen jadi astronot karena pengen main sama alien?"

"Gak perlu jadi astronot tuh. Kamu pernah kok ketemu alien. Kamu sendiri pun juga sempat jadi alien."

"Ketemu alien? Aku alien?" tanya Alenta sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Maksudku kamu sama Damen."

"Kenapa?"

"Kamu pernah suka Damen, tapi waktu itu kamu mikir dia gak punya rasa yang sama karena kamu gak peka, begitu juga sebaliknya. Intinya, kalian pernah saling suka dan saling gak peka di saat yang bersamaan."

Aiden melakukan pen spinning. "Orang yang gak peka itu alien. Bahasa verbal dan non verbal manusia jelas beda sama punya alien. Makanya, dia gak bisa nangkap maksud dari kode yang ditunjukin seseorang melalui ucapan maupun perbuatan."

"Dan orang yang cinta sama orang yang gak peka—sebenarnya dia sendiri juga alien. Keberadaan alien dan dia sama – sama belum jelas, antara ada dan tiada. Banyak orang yang jadi mempertanyakan keberadaan alien. Sama, kaya dia yang diam – diam pasti mempertanyakan kemungkinan terkait keberadaannya di hati orang yang gak peka itu."

"Eh? Tapi, Damen gak pernah punya rasa ke aku tuh."

"Iya, itu menurut kamu. Padahal sebenarnya nggak. Orang lain pun bisa menilai itu dengan jelas, Len," kata Aiden. "Aku kasih kamu tahu ini gak bikin kamu berubah pikiran, kan?"

Alenta menahan tawanya agar tak sampai terdengar oleh Pak Adam. "Nggaklah. Kamu sendiri alien bukan?"

"Jadi aliennya nanti, kalau ketemu Damen."

"Kenapa harus ketemu Damen dulu?"

Aiden hanya mengedikkan bahunya.

•••••

Aiden menemani Alenta yang hendak menyetor beberapa partitur lagu ke stusik. Di dalam, sudah ada Damen yang sedang memainkan laptop. Ia duduk di lantai, menyenderkan punggungnya pada dinding. Aiden bergabung dengan Damen seraya menunggu Alenta selesai mengobrol dengan Kak Getler.

"Ngapain lo?"

"Nge-edit lagu baru," sahut Damen.

Aiden mengangguk. "Apa yang lo tahu tentang penampilan fisik alien?"

"Biasanya digambarin punya kepala besar, pu—"

"Nah, kepala besar."

Damen menutup laptopnya. "Ng?"

"Gue alien. Gue mau besar kepala nih."

"Lo mau nyombongin apa emang?"

"Emang awalnya Alenta lebih dulu sukanya ke lo, tapi pada akhirnya tetap gue yang jadi pacar dia."

Damen bagaikan di sambar petir di siang bolong. "Hah? Alenta pernah ... dan apa? Lo pacar dia?"

Aiden mengangguk sembari tersenyum mengejek. "Kemarin, kita resmi jadian."

"Bangsat," umpat Damen lirih. "Sesuai urutan alfabet, I came before U. Harusnya gue yang sama Alenta," desis Damen.

"Yah, sayangnya hukum siapa cepat dia yang dapat gak selalu berlaku, Dam."

Damen kehilangan kata – kata.

"Kalian lagi ngobrolin apaan?" tanya Alenta yang baru datang menyusul.

Aiden berdiri dan merangkul bahu Alenta, memaksa Alenta ikut pergi bersamanya.

"Bbye, Dam!" ucap Alenta yang tiba – tiba tak enak hati pada Damen.

Saat sudah keluar dari stusik Alenta bertanya, "Kenapa muka Damen kelihatan kesal gitu? Kamu tadi ngapain memangnya?"

"Jadi alien."

•••••

Alenta sedang di depan lokernya, mengambil kalkulator yang selalu ia simpan di dalam sana. Ketika menutup pintu loker, ia akhirnya dapat melihat sosok yang sedari tadi sudah berdiri menyender pada loker – loker di sampingnya.

"Kamu mau ulangan kimia, kan? Nih," Aiden menyerahkan sebuah toples bening berisi seekor ikan cupang yang memiliki kombinasi warna cantik antara biru dan merah.

"Ng? Ini buat apa?"

"Ini Peter. Nanti, kamu bawa ke kelas kimia. Kamu sesekali lihatin Peter pas ngerjain soal – soalnya. Kata papaku ngelihatin ikan bisa nenangin, jernihin pikiran, ngurangin stres, dan bantu biar lebih fokus. Biar kamu lancar ngerjain dan akhirnya bisa dapat nilai bagus."

Juan memang pecinta ikan hias. Beliau senang sekali bercerita dan mengajak Aiden berdiskusi tentang dunia perikanan. Bahkan, beberapa kali Aiden menemani papanya datang ke kontes ikan hias.

Well, ulangan kimia kali ini memang menjadi momok bagi Alenta karena ia kurang menguasai bab tersebut.

"Trims, Den. Tapi, kenapa kamu namain Peter?"

"Warnanya kaya kostum spiderman alias Peter Parker, ya kan?"

Kebetulan Damen lewat, baru kembali dari stusik.

Tak ada angin, tak ada hujan, tiba – tiba Aiden menoyor kepala Damen, membuat Damen berhenti. Pukulan Aiden pelan, Damen tak merasakan sakit sama sekali. Tapi, tetap saja ... ia dongkol.

"Aiden, apaan, sih?" ujar Alenta.

"Iya, bisa nggak sih lo berhenti jadi menyebalkan?"

Aiden bersedekap. "Len, aku pernah baca bahwa ketika masih di tahap merasa tertarik yang aktif itu otak kiri, baru kalau jatuh cinta yang aktif otak kanan. Makanya aku pukul kepala sisi kanan Damen. Kali aja habis kena benturan, otak kanannya kena gangguan sinyal dan Damen jadi gak jatuh cinta lagi sama kamu."

"Ya nggak gitu juga kali, Den. Minta maaf gih ke Damen."

Aiden menurut. "Maafin gue, Dam."

"Hm," ucap Damen. Sepertinya itu berarti "ya".

"Sekarang aku tanya, kalau ada dua orang udah deket lamaaa banget tapi gak jadian – jadian, otak kanan mereka kenapa hayooo?" tanya Aiden.

Damen dan Alenta kompak menggeleng.

"Kenapa, Den?" Alenta menuntut jawaban.

"Susah sinyal." Aiden menutupnya dengan tawa.

Entah mengapa Alenta dan Damen merasa tersindir karena faktanya adalah keduanya pernah mengalami kondisi yang Aiden sebutkan sebelumnya.

•••••

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang