24 - Soldier

140 18 3
                                    

Mereka bertiga adalah Alice.

Dan dua di antaranya saling beraliansi.

Pemuda berambut hitam itu meneriakkan sesuatu yang tidak jelas dari mulutnya yang diikat oleh kain. Ia meronta dan melompat-lompat, tetapi tangan dan kakinya yang terikat sama sekali tidak membantunya. Ia berguling dan berusaha berdiri, tetapi semua usahanya percuma.

Alice menggeser menjauh ketika gadis berambut gelap di sisinya mengeluarkan tawa mirip seringai Chesire Cat, "Apakah kau pernah pakai rok? Kau terlalu manis untuk menjadi laki-laki, kau mau coba pakai rok?" Alice melepas pita biru yang terikat di pinggangnya dan menggelung rambutnya agar terlihat pendek, gadis itu lalu mengikat pita itu di rambutnya yang gelap—dalam sekejap, ia terlihat persis seperti pemuda yang duduk di depannya.

Alice hanya dapat menggelengkan kepalanya ketika pemuda dengan iris sewarna bayangan itu meneriakkan sesuatu dengan penuh teror. Ia menaikkan bahunya dan berlalu untuk mencari kostum agar ia dapat berbaur di dalam istana yang penuh dengan nuansa merah ini.

Beberapa menit kemudian, mereka bukan lagi dua orang gadis dalam istana Queen of Heart.

Melainkan seorang pemuda berambut gelap dengan pita biru di sisi kepalanya, dan seseorang berseragam Truf lengkap dengan helm mereka yang terlihat sangat berat. Alice menolak memakai zirah mereka dan lebih memilih sebuah kemeja lengkap dengan dasi biru dan celana panjang bersabuk belati kosong yang ia temukan jauh di dalam lemari—entah milik siapa karena ketika Alice menggunakannya, lengan kemeja itu jauh lebih besar dari yang ia perkirakan. Tetapi setidaknya dengan itu, sekilas ia akan terlihat seperti pengawal.

"Kau sungguhan memakaikan rokku kepadanya?" Alice bertanya jijik.

Gadis di sisinya mengangguk bangga, dan seketika, Alice bersyukur gadis itu masih mengiranya sebagai Bayard, karena ia sama sekali tidak ingin menjadikan gadis ini musuhnya. Alice sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang akan gadis ini lakukan bila ia tahu namanya juga Alice—bahwa mereka berdua adalah seorang Alice.

Alice menutup pintu di belakangnya dan berjalan menelusuri lorong yang lenggang bersama dengan gadis beriris peridot yang terlihat sangat senang dengan rencananya menculik Alice milik Queen of Heart—siapa yang menyangka bahwa pemuda itu ternyata sangat lemah?

Ketika mereka berbelok, keduanya hampir saja berbalik dan melarikan diri ketika beberapa Truf muncul dari ujung lainnya. Saling bercakap-cakap dengan suara pelan. Keringat mengalir menuruni pelipis Alice. Bahkan dengan helm besi anehnya, ia masih merasa bahwa itu tidak cukup untuk membodohi para Truf—para tentara milik Queen of Heart.

Gadis berambut gelap di sisi Alice mencengkram lengan Alice dan melangkah maju.

Alice sudah lebih dari siap untuk melempar dirinya lewat jendela. Tetapi kenyataannya, para Truf itu malah menunduk penuh hormat ke arah gadis di sisinya dan berlalu begitu saja, percakapan mereka berlanjut seolah tidak ada hal yang tidak biasa. Gadis di sisi Alice tertawa.

"Lihat? Aku jenius~" gadis itu bersenandung.

Alice membalasnya dengan helaan napas lega.

Keduanya kembali menelusuri lorong istana Queen of Heart. Pilar merah menyangga langit-langit putih dengan ukiran mawar dan hati, kandil besar tergantung di atap setiap beberapa meter sekali, berkilau keperakan ditimpa cahaya mentari, jendela besar dengan tirai transparan bersebrangan dengan pintu ganda yang mengarah ke ruangan-ruangan yang sama mewahnya dengan satu sama lain—Alice tidak pernah tidak terpana dengan semua ini.

Kedua gadis itu melongok ke setiap ruangan, mengecek setiap rak dan lemari, mencoba mencari bilah pedang yang sama dengan yang Knave of Heart sorongkan ke leher Mad Hatter.

Mereka kemudian sampai pada ruangan paling ujung, pintu ganda itu terbuka begitu saja ketika Alice mendorongnya, jauh berbeda dari pintu-pintu lain yang memerlukan sedikit tenaga ekstra. Keduanya melangkah masuk, dan seketika mereka tahu ini ruangan milik siapa.

Sebuah meja kerja berada di salah satu sudut ruangan, tepat berada di sisi rak-rak kayu berisi buku-buku tebal. Pada sisi ruangan lainnya, sebuah lemari ganda tampak setengah terbuka, menampakkan pakaian yang sebagian besar didominasi oleh warna hitam dan merah tua.

Tepat di sisi pintu utama, terdapat dua sofa hitam yang mengapit meja kopi rendah. Karpet merah melapisi lantai di bawah kedua sofa dan meja kerja, berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu yang Alice tebak sebagai kamar mandi. Sebuah tempat tidur bernuansa kelabu diletakkan tepat di bawah jendela besar yang setengah terbuka, angin bertiup dari sana, memainkan tirai putih transparan yang panjang menjuntai ke lantai.

"Ini pasti ruangan Knave," yang berkata begitu bukan Alice, tetapi Alice mengangguk.

Ruangan ini entah mengapa sangat mencerminkan sang Knight. Mulai dari betapa sederhananya dan mayoritas hitam yang mewarnai hampir seluruh benda di dalam sini. Alice bahkan dapat membayangkan pemuda itu melempar sepatunya ke suatu tempat di sudut ruangan dan bergelung di tempat tidur dengan wajah lelah yang bukan-Knave-sekali.

Gadis berambut cokelat tua itu lalu melepas helm zirahnya dan menatap ke segala arah, mencoba mencari apa yang seharusnya mereka cari. Gadis di sisinya sudah melangkah maju, berpetualang dan membuka setiap rak serta lemari yang ada di dalam ruangan Knave.

Alice baru hendak membuka pintu di sudut ruangan yang sedari tadi menarik perhatiannya bila saja matanya tidak menangkap sesuatu yang berkilau di atas tempat tidur.

Pedang Vorpal, lengkap dengan sarung besinya.

Mata Alice berbinar, tetapi kemudian sesuatu di dalam kepalanya berteriak.

Seseorang bertanya di dalam kepalanya, apakah seorang Knave of Heart akan meletakkan benda sepenting itu begitu saja di atas tempat tidurnya? Tanpa penjagaan? Hanya begitu saja?

Instingnya berseru keras—keluar dari sini.

Tetapi Alice tampaknya menangkap kilauan yang sama karena gadis itu meluncur menuju tempat tidur dan menarik pedang itu dari sana. Senyumnya lebar dan ekspresinya terlihat sangat sumringah, "Bayard! Lihat, aku menemukannya!" gadis itu berseru senang.

Sesuatu di dalam diri Alice menyala—jangan sentuh benda itu.

Pergi dari sini.

Pergipergipergipergipergipergipergipergipergipergipergipergi

Pergi.

Sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Alice berlari menuju gadis itu dan berusaha menampar pedang itu dari tangannya. Tetapi suara pintu yang terbuka membuatnya membeku. Gadis berambut cokelat tua itu menoleh ke belakang, tepat ke ambang pintu kayu yang semula hendak ia buka karena penasaran.

Seorang pemuda memiringkan kepalanya. Helai-helai rambut sewarna lazuardi jatuh menutupi iris sewarna keemasan yang berkilau cemerlang. Pita biru terikat di lengannya, menjuntai hingga ke tangannya yang berada di atas gagang pedang bermata dua yang tersampir di pinggangnya.

Hanya butuh satu detik.

Satu detik sebelum pemuda itu memproses semuanya dan merangsek maju.

Gadis berambut gelap itu mendorong Alice dari hadapannya, Pedang Vorpal terlempar ke arah Alice. Gadis berambut hitam itu dengan cepat berdiri dan mengeluarkan sebuah belati. Suara hantaman besi dengan besi menggema ketika bilah pedang bertemu dengan belati.

"Apa yang diinginkan anak buah Hare dan White Rabbit di sini?" suara pemuda berambut lazuardi itu seolah menampar Alice. Dalam dan tenang, persis seperti milik Knave of Heart.

"Aah, bukankah ini anak buah Knave of Heart—selamat siang."

Sekali lagi, Alice tahu dirinya terjebak di sini.

.

.

Chapter Twenty-four End.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang