35 - Unbirthday

63 14 0
                                    


Ia adalah Jabberwocky, dan kini ia tengah menghadapi enam Alice.

Ia melihat Haijima Akatsuya dan iris sewarna keemasannya yang cemerlang, Rei Khazura dan ekspresinya yang penuh perhitungan, empat orang lain yang tidak ia kenali di dalam memorinya yang terlalu berserakan. Mereka semua memiliki tujuan yang satu dan sama.

Bunuh Jabberwocky. Bunuh Sei, gadis berambut cokelat tua yang mencuri Pedang Vorpal.

Menghadapi Akatsuya adalah satu hal, namun menghadapi Akatsuya dan gadis berambut hijau yang hampir membunuhnya di penghujung fajar dan gadis berambut platina dengan akuransi panah yang mengerikan? Sei lebih baik menggali kuburnya sendiri, terima kasih.

Sei tahu sejauh apa kekuatan pemuda berambut cokelat muda yang berdiri di belakang Alice lainnya, namun ia tidak tahu sejauh mana Khazura dan pemuda berambut hitam yang tersisa dapat bertahan. Sei sendiri bahkan tak tahu sejauh mana dirinya sendiri dapat bertahan.

Hujam belati demi belati berdatangan tanpa jeda degup jantung, tebasan pedang tidak memberikan satu tarikan napas, satu panah sudah menancap di bahunya yang lain, dan Sei harus memotong ujungnya agar tidak menghalangi gerakannya.

Tubuhnya mulai berat, dan gadis itu yakin ia sudah kehilangan banyak darah.

Liquid merah menetes, menetes, menetes membasahi kemeja putih, jatuh tanpa suara ke dalam kabut yang basah. Jemarinya bergetar ketika ia berusaha keras mencengkram gagang pedangnya, gerakannya tak pasti ketika ia berusaha menahan serangan belati yang datang.

Suara tembakan tidak lagi terdengar.

Siapa yang menang antara Hasegawa Aoi dan Lucille?

Sesuatu berbisik di balik kepalanya, sepertinya Lucille, mungkin saja Lucille. Atau mungkin juga Aoi, lalu pemuda berambut pirang itu meninggalkannya di tengah pertarungan sepihak ini untuk mati, supaya Alice membunuh Jabberwocky. Siapa suruh kau mempercayainya?

("Kau lupa ia pernah melemparmu ke tengah dokter dan meja bersabuk yang mengerikan?")

Sei merasakan rasa sakit tajam ketika satu panah menggores pipinya.

Ia menjeritkan penyelamatan. Tetapi siapa yang mau menyelamatkannya?

Gadis berambut cokelat tua itu mengumpat ketika sadar pemuda berambut cokelat muda dengan pita biru di rambutnya sudah meraih kembali senjatanya. Suara gemerincing rantainya membelah denting pedang Akatsuya dan pedangnya sendiri, dengan cepat sosoknya melebur ke dalam kegelapan, bergerak di antara Khazura dan gadis berambut hijau di sisinya.

Satu degup jantung, dan Sei menunduk untuk menghindari tebasan berbahaya di lehernya.

Gerakannya keluar dalam sentakan yang terburu-buru, dan bahunya menjeritkan sebuah rasa protes dalam bentuk hantaman ngilu. Umpatan keluar tanpa suara, tenaganya habis untuk menyelamatkan nyawa. Konsentrasinya terbelah, dan sepasang tangan mendapatkannya.

Kedua mata cokelat tua membesar, dan gadis itu mengayunkan pedangnya.

Tetapi Aoi menangkap gagangnya dan menyeret gadis itu ke dalam kegelapan. Memaksa Sei berlari dengan sisa tenaga. Sepatu mereka mengeluarkan suara langkah yang membahana.

"Mereka sudah tiba. Fokus, Sei."

Seolah sihir, Sei dapat mendengar suara banyak langkah kaki di sisi dinding labirin Wonderland yang lainnya, tepat di sisinya, hanya terpisahkan dedaunan dan kegelapan. Lalu suara gumaman dan percakapan yang terburu-buru. Bersatu dengan perintah dan teriakan.

"Sudah kukatakan jangan kirim para Alice terlebih dahulu, sinkronisasi mereka menyeramkan!" teriakan Queen of Heart menggema, dan Sei harus mengontrol dirinya untuk tidak menyentak tangannya lepas dari Aoi dan melarikan diri tanpa tahu arah dan jalannya.

"Diam, kau membuang tenaga," suara Hisato Ryou yang sewot membelah malam.

"Ingat, bunuh Jabberwocky, jangan biarkan ia hidup atau sekarat," bisikan Queen of Spade yang terbawa angin membuat jantung Sei hampir berhenti. Seseorang kemudian berkata lagi, tetapi Aoi sudah menyeret Sei menjauh, menyentak gadis itu untuk tidak berhenti.

Namun sentakan yang tiba-tiba membuat Sei kehilangan keseimbangannya. Kakinya menyerah, dan gadis itu jatuh dengan lutut terlebih dahulu. Rasa sakit melesat naik ke kepalanya, dan semuanya berdenyut, berkunang-kunang dalam rasa panas dan ngilu.

"Sei!?"

Suara Aoi terdengar seperti dari suatu tempat yang jauh.

Napasnya keluar dalam hembusan yang pendek-pendek, karena setiap ia menaikkan dadanya untuk bernapas, rasa sakit mencengkram lehernya, membuat oksigen berhenti di sana. Wonderland terlihat jauh lebih gelap dari yang seharusnya, dan sosok Aoi tidak lagi terlihat.

Suara denging membuat darahnya berdesir.

Di tengah kekacauan di dalam kepalanya, Sei merasa tubuhnya diangkat. Angin menerpa wajahnya dan luka terbuka yang terasa sangat perih. Sepertinya Aoi frustasi dan memutuskan untuk mengangkatnya ke pintu keluar Wonderland yang ia janjikan sebelumnya.

Tetapi pada detik ini, Sei lebih menginginkan perban dan tempat tidur yang nyaman.

Sei dapat merasakan besi dingin diletakkan di antara tangan dan lehernya; Pedang Vorpal. Dengan lemah, gadis itu mencengkram sang pedang, berusaha keras membuat dirinya sadar.

Tidak bergerak membuat kesadarannya perlahan menjadi lebih jernih. Gadis itu berkedip sekali, dua kali, dan bintang-bintang menghilang dari matanya. Sei menatap Aoi sejenak sebelum melempar tatapannya ke langit malam tanpa bintang Wonderland.

Sesuatu di langit menangkap matanya.

Sulit melihatnya di dalam kegelapan, tetapi bentuknya memanjang seperti sebuah pipa yang tipis, tersambung ke sudut ruangan dan mengeluarkan hembusan angin yang membuat kegelapan di sekelilingnya berdenyut lembut, seolah bergerak seperti kabut.

Namun Sei belum sempat mengamatinya lebih jauh, suara banyak langkah kaki pecah di belakang Aoi. Dan pemuda berambut pirang itu tidak melempar pandangan ke belakang punggungnya, "Pegangan," katanya, sebelum mengubah larinya menjadi sprint.

Sei mencengkram kerah kemeja Aoi. Konyol rasanya melihat pemandangan di sekitar mereka berubah menjadi blur dan bayangan semata. Sei tidak tahu di dunia ini ada orang yang mampu berlari dua kali lipat dari larinya yang sudah sangat cepat. Seolah Aoi terlatih untuk berlari sebelum semua ini terjadi—tetapi apa yang membuatnya berlari secepat ini?

Kepalanya berdenyut lagi.

Langkah Aoi cepat dan lebar-lebar, namun jarak antara mereka dan para pengejar mereka tidak juga bertambah panjang. Aoi menembus dinding labirin lagi, dan sepatu Sei hampir tersangkut di salah satu dahan tumbuhan yang menjulur.

Lalu Aoi berhenti.

Pemuda berambut pirang itu menurunkan Sei dan menegakkannya dengan satu tangan di pinggangnya, sementara tangannya yang lain mencengkram tangan kiri Sei dengan lembut.

Kepala Sei berdenyut lagi.

Gadis itu tidak mengerti.

Di hadapan mereka, adalah sebuah dinding labirin yang jauh lebih tinggi daripada dinding tumbuhan lainnya. Durinya jauh lebih besar, seolah mengancam siapapun yang berani mendekatinya. Mahkota bunga berukuran kecil menghiasi dedaunan, warnanya hampir ungu di tengah kegelapan, dengan sedikit warna kuning pudar pada bagian tengahnya.

"Apa," dengan lemah, Sei mengeluarkan pertanyaannya.

"Ini jalan keluar Wonderland."

Sei menoleh, menatap Aoi dengan tatapan penuh tanya.

Sepasang iris cokelat tua kemudian membesar.

Dan Mad Hatter menyeringai.

.

.

Chapter Thirty-five End.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang