17. MASK

118 24 0
                                    

CHAPTER SEVENTEEN

MASK

•••••

When my life crashes, I'm not the guy that will flee the scene.
I'll take ownership and own it and raise my hand if it's me.
-Nate Feuerstein-

•••••

Ya, Aiden keluar bukan lagi sebagai Aiden, melainkan sebagai siluman sapi. Seluruh badannya masih manusia, kecuali kepalanya yang sudah berubah menjadi kepala sapi. Siluman sapi ini berjalan menuju Alenta seraya membawa dua cup ramen instan yang mengepulkan asap melalui tutupnya yang sedikit terbuka. Alenta menerima salah satu cup itu dengan penuh tanya: ada apa dengan Aiden?

"Ayo, ikut sapi lihat pelangi," ajak Aiden.

Alenta mengikut di belakang sang siluman sapi. Mereka berhenti di titik yang berjarak sekitar tiga meter dari perempatan. Sang siluman sapi duduk di trotoar dan menghadap ke arah traffic lights, diikuti dengan pengikutnya tadi. Sang pengikut yang kini duduk di sampingnya masih terdiam dan menunduk, membiarkan uap hangat dari ramen mengenai mukanya.

Sang siluman sapi berpindah posisi supaya berhadapan langsung dengan pengikutnya. "Dari tadi kamu nunduk, gak mau lihat muka aku. Makanya, di supermarket tadi aku mampir ke sektor mainan buat beli topeng ini." Aiden mengelus – ngelus wajah sapinya. "Sekarang, aku sapi, bukan Aiden. Sapi imut. Jadi, jangan takut lihat mukaku lagi, ya?"

Alenta tak kuasa menahan tawanya. Ia akhirnya memberanikan diri menatap wajah baru lelakinya itu. Tawanya makin terbahak - bahak karena Aiden bilang sapi imut, padahal kenyataannya topeng sapi yang sekarang ia pakai malah menunjukkan kesan yang jauh dari kata imut. Ekspresi sapi itu justru menunjukkan seakan – akan ia sudah lelah menjalani kehidupan dan ingin segera disembelih saja.

Di balik topeng sapi itu, Aiden tersenyum karena berhasil membuat Alenta tertawa dan lebih rileks ketika menatap wajahnya. Ia kembali ke posisi awalnya tadi, lalu menunjuk ke arah traffic lights. "Itu pelanginya! Sapi tahu kamu pasti lapar. Ayo, makan ramen sambil lihat pelangi!"

Alenta menyobek plastik yang membungkus garpu lipat, lalu segera mengambil satu suapan. Seperti instruksi sang siluman sapi, Alenta makan sembari menatap ke arah traffic lights yang berubah – ubah warna dari merah, ke kuning, ke hijau, ke kuning, sampai kembali menjadi merah lagi.

"Moo," lenguh sang siluman dengan lemah. "Sapi juga lapar. Sapi ganti muka bentar, ya? Kamu jangan noleh." Aiden membuka topengnya. Ia menghirup udara segar dengan rakus dan cepat – cepat melahap ramennya.

Alenta refleks menoleh, berusaha menghentikan Aiden, kemudian mengingatkan. "Kamu gak boleh makan sembarangan."

Aiden mendengkus. Ia memakai topengnya kembali untuk menoleh kepada Alenta dan membalas, "Sekali – kali bolehlah."

"Ya, udah. Terusin makannya."

Aiden melepaskan kembali topengnya dan meneruskan makan. Selesai meneguk habis kuah ramennya, ia bertransformasi menjadi sapi kembali. "Aku mau ngomong, boleh?"

Alenta menumpuk cup ramennya di atas cup ramen Aiden. "Aku bakal dengarin baik – baik, kok."

"Pertama, aku mau berterima kasih buat fanchant-nya. Aku benar - benar pemain sepak bola paling beruntung sedunia karena pacarku sendiri yang bikinin chant. Kedua, aku minta maaf. Beberapa minggu terakhir, aku jadi super sibuk. Tapi, sekarang aku udah mulai dapat kepercayaan dari head coach Ilios. Jadi, kedepannya aku bisa lebih santai dan bisa balik selalu stand by buat kamu. Juga, jangan pernah berpikir kamu itu beban, ya?"

"Iya. Maafin aku juga ya, Den?"

Aiden mengangguk. "Kamu boleh kok nonton away match. Syaratnya ... harus ditemenin Leo sama Finn, oke?"

"Um, sama Arsene juga boleh, kan? Dia baik kok."

"Boleh. Diingat – ingat, ya, harus sama Leo, Finn, Arsene. Kalau mereka lagi gak bisa, kamu juga harus lapang dada buat gak nonton langsung ke stadion. Deal?"

"Deal. Aku sayang sapi!" Alenta memegang kedua tanduk sang siluman sapi, lalu menggerak – gerakkan kepala sang empunya ke kanan dan ke kiri.

"Aidennya?" tanya Aiden.

"Iya! Juga!"

Aiden berdiri, menawarkan piggyback pada Alenta. "Mau naik sapi?"

Alenta langsung hinggap pada punggung sang siluman sapi. "Yee haw!"

"Siluman sapi mau sesajen!"

Alenta mencium pipi sang siluman sapi yang bertompel itu. Ah, bukan. Maksudku, pipi yang bercorak hitam putih.

Sampailah kita di akhir cerita.

Bukan, bukan akhir dari kisah Alenta dan Aiden, melainkan dongeng tentang siluman sapi dan pengikutnya.

•••••

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang