25 - Caucus

115 18 3
                                    

Mereka bertiga adalah Alice.

Pemuda berambut lazuardi itu maju tanpa jeda napas. Tebasan demi tebasan terarah dengan penuh kekuatan. Kakinya tidak sekali pun melangkah lebih dari yang diperlukan. Ekspresinya tidak berubah kala bilah tajam pedangnya menggores lengan gadis berambut gelap yang menjadi lawan. Ia bertarung seolah ia tengah bernapas, tidak pernah sekali pun bertahan.

Alice tahu karena Alice pernah melawannya.

Pemuda itu terlalu terfokus dengan gadis di hadapannya, tidak sekali pun melirik Alice yang berdiri di pinggir dengan Pedang Vorpal di tangannya. Denting antara besi menggema, dan Alice tahu tidak butuh waktu lama sebelum seseorang datang karena mendengarnya.

"Kau tahu sendiri bahwa seharusnya tidak ada Alice lain di sini, kan?"

Suara pemuda itu benar-benar identik dengan Knave of Heart—Alice berani bersumpah, bila saja Knave lebih tua beberapa tahun lagi, pemuda beriris keemasan itu pastilah anaknya. Mereka berbagi ekspresi datar yang sama dan mata tajam yang senada. Dan tidak ada yang lebih menyeramkan daripada melihat dua orang Knave of Heart di satu tempat yang sama.

"Aku bisa berkata sama kepadamu, Alice. Tetapi sayangnya kali ini aku sedang menyamar menjadi Alice milik Queen of Heart, jadi secara teknis, aku adalah Alice of Heart," gadis berambut gelap itu tertawa di tengah denting pedang dan belati. Tidak butuh jenius untuk tahu bahwa gadis itu mulai kewalahan, tubuhnya mulai goyah dan ayunan belatinya lemah.

Alice harus membantu gadis itu, secepatnya.

Tetapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Tubuhnya membeku di tempat, kakinya tidak mau bergerak. Keringat dingin mengalir menuruni pelipisnya, jatuh tanpa suara di lantai berkarpet. Sosok pemuda berambut lazuardi itu menimbulkan kilas memori yang tidak begitu mengenakkan di dalam kepala Alice, kala pedang mengoyak daging dan belati menggores kulit, kala bilah menumpahkan darah dan dunia berputar jauh lebih cepat. Alice mengeratkan pegangannya pada bilah Pedang Vorpal.

Ia bisa saja melarikan diri dengan membawa Pedang Vorpal bersamanya sekarang juga.

Lagipula, bukankah ia adalah Alice?

"Bayard! Pergi dari sini!" gadis berambut hitam itu mengibaskan tangannya yang bebas. Sebelah tangan menahan bilah pedang sang pemuda. Keduanya menjauh dan merangsek maju lagi, denting senjata mereka membahana. Pakaian gadis itu sudah mulai sobek di sana serta di sini, dan beberapa goresan terbuka bilah tajam sudah menodai kulitnya yang putih.

"Jangan alihkan perhatianmu, Alice," pemuda berambut lazuardi itu memuntahkan kata terakhir dengan ogah-ogahan, jelas tidak mengapresiasi fakta bahwa nama mereka itu sama.

Sebentar lagi, pertarungan akan segera selesai, Alice tahu akan hal itu.

Alice juga tahu bahwa akhir pertarungannya tidak begitu bagus.

"Bayard!" suara gadis itu meninggi.

Dan sekilas, Alice mengenali gadis itu.

Bukan sebagai seorang Alice. Melainkan sebagai seorang gadis berambut gelap dengan highlight putih di beberapa helainya, panjang menjuntai hingga punggung dengan kepangan longgar pada tengkuknya. Alice mengenalinya sebagai seorang gadis beriris peridot yang berjongkok di depannya ketika ia terduduk kaku di tengah lorong putih menyilaukan yang lenggang—lorong yang sama yang Alice lihat di dalam memorinya yang singkat bersama dengan Hasegawa Aoi. Seorang gadis yang Alice kenali bukan sebagai seorang Alice.

Sebuah nama muncul di tenggorokannya.

"Khazura."

Kepalanya berdenging, jantungnya berdetak dengan sangat cepat, dan sejenak, dunia berhenti. Darahnya berdesir dan berputar, rasanya panas dan membakar. Sesuatu di dalam kepalanya menjerit, mencakari dinding tak terlihat yang membatasi seluruh kenangan miliknya.

Alice mengenali gadis itu. Alice melihatnya beberapa kali sebelum ini—sebelum semua ini, gadis berambut gelap yang selalu diseret oleh seorang pemuda berambut hitam hiperaktif dan kembarannya yang kalem. Gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai Khazura.

Dan sekarang Alice mengenalinya, bagaimana gadis berambut cokelat tua itu bisa melarikan diri tanpa rasa bersalah nantinya?

Alice baru akan melangkah ketika pintu ganda itu terbuka.

Sepasang iris cokelat tua bertemu dengan iris sewarna violet tanpa rasa.

Yang berdiri di ambang pintu adalah Knave of Heart.

Pemuda berambut hitam itu terdiam sejenak, seolah berusaha memproses fakta bahwa kamarnya dijadikan medan pertarungan oleh dua orang bersenjata dan seorang gadis yang tengah memeluk pedang di pinggir ruangan. Bila saja keadaan berbeda, peristiwa seperti itu jelas absurd kendati eksistensi Wonderland itu sendiri memang dari awal sudah sangat absurd.

"Alice!" Knave berseru mendadak, dan Alice melompat menjauh darinya karena terkejut, mulutnya terbuka, tetapi Alice menahan dirinya sebelum sempat menjawab panggilan itu.

"Alice yang mana!?" gadis berambut gelap itu berseru sewot.

Knave tidak menjawab, karena sudah jelas Alice yang mana yang ia maksud. Seringai terkembang di bibirnya, ia menunjuk Khazura yang mulai kepayahan, "Bunuh Alice."

Knave bisa saja menghabisi Alice sendiri, Alice tahu sejauh itu. Tetapi kalimat Chesire Cat menggema di dalam kepalanya, bahwa tidak ada seorang pemeran yang bisa menghabisi Alice milik orang lain. Seorang pemeran hanya bisa membantu Alice miliknya sendiri—Knave of Heart adalah seorang pemeran yang terikat peraturan. Toh, bila Knave menang namun dengan cara curang, ia pasti akan mendapatkan penalti, kan?

Dan Alice tahu ia bisa memanfaatkan itu. Tetapi bagaimana?

Pemuda berambut lazuardi itu semakin gencar menebas dan menusuk, determinasi untuk membunuh membuat kekuatannya berlipat ganda. Khazura masih bertahan, tetapi tubuhnya sendiri berkata bahwa gadis itu tidak akan bertahan lebih lama. Knave melipat kedua tangannya di depan dada dan menonton, gesturnya yang seolah bukan menonton pertarungan hidup dan mati membuat Alice merasa Chesire jauh lebih mending daripada Knave of Heart.

Khazura menahan bilah pedang sang musuh untuk terakhir kalinya dan jatuh terduduk, keringat membanjiri tubuhnya, bercampur dengan darah yang mengalir dari luka gores yang ia terima. Pemuda di depannya memutar pedang di tangan dan bersiap untuk tebasan terakhir.

Alice mengepalkan tangannya, ia dapat merasakan darah menetes dari luka terbuka yang ia bentuk lewat kuku dan telapak tangannya sendiri. Gadis itu lalu menarik lepas dasi birunya.

"Hoi!"

Alice menarik lebih banyak mata daripada yang ia maksudkan, tetapi siapa yang peduli?

Gadis itu mengikat dasinya menjadi pita, tepat di atas perban yang menutupi lehernya. Ia memiringkan kepalanya, senyumnya miring—senyum yang sama dengan milik seorang kucing yang suka menebar konflik kemana pun ia pergi. "Perintahmu adalah bunuh Alice."

Alice menarik keluar Pedang Vorpal dari sarungnya dan menghunuskannya tanpa ragu. Bilah keperakan berkilau hampir indah bila saja warna keperakan itu tidak diperuntukkan sebuah pedang yang notabene biasa digunakan sebagai alat pemenggal kepala orang.

Pedang Vorpal terasa ringan di tangan Alice, tidak seperti sebuah pedang bermata ganda pada umumnya, seolah seluruh tubuh pedang itu terbuat dari kaca yang sangat rapuh.

"Dan aku juga seorang Alice."

.

.

Chapter Twenty-five End.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang