Bagaimana mereka dapat bertahan setelah jatuh ke lubang kelinci?
Cara mereka berbeda.
Seperti gadis berambut hijau dengan belatinya, atau pemuda berambut cokelat muda dengan segalanya, atau gadis berambut platina dengan busur dan panahnya, atau pemuda berambut hitam dengan pistolnya, ketika mereka terbangun dengan tanah sebagai alas dan langit berbintang sebagai atap, tujuan hidup mereka hanyalah satu.
Bunuh Jabberwocky.
Tetapi siapa mereka sebelum ini?
Tidak ada yang meneriakkan kata biasa lebih dari Haijima Akatsuya. Seorang anak laki-laki berambut hijau gelap samar yang sekilas terlihat seperti samudra paling dalam bumi. Ia hanyalah satu dari tujuh koma lima milyar manusia yang terlalu biasa untuk dilirik dua kali. Sama seperti anak seumurnya pada umumnya, Akatsuya benci fisika, ia mencintai olahraga dan ilmu alam pada umumnya. Ia mencintai kebebasan lebih dari apa yang ia punya.
(Dan ironinya, ia terjebak dengan orang yang mengikat takdirnya sendiri.)
Adalah Rei Khazura, seorang anak perempuan berambut gelap yang berbaur dengan kerumunan. Sosok mungil yang tak akan bisa terlihat dua kali. Diberkati dengan kemampuan ingatan yang luar biasa serta kemampuan mengadaptasi informasi, ia memang sedikit menonjol dari orang lain pada umumnya. Ia hanya butuh tiga kali tatapan, lalu habis perkara.
Berbeda dari Nymph dan Kuroki Nanami yang saling mengenal dari awal, seperti Iva Lucille dan Minami Fuyukashi, awalnya Akatsuya dan Khazura sama sekali tidak saling mengenal.
Namun takdir adalah sesuatu yang menggelikan, bukankah demikian?
Akatsuya adalah anak laki-laki yang tak biasa. Berbeda dengan anak-anak lainnya, ia memiliki kecenderungan untuk mengkeret di sudut dan tak pernah memiliki keberanian untuk berbicara. Terlalu tenang, terlalu ketakutan. Suaranya terlalu lembut hingga terkalahkan detik jam. Inferioritasnya datang dari ibunya yang selalu menghinanya dengan kata-kata tajam, kakaknya yang tak peduli sama sekali, dan ayahnya yang tidak pernah memperhatikan.
Akatsuya masih belia, tetapi ia tahu keluarganya berbeda dari keluarga yang seharusnya. Hinaan demi hinaan ia terima sembari menahan air mata, pukulan dan tamparan ia ambil dalam sikap diam yang sempurna, tangisannya tanpa suara ketika ia terbangun di tengah malam selagi mengobati luka-lukanya. Tidak ada yang berhenti untuk bertanya, tidak ada yang menatapnya dua kali kala anak laki-laki dengan iris keemasan paling cemerlang itu berjongkok di pinggir jalan, menatap bluets layu yang tumbuh melewati aspal dan baja.
Akatsuya masih belia, dan ia perlahan membenci dunia.
Semakin ia tumbuh besar, semakin sadar dirinya bahwa semesta berkonspirasi untuk melawannya, membunuhnya perlahan dalam cara paling kejam yang dapat dibayangkan oleh seorang manusia biasa. Sifat inferiornya masih ada, dan ia berusaha keras hidup dalam tawa.
Akatsuya hanya ingin dunia berpihak kepadanya.
Tetapi apa yang ia dapatkan pada akhirnya?
Tawa hina dan tamparan kata.
(Haijima Akatsuya itu .... menyedihkan, ya.)
Khazura adalah kebalikannya. Ia hidup di dalam keluarga normal yang penyayang dan biasa. Ayahnya adalah seorang pegawai kantoran, dan ibunya adalah seorang penulis novel romansa. Mereka menyayangi Khazura apa adanya, dan Khazura mencintai dunia seperti yang terrefleksi pada matanya. Ia menyukai setiap napas yang ia tarik dan langit yang ia tatap.
Khazura ingin dunia yang lebih baik.
Dan ia tahu bahwa satu langkah untuk menjadikan itu kenyataan adalah dengan menjadi pelopor kebaikan. Menunjukkan senyum dan tawa, memperlihatkan segalanya yang baik, menyimpan perasaannya jauh-jauh agar tak ada yang menyadarinya—karena dunia itu indah apa adanya, dan Khazura tak ingin emosinya sendiri menodai kepercayaan mereka.
Pada usia belia, tanpa sadar ia memainkan sebuah sandiwara. Karena bagaimana pun juga, dunia ini sudah lama ternoda. Tetapi gadis kecil beriris peridot itu masih percaya kepada mimpi dan tawa dan allysum dan bluebell, dan kamelia, dan satu pagi lagi.
Khazura hanya ingin berpihak kepada dunia.
Tetapi apa yang ia dapatkan pada akhirnya?
Tidak ada.
Karena pada dasarnya, bukankah takdir memang cenderung bersikap lebih kejam kepada mereka dengan hati yang lebih indah daripada hortensia dan semburat senja dan andromeda?
Kemudian, bagai permainan, delusi Akatsuya terkabulkan dan mimpi Khazura dihancurkan.
Berita itu menyebar bagaikan api tersiram bensin, dari satu layar televisi ke layar televisi yang lain, dari satu hologram ke hologram lain, dari mulut ke mulut, tulisan ke tulisan, artikel ke artikel, media ke media, tempat ke tempat, bahkan api kalah cepat dalam menyebar.
Ayah Khazura adalah orang yang pintar. Begitu berita itu tersebar, ia membawa keluarganya pergi dari ibukota, berkendara dengan kecepatan penuh menuju perbatasan wilayah.
Sementara Akatsuya memilih untuk pergi diam-diam lewat jendela. Karena kendati ia membenci dunia, ia masih mencintai kebebasan, dan ia masih ingin hidup sehari lagi. Otaknya yang masih belia berpikir perbatasan wilayah adalah tempat yang tepat untuk bersembunyi untuk sementara. Sulit keluar dari rumah, tetapi akhirnya, ia berhasil juga.
Segalanya terjadi bagaikan mimpi. Satu degup jantung adalah sebuah hari yang normal, dan tiga degup berikutnya, jalanan dipenuhi dengan kekacauan. Mobil-mobil saling bertabrakan dan terbalik di pinggiran, api menyebar dan suara ledakannya menggema, suara sirene membahana, tetapi tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan.
Khazura merangkak keluar dari mobil keluarganya yang menabrak kendaraan lain. Tubuh terkapar tak jauh dari tempat kejadian perkara, dan gadis kecil itu memaksa dirinya untuk tidak menoleh, kendati darah yang menodai aspal mulai merembes ke dalam pakaiannya, menodai warna putih dengan merah. Air mata mengalur menuruni pipi ketika ia mendongak.
Sepasang iris keemasan bertemu dengan peridot gelap.
Akatsuya membatu, rencananya untuk melewati gadis kecil yang tengah menangis diam-diam tanpa terdeteksi hancur begitu saja. Anak laki-laki dengan rambut sewarna samudra itu mencengkram ujung jaketnya erat-erat, keringat mengalir menuruni pelipisnya kala beberapa detik berlalu, dan baik Khazura maupun Akatsuya tidak melepas tatapan mereka.
Dunia di sekitar mereka perlahan remuk begitu saja.
Begitu juga apa yang tersisa dari sepasang iris peridot tua.
Sebuah hantaman keras memukul Akatsuya tepat di tengkuk, dan tubuh mungil itu jauh ke depan, menghantam aspal dengan suara retak yang menyakitkan. Mata Khazura membesar, dan gadis kecil itu menoleh ke arah sang pelaku, bibirnya bergetar dan tak ada suara yang meluncur keluar dari tenggorokannya kala sosok itu melangkah perlahan ke hadapannya.
Sepasang iris hitam dengan retina merah balas menatapnya.
Jadi Khazura memaksa dirinya berdiri dan mendorong kakinya berlari.
(Cari sembilan yang tersisa dari manusia, bawa kemari mereka.)
Ia melewati seorang anak laki-laki berambut cokelat muda yang meringkuk di sudut penuh bayangan, seolah berusaha menyembunyikan dirinya. Ia menangkap sosok gadis kecil berambut cokelat tua yang meneriakkan tantangan kepada sekumpulan orang dewasa. Ia melirik dua sosok anak perempuan yang berlari masuk ke dalam gedung terdekat. Ia mendengar suara tembakan dari tangan amatir yang dipenuhi dengan rasa teror dan ketakutan.
Mengapa?
(Mengapa tidak kau cari tahu dengan mulai secepatnya?)
Khazura meluncur melewati serpihan kendaraan yang hancur berantakan, air mata membuat pandangannya mengabur dengan cepat, apa yang salah dengan dunia?
Akatsuya membuka kedua matanya, sepasang iris keemasan menatap kosong sosok berdarah yang berjalan menjauh darinya, apa yang salah dengan semesta?
Jawabannya sederhana.
Eksistensi manusia.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?