Ia adalah Alice, dan kini ia tengah menghadiri pesta teh milik Queen of Heart.
Sungguh membara, Ratu Yang Berkuasa. Rambutnya yang panjang menyapu punggungnya, menarik tatapan dengan warnanya yang lebih gelap dari kelopak mawar yang mekar sempurna, kedua sisinya dikepang dan ditarik, diikat ke belakang kepalanya dalam untaian paling anggun dan elegan. Irisnya sewarna dedaunan yang berkilau ditimpa cahaya matahari, menatap Alice dengan tatapan penuh kalkulasi dan perhitungan yang teliti—mengamati.
Kulitnya putih, namun tak pucat, dipenuhi rona yang menunjukkan fakta bahwa sang Ratu memang sehat. Tubuhnya yang semapan dibungkus dengan gaun berwarna merah dengan campuran hitam sepanjang mata kaki berlengan pendek yang dipenuhi dengan renda merah pada bagian roknya yang sedikit mengembang dan pita sewarna pada bagian dadanya yang dilapisi kain berkerut berwarna hitam. Pada bagian dadanya, tepat di ujung pitanya yang saling mengikat membentuk kepangan rumit, Alice dapat melihat deretan batu mulia terjahit pada pakaiannya—ruby pastinya. Sebuah mahkota melengkapi penampilannya yang elegan, berkilau keemasan, berpendar samar dalam berbagai macam batu mulia yang disematkan.
Di pesta teh yang diadakan di tengah taman istana, yang tersembunyi di balik semak mawar dan gerbang wisteria merah, Queen of Heart masih terlihat sangat cantik dan memesona.
"Aku berterima kasih kepadamu, Alice, sudah membawa March Hare pulang, ia memang sering tersesat," sang Ratu berkata. Suaranya jernih dan cemerlang seperti denting bel gereja.
Alice mulai merasa dunia tidak adil, memberikan begitu banyak berkah kepada sang Ratu.
Tetapi mau bagaimana juga, yang seorang ratu adalah Queen of Heart, bukan Alice.
"Pesta teh ini adalah terima kasihku untukmu. Silahkan ambil saja apapun yang kau mau."
The Duchess memperingatkan Alice akan dua ratu; yang merah dan yang putih. White Queen yang seorang heterokromania dan Red Queen yang mengenakan merah dari atas ke bawah.
"Terima kasih, Yang Mulia. Tetapi hari sudah beranjak senja, dan aku harus melanjutkan perjalananku," Alice menghentikan dirinya yang hendak menyebutkan nama pedang yang harus dicarinya. The Duchess sudah memperingatinya, dan Alice harus menuruti katanya.
Alice harus pergi dari sini secepatnya, instingnya menjerit penuh derita.
"Ah, mengapa terburu-buru?" sang Ratu kembali bertanya, mengisyaratkan seorang pelayan untuk mengisi kembali cangkir Alice yang sudah kosong. Duduk di sisinya, adalah pemuda berpita biru yang sama, matanya tak lepas dari Alice—dan Alice baru sadar sang Ratu belum memperkenalkan pemuda itu kepadanya. Tatapan pemuda itu membuatnya tak nyaman.
Seolah pemuda itu tengah menunggu waktu yang tepat untuk menusuk Alice dengan pisau mentega.
"Aku harus mencari sesuatu yang, eh, bisa membuatku tidur nyenyak," Alice tahu ia tak dapat lepas dari situasi ini dengan mudah, tetapi ia berusaha sangat keras. Gadis itu mendorong cangkirnya menjauh, menekankan akan fakta bahwa ia tak ingin minum teh lagi.
"Apakah sesuatu yang kau maksud ini?" Red Queen kembali bertanya. Senyumnya benar-benar inosen, tetapi pertanyaannya sangat menjebak. Iris sewarna batu peridot tua milik sang Ratu mengamati setiap gerak-gerik Alice dengan akuransi yang mengerikan, Alice merinding.
"Sesuatu ... yang penting," Alice menjawab dan perlahan berdiri dari duduknya.
Sang Ratu tersenyum, dan sejenak, Alice merasa Queen of Heart paham.
Wanita muda itu membuka kipas yang sedari tadi dibawanya, mengipasi wajahnya dengan perlahan, menutupi bibirnya yang membentuk seringai lebar, "Apakah maksudmu, Pedang Vorpal?" suaranya berubah, menjadi satu yang penuh dengan ancaman dan sedikit amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?