Bagaimana ia dapat mencapai dunia yang bukan miliknya kendati ia tidak memiliki talenta?
Takdir.
Hisato Ryou biasanya tidak percaya dengan takdir. Yang ia akui hanyalah usaha, sikap, dan kerja keras—dan mungkin saja sedikit keajaiban. Takdir hanyalah sebuah kata yang digunakan para pengecut untuk bersembunyi dari realita, dan Ryou bukan seorang pengecut.
Berbeda dengan Hasegawa Aoi yang lahir dengan harta dan talenta, atau Miyamura Atsushi yang lahir seolah diprogram untuk memimpin semesta lainnya, Hisato Ryou hanyalah anak biasa yang lahir di tengah hiruk-pikuk salah satu dari ibukota modern terbesar di dunia.
Ryou masih mengingat masa lalunya semudah ia membuka kedua matanya. Ia dahulu tinggal di sebuah apartemen normal bersama ibunya, hanya memiliki satu hingga dua Artificial Intellegence paling banyak. Salah satu benda itu ditugaskan untuk menjaganya—walaupun Ryou tidak membutuhkannya, sebuah robot berbentuk ikan yang dapat melayang dari tempat ke tempat lain dengan bantuan titik hologram yang tersebar di seluruh rumah.
(Makanya ia benci Atsushi, pemuda itu mengingatkan Ryou akan rumah.)
Ibunya adalah seorang wanita paruh baya, rambut hitam, mata hitam, senyum lembut permanen, apa yang orang dahulu sebut sebagai seorang Yamato Nadeshiko yang sempurna.
Ayahnya—terus-terang saja, Ryou lupa. Ia hanya ingat bahwa ayahnya adalah seorang polisi.
Lalu habis perkara.
Ayahnya tidak pernah ada di rumah, tetapi syukurlah pria itu masih cukup bertanggung jawab untuk membiayai hidup mereka. Ryou tidak pernah merasa kehabisan makanan dan pakaian, ia bahkan memiliki sebuah AI pribadi, satu-satunya hal yang membuat Ryou membenci ayahnya hanyalah karena satu; pria paruh baya itu tidak pernah pulang.
Dan Ryou tahu betapa itu sangat menyiksa ibunya.
(Lagipula untuk apa kau menikah hanya untuk meninggalkan orang yang kau cintai?)
Keinginan Ryou itu sederhana. Menjadi salah satu dari petinggi negara untuk mencari ayahnya. Anak itu tahu ayahnya masih hidup, di suatu tempat, tidak ingin pulang—atau tidak berani pulang—karena sadar ia secara tak langsung sudah menelantarkan anaknya sendiri.
Mengapa petinggi negara? Pikirannya sederhana; posisi itu akan membuatnya dapat melakukan apa saja. Tidak perlu muluk-muluk, tidak perlu menteri atau presiden, yang Ryou butuhkan hanyalah titel yang cukup besar. Hanyalah sebuah gelar. Semuanya demi ibunya.
Jadi Ryou melipat takdirnya sendiri.
Ia belajar, belajar, dan belajar. Menatap buku demi buku, hologram demi hologram, menyerap ilmu demi ilmu, meraih nilai demi nilai—yang mungkin saja kebanyakan tidak akan berguna untuk kehidupannya, lagipula jujur saja, apa gunanya grafik polinomial? Memangnya benda itu bisa mengurangi dosa? Memperpanjang umur? Menambah teman?
Tetapi, apapun demi ibunya.
Orang mengenalnya sebagai seorang anak yang jenius, tetapi jujur saja, Ryou tidak kuat dengan ekspetasi mereka. Beban demi beban yang dilemparkan kepadanya dengan sangat tidak bertanggung jawabnya, pujian penuh racun yang menamparnya, berita miring yang meninju perutnya. Ini mengapa ia perlahan tidak mempercayai siapapun selain ibunya.
(Karena pada dasarnya, manusia hanyalah makhluk hina yang hidup dari tawa.)
Umurnya baru tiga belas ketika mereka datang ke rumahnya.
Ibunya tengah tertidur, jadi Ryou yang membuka pintu. Sepasang iris sewarna lembayung senja menatap bayangannya sendiri di permukaan kacamata hitam—ekspresi Ryou lantas berkerut menjadi curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?