Ketika matanya terbuka, yang menangkap matanya adalah helai-helai rambut pirang.
Lalu Hasegawa Sei mendengar desisan penuh amarah.
Hasegawa Aoi memeluknya erat, satu tangan menekan kepala Sei ke batas antara leher dan bahunya yang bidang, tangannya yang lain melingkari pinggangnya hampir seolah melindunginya dari sesuatu atau seseorang, seluruh ototnya menegang—bahkan Sei dapat merasakannya. Seolah ia bersiap untuk serangan. Pemuda itu tidak menunjukkan tanda bahwa ia tahu Sei sadar, sepasang iris abu menatap ke depan dengan tatapan penuh dendam.
"Aoi, kau tahu aku memegang janjiku, kan?" suara Kuroki Nanami terdengar dari belakang, dipenuhi dengan frustasi yang amat sangat, tetapi Aoi tidak membiarkan Sei menoleh, matanya masih terpancang pada sosok Nanami di tengah ruangan, mengabaikan Sei yang menggeliat dan meronta meminta untuk dilepaskan dari pelukannya.
Dan Sei tidak suka itu.
Gadis berambut cokelat itu mendorong wajah Aoi dengan satu tangan.
"Wha—!?"
Senang merasakan sosok Sei di masa lalu juga merasakan perasaan yang sama.
Gadis itu mendorong Aoi agar ia dapat melihatnya baik-baik—mungkin juga mendapatkan jawaban dari sikapnya sekalian, kedua tangan yang diletakkan di atas bahu sang pemuda melemah sejenak ketika Sei menyadari bahwa Aoi terlihat sangat berbeda dari sebelumnya.
Rambut pirang mencuat berantakan, dijepit dengan kasar ke sisi telinga seolah ia tengah terburu-buru. Ada banyak luka gores di pipinya, dan bagian kiri lehernya membiru. Sei segera melepaskan tangannya begitu sadar indikasi memar itu turun hingga ke bahu kiri Aoi.
Pemuda itu terlihat baru saja menghantam dinding dengan bahunya berkali-kali.
"Sei," Nanami menghela napas lega, suara langkah kaki berkata wanita muda itu mendekat.
Aoi menarik Alice kembali ke dalam pelukannya dan menggeram.
"Aoi!" Nanami mengacak rambut pendeknya dengan frustasi, suaranya juga dipenuhi dengan emosi yang sama. "Sudah kubilang Sei tidak kehilangan ingatannya, aku menepati janjiku! Bagaimana bila kau mendengarkanku sebelum berasumsi macam-macam!?"
Aoi membuang muka, dan Nanami menghela napas.
Mendengar rasa frustasi Nanami, kepala Sei kembali menegak, hampir menghantam dagu Aoi pada prosesnya. Gadis itu menepuk bahu kanan Aoi beberapa kali, "Aoi," panggilnya, seketika menarik perhatian pemuda berambut pirang yang matanya masih dipenuhi kegelapan.
Jeda.
"Apapun untukmu," Aoi akhirnya menyerah dan melepaskan pelukannya setelah bertatapan dengan Sei selama beberapa menit. Pemuda itu menegakkan punggungnya, matanya masih menatap Nanami dengan tatapan penuh amarah. Dan Sei tahu ia harus mengirim Aoi keluar dari sini bila ia ingin mendengarkan penjelasan Nanami tentang ... yang terjadi kemarin.
"Bagaimana bila kau obati bahumu?" suara Nanami kembali terdengar.
"Gak," jawab Aoi, singkat, padat, jelas, dan menyakitkan.
Ouch.
Sei dan Nanami bertukar pandang, sepasang iris sewarna senja meminta pertolongan, "Aoi, bagaimana bila kau ... obati lukamu?" suara Sei terdengar aneh, seperti bukan miliknya.
Tetapi toh, bukankah suara ini memang bukan miliknya?
Aoi menoleh, ekspresinya terbagi antara keraguan dan amarah. Namun pemuda itu tetap mengangguk dan berdiri, tidak pergi sebelum menatap Nanami dengan tatapan yang sanggup membunuh bila saja itu mungkin. Punggungnya kemudian menghilang bersama desis pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?