21 - Glass

123 24 1
                                    

"Selamat malam, Alice."

Suara itu menggema di dalam kepalanya.

Alice.

Siapa?

Apakah itu namanya?

Sesuatu di dalam kepalanya berteriak keras, meronta hebat, menjerit kepada setiap sel tubuhnya, berkata bahwa ia bukan Alice. Namanya bukan Alice, dan Alice bukan namanya. Sesuatu di dalam kepalanya balas bertanya, menimbulkan kontradiksi yang menyakitkan.

Jika ia bukan Alice, lalu siapa dia?

Jika ia bukan Alice, lalu siapa Alice?

Pemuda dengan rambut sewarna lazuardi? Gadis dengan iris peridot tajam bagaikan belati? Gadis dengan rambut platina yang matanya kosong akan hati? Pemuda dengan iris kelam yang apati? Gadis berambut gelap dengan highlight cerah yang wajahnya dipenuhi kalkulasi? Sosok samar misterius terakhir dengan pita biru di kepalanya yang seharusnya ia kenali?

Ataukah malah seorang gadis berambut cokelat tua yang kini tenggelam dalam mimpi?

Kegelapan menguasainya dengan cepat—tidak memberinya pilihan selain menyerahkan diri, gadis itu merasa dirinya jatuh, melayang di dalam bayangan tanpa batas. Sesuatu menyentuh wajahnya dengan lembut, lalu lengannya, lalu lehernya, rasanya aneh namun nyaman, seperti gelembung-gelembung di dalam air yang muncul kala kau meniupkan oksigen dari mulutmu.

Kepalanya berdenyut, telinganya berdenging, gumaman statis samar lalu terdengar.

Suara.

Ada yang berbicara dari balik kegelapan ini.

Siapa?

"Seharusnya ia sudah sadar sekarang," suara seseorang menggema. Kelewat familiar, seolah gadis itu pernah mendengarnya di suatu tempat di dalam memori lainnya. Ia berusaha membuka matanya, tetapi ototnya tidak mau bergerak, hampir seolah itu bukan tubuhnya.

Tertegun, gadis itu berusaha menggerakan tangannya. Lalu kakinya, lalu lehernya, memaksa semua sel di dalam tubuhnya bergerak sesuai perintah yang ia gemakan di dalam kepalanya, tetapi tidak ada yang menurut. Nihil. Seolah itu memang bukan tubuh miliknya sendiri.

Panik, ia berusaha memaksa kelopak matanya untuk bergerak.

Tidak ada yang bereaksi.

Apa yang terjadi?

Dalam kepanikannya, matanya mendadak terbuka sendiri, seolah di bawah perintah orang lain. Pemandangan baru membuat gadis itu menyipit sejenak, ia berusaha berkedip, tetapi reaksi datang kepadanya sepersekian detik terlalu lambat. Tubuhnya terasa berat, sesuatu di dalam otaknya terasa kosong—ini bukan tubuhnya. Ia tak tahu mengapa, tetapi tubuh ini bukan miliknya; tangan ini, kaki ini, mata ini, gadis itu yakin itu bukan miliknya sendiri.

Dua sosok masuk ke dalam indera pengelihatan milik ... siapapun orang ini.

Gadis itu menolak mengakui ini tubuhnya.

Ia berada di balik ... kaca? Jendela? Cermin? Sesuatu yang tembus pandang.

Ia melayang. Melayang di dalam air yang terisi penuh hingga ke puncak kepalanya. Sebuah masker tersambung ke sisi bawah wajahnya, selang-selang yang terpasang di sana menghembuskan udara segar untuk bernapas. Selang-selang lain dalam berbagai ukuran mengambang di sekitarnya, tersambung ke lengan, perut, pinggang, kaki, dan kepalanya.

Gadis itu tidak tahu mengapa, tetapi keadaannya tidak membuatnya panik.

Ia merasa ia pernah terbangun dalam keadaan seperti ini sebelumnya.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang