Bagaimana ia masih bertahan di ambang delusi dan realita?
Ia hanya ingin mencintai dunia.
Adalah sang pemilik benang takdir yang utama, seorang anak jalanan yang diadopsi sekumpulan anak baik hati yang lebih tua. Mereka tidak memiliki banyak hal kecuali kehangatan dan cinta, dan mereka tidak berada di dalam posisi yang bagus untuk protes kepada hidup mereka. Toh, bernapas saja sudah cukup—semuanya akan baik-baik saja.
Tidak ada surat resmi untuk adopsi, tidak ada perjanjian ia harus tinggal. Mereka hanya menyelamatkan gadis kecil itu dari hujan deras dan memberinya makan. Hubungan mereka terjalin lewat lisan. Bahwa mereka akan saling menjaga selama mereka hidup bersama.
Sejauh yang gadis itu ingat, namanya hanya terdiri dari satu kata, tiga huruf sederhana. Sei, tanpa nama marga. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya ia memiliki atap di atas kepala, apalagi sosok-sosok yang menatapnya dengan penuh kasih sayang.
Tetapi pada dasarnya, apakah ia bahkan memiliki keluarga?
Kakak-kakaknya—dua orang laki-laki dan seorang perempuan—memerintahkan Sei untuk bersekolah, mereka tidak dapat membaca maupun menulis, dan mereka tidak ingin sang adik terjun ke dalam takdir yang sama. Sei tidak pernah tahu dari mana mereka dapat membiayai sekolahnya, tetapi gadis itu selalu berusaha memberikan segala yang baik untuk mereka.
Pada hari keempat Sei pergi ke sekolah, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki.
Anak itu mengenakan seragam, kendati mereka terlihat seperti sebaya. Tanda bahwa kemungkinan besar, anak laki-laki berambut pirang itu adalah seorang murid dari sekolah mahal ternama yang hanya menerima orang-orang kaya pada umumnya. Sei ingat di sekitar sini ada sebuah lingkungan berpagar tinggi yang senantiasa mengeluarkan denting bel pada saat tertentu, mungkin anak itu berasal dari sekolah dengan menara yang menjulang tinggi itu.
Lucunya, diskriminasi masih eksis kendati dunia sudah menjadi utopia.
(Atau mungkin malah karena itu, diskriminasi masih tetap eksis di dunia?)
Awalnya, gadis kecil itu hanya ingin melewatinya. Tetapi suara anak anjing yang kesakitan membuatnya berhenti, dan kala melihat sepatu anak laki-laki berambut pirang itu tengah menginjak ekor hewan kecil malang yang menangis kesakitan, Sei reflek membuka sepatunya.
Dengan tenaga yang seharusnya tidak memiliki seorang anak kecil, gadis berambut cokelat tua tersebut melempar sepatunya tepat ke wajah anak laki-laki itu, dan ketika ia menoleh dengan tatapan murka, Sei menamparnya sekali di pipi—ekspresi tampak terkhianati.
(Jika kau masih mau menginjak anak anjing itu, aku masih punya satu sepatu lagi.)
Sei mempelajari fakta bahwa nama anak itu adalah Aoi—langit biru.
Hasegawa Aoi, nama belakang yang sama dengan nama satu keluarga dokter kaya termasyhur yang tinggal di ujung jalan tempat keluarga angkat Sei menetap. Kakak perempuannya sangat panik ketika Sei bercerita ia menampar anak tunggal keluarga Hasegawa, sedangkan kedua kakak laki-lakinya malah tertawa puas sembari memujinya.
Setelah peristiwa itu, Sei dan Aoi memilki sebuah hubungan yang unik, kakak perempuan Sei pernah berkomentar demikian. Aoi selalu berdiri di sudut jalan, menatap jalanan, menoleh ketika Sei pulang sekolah. Mereka berdua akan terlibat pembicaraan singkat, dan Aoi selalu berkata ia sedang menunggu salah satu pelayan rumah Hasegawa menjemputnya.
Aneh, Sei selalu berpikir, rumah Aoi tepat berada di seberang jalan mereka bercakap-cakap.
Tetapi Aoi adalah orang pertama yang berbicara kepadanya selain kakak-kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?