37 - Roses

68 13 0
                                    

Di dunia ini, ada beberapa orang yang unik.

Kala mereka didorong ke ambang kematian, sesuatu di dalam diri mereka akan terbangun dan memberontak, menghantam segala dinding kewarasan untuk tetap hidup, untuk mempertahankan satu hari esok lagi—karena mereka tahu dunia pantas untuk dicintai.

Mereka tak sadar mereka sudah melewati batas obsesi.

Obsesi untuk hidup, takut kepada kematian, tetap bertahan kendati tak ada lagi yang dapat dipertahankan. Menghirup oksigen yang sudah bercampur dengan polusi, membuka mata untuk melihat langit yang sepi, berdiri di tengah hiruk-pikuk yang tak menunggu dan berhenti.

Ia adalah salah satu dari mereka.

Mungkin karena itulah ia dinamai Kehidupan.

Karena pada dasarnya, dunia memang indah, samudra memang ada, langit memang sempurna, tetapi kehidupan—manusia terutama—adalah apa yang menghancurkan semesta.

Ia adalah gadis yang berdiri di tengah darah dan mayat dan kegelapan dan bilah berlumur dosa. Ia adalah Alice terakhir di antara mereka, satu-satunya yang masih berdiri ketika enam sosok bersujud tanpa nyawa. Ia adalah Jabberwocky sebelum Queen of Heart tiba.

Ia adalah Jabberwocky yang menghancurkan Wonderland.

Ia adalah Kehidupan yang merobek dunia.

Gadis itu jatuh berlutut tanpa suara. Kegelapan di sekitarnya berputar, denging di telinganya tidak juga menghilang. Ia sudah menutup luka-lukanya semampunya, menunggu kesadarannya menghilang. Tetapi kala itu tidak datang juga, dan ia curiga semua ini ada hubungannya dengan fakta ia sudah mengingat masa lalunya.

Suara langkah kaki membuatnya melirik ke satu arah yang pasti, setengah berekspetasi yang muncul adalah sosok pemuda berambut hitam—malaikat kematian yang berbaur dengan kegelapan.

Tetapi yang menyambutnya adalah senyuman milik pemuda berambut pirang.

Tatapan sang gadis dengan segera mengarah kepada kemeja sang pemuda, dimana cipratan darah membuat warna putihnya ternoda. Tetapi toh, ia sama saja. Ia berlutut di tengah genangan darah yang ditolak tanah, tepat di hadapannya adalah tubuh gadis berambut hitam yang tersenyum pada saat terakhirnya.

("Kau tidak apa-apa?")

Hasegawa Aoi berjongkok di sisi Sei, mengusap air mata sang gadis dengan ujung kemejanya. Senyumnya sangat lebar, seolah puas melihat Sei membunuh semuanya—kecuali satu orang.

"Aoi."

Itu bukan suara Hisato Ryou.

Kuroki Nanami berdiri di tengah kegelapan. Sepasang iris sewarna senja berusaha keras untuk tidak melihat tubuh-tubuh yang tergeletak di depannya. Kedua tangannya terkepal dengan sangat erat hingga kukunya merobek kulitnya sendiri, darahnya menetes, bercampur dengan genangan yang sudah terbentuk.

"Dunia sudah hancur," entah dalam definisi yang sesungguhnya atau hanya metafora.

Aoi mengangguk, "Lalu?"

Nanami menggigit bibir bawahnya sendiri, "Kau tahu kan apa yang akan kita lakukan kepada pemenang Project Alice?" suaranya bergetar, dan Sei memiliki reflek untuk merangsek maju dan memeluknya—wanita yang dihukum karena melindungi gadis berambut cokelat tua.

"Karena itu kami akan pergi sebelum mereka datang," janji Aoi.

"Jika kau lakukan itu, kalian dan kami akan mati. Kita sudah bertahan sejauh ini di dalam sini, tetapi kita semua tahu tempat ini tidak dapat bertahan lebih lama lagi, Aoi," suara Nanami berubah dingin, sedingin ujung jemari Sei yang ternoda darah dan daging.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang