12. AIRPLANE

163 25 3
                                    

CHAPTER TWELVE

AIRPLANE

Aiden cs berhasil melalui masa senior year-nya dengan selamat. Ya, dengan selamat! Sebelum menginjam tahun terakhir di Cervera High, semua murid tentunya menanti – nantikan yang namanya senior year ini. Mereka pikir dengan menjadi "tetua" itu menyenangkan. Nahas, nyatanya realita tak seindah bayangan.

Ketika sudah menginjak fase senior year, mereka cenderung jadi "mati rasa" karena keburu dilanda betapa melelahkannya ujian – ujian dan tugas - tugas akhir beserta tetek bengeknya yang seakan tak henti – hentinya datang menyapa. Waktu mereka untuk bersenang – senang juga semakin berkurang karena sebagian besar porsi otak mereka alihkan untuk memikirkan masa depan. Mereka pun memiliki jalannya masing – masing untuk menuju masa depan. Rute mereka mungkin berbeda, namun mereka berharap mereka akan dapat berkumpul lagi di satu titik, yakni kesuksesan.

•••••

Aiden sedang duduk seraya memandang gadis yang ada di sampingnya. Gadis itu nampak suram. Pandangannya kosong. Garis datar yang dibentuk oleh bibirnya menyaratkan kekecewaan. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya gadis itu bersuara, "Apa aku masih punya harapan?"

Ya, tadi sore pengumuman terkait beasiswa yang coba Alenta ikuti sudah bisa diakses. Saat ini, Alenta bersedih karena dia tidak lolos pada universitas yang ia inginkan tersebut melalui yang banyak dibilang orang sebagai "jalur termudah". Untuk itulah mengapa Aiden sekarang di rumah Alenta karena diminta Elsa untuk menghibur gadis tersebut.

Jika mungkin, orang lain akan memilih menjawab, "Masih! Melalui ujian masuk universitas nanti kamu pasti lolos! Semangat, teruslah berusaha!", tapi tidak bagi Aiden sebab dia mengerti betul Alenta pastilah sudah mendengar kalimat semacam itu berulang kali. Barangkali, mungkin sampai Alenta muak. Aiden juga tahu kalau Alenta sudah berusaha keras selama ini. Karena itu jugalah, ia tidak mau meminta Alenta untuk berusaha lebih keras.

Menurutnya, kalau seseorang sudah bekerja keras dan orang lain masih memintanya untuk bekerja keras, itu sama halnya kita tidak menghargai setiap usaha orang tersebut. Terkecuali untuk orang - orang yang memang perlu untuk diminta kerja kerasnya, yang mana dia masih saja berleha - leha ketika seharusnya dia berusaha keras untuk kebaikan dirinya sendiri.

"Ikut aku." Hanya dua patah kata itulah yang diucapkan Aiden.

•••••

Mereka sudah berada di lapangan basket di outdoor sports centre yang tak jauh dari Bandara Cervera. Aiden mengajak Alenta duduk selonjoran tepat di tengah lapangan. Suasana cukup ramai, karena area skatepark yang berada di sisi kanan mereka biasanya memang dipenuhi para skater kalau malam begini.

"Kita ngapain ke sini?"

Aiden memandangi layar ponselnya, "Tunggu tujuh menit lagi."

Alenta mengintip dan menemukan laman website resmi Bandara Cerveralah yang ditampilkan layar. Di sana ada tabel berisi jadwal penerbangan hari ini.

"Buat apa kamu buka begituan?"

"Shh, bentar lagi."

Alenta berdiri. "Aku mau pulang."

"Sabar, gih duduk lagi." pinta Aiden.

Alenta menurut.

"Lihat ke atas," kata Aiden yang mendongak. "Bintangnya dikit, ya?"

Alenta diam.

"Padahal aku pengen satu aja dari mereka jatuh biar kamu bisa bikin harapan. Tapi, aku masih punya rencana lain," Aiden melirik ponselnya sekali lagi. "Dalam hitungan ketiga kamu lihat ke atas. Habis itu, kamu pejamin mata, ucapin harapan kamu dalam hati. Tiga, dua, satu."

SWUUUUZZZZZ

Suara khas pesawat ketika take off terdengar cukup keras. Sebuah pesawat muncul dari atas Bandara Cervera, terlihat semakin naik dan naik memecah langit malam. Kini, pesawat itu melintasi langit tepat di atas mereka berdua.

Alenta menuruti perkataan Aiden. Ia memejamkan matanya, membatin harapannya.

"Woi, melek! Jangan ketiduran elah."

"Nggak kok," bantah Alenta.

"Banyak amat harapannya. Kalau mau, bentar lagi ada yang landing, kok." Aiden mengecek ponselnya lagi. "Gimana? Udah lega belum?"

Alenta mengangguk.

"Tadi, kamu nanya apa kamu masih punya harapan, kan?"

"Iya."

"Eksistensi dari harapan itu tergantung dari eksistensi kemauan seseorang dalam berharap. Dan sebenarnya, pertanyaan yang kamu ajuin itu gak akan ada orang lain yang bisa kasih jawaban—cuma kamu yang tahu. Aku cuma bantuin biar kamu buruan tahu."

"Ng?"

"Tadi, kamu mejamin mata dan kamu ngungkapin harapan kamu dalam hati, kan? Itu artinya kamu masih berharap. Dan selama kamu berharap—sesuai yang aku bilang tadi—jadi, harapan buat kamu masih ada. Kecuali tadi kamu gak refleks begitu, lebih milih cuek dan gak mau ngikutin saranku. Itu artinya kamu udah nyerah duluan alias kamu udah gak punya harapan. Jadi, sekarang kamu udah nemuin jawaban dari pertanyaanmu tadi, kan? So, aku gak lagi punya tanggungan buat ngejawab."

"Iya." Alenta tersenyum. "Aku masih punya harapan."

"Nanti kalau kamu ngerasa kaya udah hilang harapan, aku siap kapan aja buat nganter kamu ke sini. Aku bakal siap sedia ngecekin jadwal pesawat yang seliweran di langit sana. Berapa pun cahaya pesawat yang kamu mau sebagai pengganti cahaya bintang jatuh, aku siap."

"Trims, Den. Oke, sekarang aku mau move on. Gak mau sedih lagi. Mau ningkatin fokus belajar buat ujian masuk universitas. Bantuin, ya?"

"Siap, Kapten!"

•••••

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang