23 ‐ Realized

122 19 5
                                    

Ketika ia membuka mata, yang menarik perhatiannya adalah sebuah ekor berbulu ungu.

Refleknya hanya satu; tarik ekor itu.

"Mrrreeoow!!" Chesire Cat melompat terkejut. Sepasang iris sewarna peridot membesar dalam ukuran yang hampir mustahil. Telinga dan ekornya berdiri tegak dan statis, hampir seolah ia membeku dalam keterkejutan yang amat sangat. Pemuda itu kemudian mengeluarkan suara miris desis kesal, mirip seekor kucing yang sensitif terhadap manusia.

"Apa yang kau lakukan? Jangan dekat-dekat," Mad Hatter mendorong wajah Chesire menjauh. Pemuda itu masih berdiri pada tempatnya yang sama; tepat di hadapan sang gadis, dengan satu tangan menyangga tubuhnya sendiri di dinding. "Selamat pagi, Alice," katanya.

Iris sewarna badai itu berbinar dalam cahaya yang familiar.

Dan bayangan pemuda berambut pirang dengan jas putih berkelebat di dalam kepala Alice. Dari awal Alice membuka matanya di dalam tabung air itu hingga akhir dimana tubuhnya terdorong ke dalam ruangan penuh dokter menyeramkan itu. Dari awal ia bertemu dengan seorang Hasegawa Aoi hingga memori terakhir yang diingatnya tentang Hasegawa Aoi.

"Apakah kau tahu siapa aku?" Hatter bertanya. Suaranya lembut, terlalu lembut.

Tenggorokan Alice kering, dan gadis itu tidak mengharapkan apapun selain air.

"Aoi," nama itu terasa tidak asing lagi, meluncur begitu saja melewati bibirnya, meninggalkan rasa manis dan nostalgia. Terlalu familiar—kelewat familiar, rasanya aneh.

Senyum seorang Mad Hatter—Hasegawa Aoi tidak pernah terlihat selebar itu sebelumnya. Sepasang iris sewarna badai berbinar gembira, dan Alice berani bersumpah wajah pemuda itu dipenuhi dengan kebahagiaan yang bercahaya. Aoi menurunkan tangannya yang semula statis di sisi kepala Alice dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya sembari tertawa.

Tawa Aoi jernih dan cemerlang, bagaikan denting bel yang menari bersama angin musim panas. Dan, tanpa sadar Alice terbuai di dalamnya. "Lihat, Chesire? Ia akan mengingatku duluan, semuanya tetap dalam rencana~" pemuda berambut pirang itu tersenyum lebar.

Chesire memutar bola matanya, ekornya bergerak-gerak cepat ketika ia menutup mata gadis yang tersisa di sana dengan kedua tangan, "Iya, iya," katanya, suaranya tidak tertarik.

"Nah!" Aoi melepaskan pelukannya dan menepuk-nepuk bahu Alice, senyum lebar masih tersulam di wajahnya. Gadis itu hampir yakin sang Mad Hatter akan segera pergi atau semacamnya, ia tidak menyangka pemuda itu malah akan kembali membuka mulutnya.

"Kau tahu sendiri bahwa memori yang kutunjukkan tadi belum lengkap kan, Alice?"

Jeda.

Alice mengangguk cepat.

Aoi tersenyum lagi—lebih lebar lagi, "Benar, yang tadi itu hanyalah memorimu tentangku. Itu pun hanya beberapa karena sulit menciptakan berlian yang kecil dengan kapasitas memori yang besar, kau tahu?" pemuda itu membenarkan letak topinya yang miring ke satu sisi.

"Kau jelaskan pun, ia tidak akan mengerti. Aku sendiri bahkan tidak mengerti," celetuk Chesire. Telinganya bergerak naik dan turun dalam melodi yang teratur, hampir seperti ia tengah berusaha mencari kegiatan yang tepat untuk menghilangkan kebosanannya sendiri.

Aoi jelas tidak mengapresiasi celetukan Chesire, tetapi sepasang iris sewarna jelaga itu kembali terfokus ke arah gadis di hadapannya, "Dengar, Alice. Kau dapat mengambil kembali memorimu—dan semua jawaban yang kau inginkan secara cuma-cuma, kau tahu."

Alice mengerjap, akhirnya membuka mulutnya, "Bagaimana?" ia hampir tidak dapat menekan semangat di dalam suaranya yang serak. Sepasang iris cokelat tua berbinar antusias.

Aoi menaikkan jari telunjuknya, "Dengan satu syarat."

Suara kekehan Chesire mendadak terdengar, hampir tidak terdeteksi dan terlalu pelan, "Dasar pengkhianat," Alice mendengar pemuda dengan helai-helai rambut sewarna lembayung itu berkata dari balik hembusan napasnya. Entah kepada siapa; Hasegawa Aoi atau dirinya.

Aoi hanya menaikkan kedua bahunya, dan Chesire kembali menutup mata dan telinga gadis berambut gelap yang sedari tadi berdiri di sana dengan ekspresi ingin tahu dan penasaran.

"Bila kau ingin memorimu kembali, kau harus membunuh Alice dengan Pedang Vorpal."

Suara itu seolah menggema, dan Alice merasa ada yang pecah di dalam dirinya.

Membunuh Alice dengan Pedang Vorpal, katanya.

Tetapi bukankah Pedang Vorpal digunakan untuk menarik Jabberwocky dari tempat persembunyiannya dan membunuhnya? Aoi memang berkata bahwa untuk menyelamatkan Jabberwocky, Alice harus dimusnahkan, namun apa hubungannya membunuh seorang Alice dengan mendapatkan kembali memori Alice?

Kemudian, satu pertanyaan mendadak berkelebat di dalam kepala Alice. Membahana seolah menjerit, menggema seolah berteriak, mendorong semua alasan dan logika yang ia miliki.

Alice yang mana yang harus dibunuh?

Aoi melepas topinya dan meposisikannya di dada kiri dalam sebuah gestur hormat, pemuda berambut pirang itu kemudian membungkuk dan menarik tangan kanan Alice dengan lembut, mencium punggung tangan gadis berambut cokelat tua tersebut dengan sangat perlahan.

Sang Mad Hatter kemudian menegak. Dan tanpa peringatan, ia mengecup dahi Alice lagi.

"Semoga berhasil."

Aoi kemudian menarik kerah Chesire dengan paksa dan menyeretnya pergi, menggumamkan sesuatu tentang sang kucing yang akan digantung bila Red Queen melihatnya di sini. Chesire melambaikan tangannya ke arah Alice sebelum keduanya menghilang lewat jendela yang terbuka—jendela yang sama tempat Alice, Chesire, dan gadis yang satu lagi menyusup ke dalam istana Queen of Heart untuk mencari Pedang Vorpal dan Knave of Heart.

"Huh," gadis berambut gelap yang sedari tadi terdiam akhirnya berkata. Dan Alice sama sekali lupa gadis itu masih di sana, wajahnya memucat ketika sadar Aoi beberapa kali memanggilnya Alice—apakah penyamarannya ketahuan?

"Aku dengar kebanyakan minum teh berbahaya, tetapi aku tidak tahu seberbahaya itu. Hatter bahkan tidak dapat membedakanku denganmu, Bayard," Alice melempar sejumput rambut hitamnya ke belakang punggung dengan gestur santai. Gadis itu lalu berlalu ke suatu tempat.

Alice tidak tahu apakah ia ingin menangis atau tertawa. Ia juga tidak tahu apakah gadis di depannya ini bodoh atau hanya kelewat polos. Alice mendadak mencemaskannya.

Keduanya berjalan mengendap melewati lorong, kembali terfokus pada tujuan mereka untuk memastikan bahwa Pedang Vorpal benar di tangan Knave of Heart. Berkali-kali kedua gadis itu harus menjadi satu dengan pilar sewarna senja atau melempar diri ke ruangan terdekat karena satu atau dua Trump yang lewat. Dan sejauh ini, ajaibnya mereka tidak ketahuan.

Alice dan Alice baru saja hendak melewati ruang singgasana ketika seorang pemuda berambut hitam dengan pita biru di rambutnya keluar dari sana. Panik, kedua gadis itu reflek melempar diri mereka ke balik pilar terdekat, hampir mengeluarkan bunyi hantaman keras.

Keduanya kemudian mengamati pemuda yang berjalan memunggungi mereka.

Sepasang iris sewarna peridot dan cokelat tua saling berpandangan.

"Apakah kau memikirkan apa yang aku pikirkan?"

Alice menyeringai—ia benar-benar memikirkan apa yang gadis di depannya pikirkan.

Toh, bukankah pada dasarnya mereka berdua sama-sama seorang Alice?

.

.

Chapter Twenty-three End.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang