Ia terbangun dalam satu sentakan.
Ditegakkannya tubuhnya sendiri, kepanikan melandanya. Sejenak, pandangannya dipenuhi dengan warna putih. Ia berkedip beberapa kali untuk menghilangkan kunang-kunang yang memenuhi matanya, dan tak lama kemudian, ia kembali tenggelam dalam pelukan bantalnya.
Setelah mendapatkan kembali pengelihatannya, gadis itu menatap segalanya.
Ia berada di atas tempat tidur berkanopi putih. Tirai transparan yang menghiasi kanopi tempat tidur diturunkan, namun gadis itu masih dapat melihat apa yang ada di balik tirai tersebut. Kamar itu penuh sesak dengan warna putih, bahkan hingga ke pilihan warna bunga yang menghiasi vas di sudut ruangan—lily putih dan anggrek bulan. Karpet berbulu menghiasi lantai, mencuat dari bawah tempat tidur. Bau antiseptik dan anyir memenuhi udara.
Sejenak, Alice mengira ia ada di surga.
Namun itu tak mungkin, karena ia masih dapat merasakan nyeri di kakinya.
Dan bukankah katanya bila kau sudah mati, kau tidak akan merasakan rasa sakit lagi?
Maka, karena ia bukan di Surga, dimana dirinya kini?
Warna putih yang mengelilinginya membuat Alice mengingat sesuatu. Tetapi kenangannya samar. Kepalanya pening, seluruh ototnya terasa seperti meleleh dan meninggalkan tulang-tulangnya. Memorinya muncul dalam pecahan-pecahan yang tak dapat ia rangkai menjadi satu kisah masa lalu utuh; topi, tikus, kucing, pedang, wisteria, pita biru, gadis bangsawan.
... Gadis bangsawan?
Ada apa dengan gadis bangsawan?
Telinganya mendadak berdenging, dan sejenak, Alice merasa pikirannya mendadak kosong. Seolah semua suara di dalam pikirannya tersedot dan dibuang entah kemana, digantikan dengan suara-suara asing yang membuatnya disorientasi. Seorang pemuda—seorang pemuda berbicara kepadanya dalam serpihan memori, namun siapa pemuda itu, Alice tak tahu. Wajahnya samar, suaranya samar pula, dan Alice hampir tak yakin ini adalah ingatannya.
"Dengar, Project Alice kali ini akan berbeda. Mereka mengincarmu, dan Kuroki-san sedang menjalani hukuman. Dengar, aku tahu kau akan lupa, itu pasti. Bila kau mendengar suaraku nanti, suatu saat, di suatu tempat, cari aku; aku adalah pemeran dengan berlian biru."
Suara itu familiar. Seolah Alice pernah mendengarnya berkali-kali. Seakan suara itu adalah hal pertama yang ia dengar di pagi hari dan hal terakhir yang ia ingat sebelum tenggelam ke dalam dunia mimpi. Seolah suara itu selalu ada selama ia bernapas. Familiar, kelewat familiar.
Alice berani bersumpah ia pernah mendengar suara itu lagi. Di dalam realita, bukan di dalam kepalanya sendiri. Namun milik siapa? Suara siapa? Banyak tanda tanya dalam kalimatnya, Alice bahkan tak mengerti setengah dari hal yang pemuda itu bicarakan di dalam memorinya.
Apa itu Project Alice?
Siapa yang mengincar Alice?
Siapa Kuroki? Mengapa ia menjalani hukuman?
Siapa pemilik suara itu?
Telinganya berdenging kembali, dan rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Kilas demi kilas memori berkelebat di dalam kepalanya, pecahan masa lalu yang baru saja ia alami: Mad Hatter, Dormouse, pesta teh, Chesire Cat, Alice, belati, The Duchess, peringatanperingatan, March Hare, Knave of Heart Queen of Heart, Alice, pesta teh, lebih banyak Alice, Knave of Heart, sakitsakitsakitsakit, darahdarahdarahdarahlebihbanyakdarah—lalu apa? Alice ingat ia berlari menelusuri Wonderland. Lalu bagaimana ia sampai ke sini?
Alice melempar selimutnya dan merangkak ke tepi tempat tidur, mengintip dari balik tirai transparan untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya mengendap berdiri dan berjalan menuju pintu, dengan terkejut Alice mengambil fakta bahwa pakaiannya diganti dengan kemeja hitam penuh renda yang lengan bajunya lebih panjang daripada lengannya sendiri. Pita biru Alice tak lagi terikat di leher, melainkan dijadikan dasi untuk pakaiannya. Rok hitamnya diganti dengan rok hitam rampel yang baru—tinggal alas kaki beserta kaos kakinya dan Alice merasa seperti ia disiapkan untuk menghadiri pemakamannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasiaSatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?