19. CROISSANT

110 22 1
                                    

CHAPTER NINETEEN

CROISSANT

Ilios sedang ada jadwal kosong selama seminggu penuh. Aiden tak mau menyia – nyiakan kesempatan ini untuk melakukan beberapa hal yang sudah lama tidak ia lakukan. Salah satunya adalah sleepover di rumah Finn. Terlebih lagi, Aiden rindu menghabiskan kue buatan ibu Finn yang biasanya disediakan dalam dua toples kaca berkapasitas 1000 cc yang ada di kamar Finn.

Aiden, Leo, dan Finn—minus Arsene yang tidak bisa hadir—sudah empat jam non-stop bermain beberapa video game : Call of Duty, Resident Evil, dan tentunya FIFA 20. Karena mata mulai lelah, mereka memutuskan berhenti. Aiden memijat jari – jarinya, lalu meraih toples kue di dekatnya. Tiba - tiba ia menyengir. "Bro, habis, Bro."

Peka terhadap sahabatnya yang sedang ingin ngemil, Finn merespon, "Harusnya croissant bikinan ibu gue udah mateng. Gue ambilin, ya?"

Aiden langsung berdiri, beranjak menuju pintu. "Biar gue aja."

"Eh, gue ikut, Den. Mau nyari minum."

"Ya udah, kalian turun duluan. Gue ke kamar mandi bentar," ucap Finn.

•••••

Aiden dan Leo sudah duduk anteng di area yang berbatasan langsung dengan dapur, berbincang sembari menikmati croissant yang tersaji di atas meja ketika Finn melangkah turun dari anak tangga terakhir. Finn merebut croissant Aiden, menggigitnya, lalu menarik kursi yang berseberangan dengan Leo. "Oh, my gosh!"

"Kenapa lo? Lagi ribut sama Paris?" tanya Leo

"Nggak. Gue masih gak nyangka aja sama hal yang tempo hari kita omongin."

Aiden tidak mengerti dan sedang tidak tertarik dengan topik yang dibahas Leo dan Finn. Ia masih sibuk mengunyah croissant digenggamannya.

"Lebih heran lagi sama reaksi lo sih, Den. Tapi, baguslah ... lo sama Arsene masih tetap berhubungan baik."

Setelah mendengar ucapan Leo barusan, barulah Aiden bertanya, "Ngomongin apaan sih, Le?"

"Ya elah, masalah Arsene sama Alenta."

Aiden masih terlihat santai. "Kenapa? Mereka berantem?"

"Bukan. Itu ... kejadian Arsene ngungkapin perasaannya ke Alenta," sahut Finn

Aiden mulai kehilangan minat pada croissant-nya. Sorot matanya mulai berubah, mengindikasikan bahwa ia sedang dalam mode serius. "Perasaan ... suka? Itu maksud lo?"

"Lah, Alenta belum cerita ke lo?" Finn mengaduh dengan lirih karena menyadari lagi - lagi ia bermulut ember. Yah,walaupun yang kali ini tidak disengaja.

Aiden mengangguk. "Lo tahu dari mana?"

"Alenta cerita ke Paris. Terus, dari Paris nyalur ke gue."

"Tapi tenang aja, Den. Katanya, Arsene ngungkapin doang, gak minta jawaban, juga sama sekali gak ada niat buat nikung lo kok," imbuh Leo.

"Lo kan udah tahu, sekarang, apa langkah yang mau lo ambil?" tanya Finn.

"Diem aja. Tapi, gak lagi kalau suatu saat semuanya udah gak benar."

•••••

Dua minggu kemudian.

Aiden baru selesai dari training centre. Ia pulang lebih larut karena setelah sesi latihan sang kapten mengajak para pemain lainnya untuk bergabung di acara semacam makrab. Well, makrab ini memang rutin digelar setiap sebulan sekali. Tetapi, jadwalnya tidak menentu pada tanggal berapa karena menyesuaikan jadwal berbagai pertandingan dan kesibukan para pemain selama sebulan itu.

Kegiatan yang dilakukan dalam makrab sebenarnya sangat sederhana, yakni makan lalu berbincang sambil bersenda gurau atau bermain permainan kelompok. Ah, ditambah salah satu sesi favorit Aiden, yaitu saat setiap pemain Ilios diwajibkan menyanyi dihadapan rekan lainnya. Para penonton biasanya memiliki dua macam reaksi : tertawa atau ikut bersorak meramaikan.

Panggungnya ada dua macam, yakni kadang cukup di atas balok berukuran 100 x 100 x 20 cm atau di atas kursi. Untuk katagori penyanyi sendiri ada tiga, yakni penyanyi yang menyanyi seperti sedang membacakan puisi, penyanyi yang berapi - api, dan penyanyi yang biasa saja alias normal.

Tentu, Aiden datang. Ini adalah makrab keempatnya. Sejauh ini, makrab meninggalkan kesan bagus baginya karena di momen - momen inilah suasana terasa sangat hangat dan menyenangkan. Ia pun jadi makin dekat dengan seluruh rekan setimnya.

Aiden sedang di perjalanan pulang, bersama dengan Annabelle tentunya. Di balik helm-nya, ia tersenyum puas mengingat penampilannya membawakan lagu Upper Echelon milik Travis Scott tadi. Ia senang banyak rekannya yang ikut menyanyi, bahkan ada pula yang menari mengikuti koreo hasil ad libitum-nya.

Aiden melaju cukup kencang karena jalanan sudah lumayan sepi. Yah, wajar, sekarang saja sudah sekitar pukul sepuluh malam. Namun, ia mengurangi laju Annabelle menjadi 0 km/jam tepat di belakang garis batas berhenti. Di sebelahnya, ada orang lain yang juga sedang menunggu traffic lights menyala hijau. Orang itu sampai di sana mungkin sekitar seperempat menit lebih dulu dibanding Aiden. Orang itu tiba - tiba menaikkan visor helm-nya, menyapa Aiden. Aiden pun ikutan menaikkan visor-nya. "Oi, Bro."

Traffic lights hendak menyala hijau. "Anda mau ke arah mana?" tanya Arsene.

"Lurus."

"Saya juga."

Mereka menyamakan kecepatan agar dapat melaju bersampingan. "Dari training centre, ya?"

"Iya. Kalau lo?"

"Dari rumah teman saya."

Beberapa meter lagi ada pertigaan, hasil dari jalan besar ini yang bercabang di sisi kiri menjadi jalan yang lebih kecil.

"Habis ini, saya harus belok. Sampai jumpa," ucap Arsene.

"Yoi, Bro."

Mereka pun berpisah. Aiden kembali berkendara sendirian.

Beberapa menit kemudian, ia berbelok di suatu gang yang sepi karena itu merupakan jalan alternatif tercepat yang dapat ditempuhnya untuk bisa segera sampai rumah. Di kiri gang adalah deretan berbagai kios yang semuanya sudah tutup, sedangkan di bagian kanan adalah trotoar, lalu barulah tembok pembatas yang tingginya empat sampai lima meter.

Aiden tidak tahu kalau sebentar lagi ia akan membuat Annabelle berhenti bersenandung.

•••••

KICK OFFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang