18. Her Grandmother

3.3K 392 51
                                    

Jalanan di perumahan dekat stasiun terbilang cukup lengang. Membuat kedua insan yang kini berjalan bersisian tersebut merasa nyaman akan kesunyian di antara keduanya.

Karma melirik ke arah Manami yang berjalan di sampingnya. Ia tahu masalah yang dialami oleh Manami. Dan ia tahu kalau saat ini Manami tinggal dengan neneknya -dari pihak sang ayah. Karma bisa bayangkan kalau Manami sangat menyayangi sang nenek.

Rasanya ia sedikit iri dengan sang nenek yang bisa tinggal serumah dengan Manami. Bahkan sampai mendapat perhatian dan kasih sayang dari Manami.

Tidak. Iri terhadap anggota keluarga Manami itu salah. Seharusnya ia iri terhadap Nagisa yang sering diajak bicara oleh Manami saat di kelas.

Lagipula, ia bisa menanyakan banyak hal tentang Manami pada sang nenek nanti.

"Kita sampai, Karma-kun."

Lamunan Karma pecah. Ia sedikit mendengus geli akan pikirannya yang mulai kacau tadi -bahkan ia tak sadar kalau ia dan Manami sudah tiba di depan rumah Manami. Mungkin efek kesal yang ia rasa atas hasil ujiannya yang membuatnya seperti ini.

Keduanya memasuki pekarangan rumah minimalis yang terdiri atas dua lantai tersebut. Manami membuka pintu rumah, mengucapkan 'tadaima' dengan suara lantang.

Keduanya melepas sepatu sekolah mereka dan menggantinya dengan sandal rumah yang tersedia di rak sepatu dekat pintu.

"Ara, Manami-chan membawa kekasihnya ke rumah."

Seorang wanita tua muncul dari ruangan yang berada dekat lorong mereka berdiri. Wajah Manami memerah sempurna mendengar kalimat yang dilontarkan oleh wanita tua tersebut. Berbeda dengan Karma yang sepertinya senang karena dikira sebagai kekasih Manami.

"Nama saya Akabane Karma. Salam kenal, Obaa-san," kata Karma dengan senyum simpul dan tubuhnya yang sedikit dibungkukkan sopan.

Wanita Tua itu terkekeh pelan sebelum menunjukkan senyum tulus di wajahnya.

"Aku tak menyangka kalau kekasih Manami-chan akan setampan ini," ucapnya dengan senyum ramah. Karma meresponnya dengan senyum lebar, sedangkan wajah Manami sudah memerah sempurna -ingin memprotes kesalahpahaman yang terjadi, namun tak bisa karena kepalanya terasa kosong sekarang.

"Akan kuantar kau ke ruang tamu. Manami-chan, sebaiknya kau mandi dulu," sarannya dengan senyum yang sama. Manami hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, lalu mulai berlari kecil menuju kamarnya di lantai atas dengan wajahnya yang sudah memerah sempurna karena malu.

Karma terkekeh kecil melihatnya -terlihat sangat manis.

"Jadi, kau putra keluarga Akabane?" tanya Sang Nenek dengan senyum tipis. Keduanya pun mulai beranjak dari posisi mereka. Menuju ruang tamu yang terletak tak jauh dari pintu masuk tempat mereka berdiri sebelumnya.

"Yup. Aku putra tunggal. Apa anda tahu sesuatu tentang keluargaku?" tanya Karma balik setelah memberi jawaban atas pertanyaan Sang Nenek.

Ia mempersilahkan Karma duduk terlebih dahulu, sebelum pamit ke dapur untuk membuatkan segelas teh. Sekembalinya ia dari dapur, ia pun meletakkan segelas teh yang dibuatnya di hadapan Karma. Mendudukkan diri di sofa yang terletak berhadapan dengan Karma duduk.

"Akabane Kenjirou, dia adalah sahabat putraku sewaktu SMA."

Karma kehilangan kata-kata. Tak tahu harus merespon apa atas fakta yang diberitahukan oleh nenek calon kekasihnya. Sedangkan Wanita Tua itu tersenyum simpul melihat reaksi Karma yang kini terlihat tengah mencoba memahami situasi.

"Kenjirou memang nama ayahku. Tapi ini di luar dugaanku," kata Karma jujur dengan senyum miring. Kalau tahu fakta ini, ia pasti sudah meminta ayahnya untuk menjodohkan dirinya dengan Manami sejak dulu.

"Wajah dan matamu mirip dengannya. Jadi mudah bagiku untuk mengenalimu sebagai putranya," ucap Sang Nenek dengan senyum ramah. Karma tersenyum miring mendengarnya. Ibunya juga berkata demikian -kalau dirinya lebih mirip secara fisik maupun sifat dengan ayahnya, yang menurun dari ibunya hanyalah warna rambut merahnya.

"Jadi, kau menyukai Manami-chan 'kan?"

Karma hanya menanggapi pertanyaan tersebut dengan mengangkat kedua bahunya. Walau dirinya tak menjawab, ia yakin bahwa Sang Nenek tahu jawabanya.

"Anda sepertinya kenal dengan ayahku 'ya?" tanya Karma dengan senyum culas yang biasa ia tampilkan. Sang Nenek mengangguk perlahan sebagai jawaban.

"Dia sering datang ke rumah dulu. Entah untuk belajar, bermain atau sekedar bercerita pada putraku."

"Heh? Cerita apa yang diceritakan oleh ayahku?" tanya Karma dengan seringai tertarik. Sang Nenek tertawa pelan melihat antusiasme yang ditunjukkan Karma.

"Cerita tentang dirinya yang sulit untuk mendapatkan hati seorang wanita yang disukainya. Kalau tak salah namanya --"

"Yukako 'kan?"

Wajah Sang Nenek berubah cerah saat mendengar nama yang disebutkan oleh Karma. Ia mengangguk pelan sebagai tanda bahwa nama yang disebutkan Karma adalah nama yang ia maksud -membuat Karma menyeringai lebar dalam hati. Ia bisa sedikit menggoda orangtuanya nanti.

"Karma-kun sendiri bagaimana?"

Karma terperajat, menatap heran pada Sang Nenek yang kini menatapnya dengan senyum tipis dan tatapan serius.

"Hubunganmu saat ini dengan Manami-chan hanya sebatas teman 'kan?"

Pertanyaan itu rasanya cukup menusuk. Karma benci mengakuinya, tapi itu kebenarannya. Jadi, ia mengangguk mengiyakan dengan senyum enggan yang terlihat jelas di wajah. Sang Nenek tertawa kecil melihat reaksi Karma.

"Tapi kau menyukainya 'kan? Maksudku, dalan artian romantis."

Lagi, Karma menjawabnya dengan anggukkan singkat. Menurutnya, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk memberikan jawaban melalui kata-kata. Jadi ia lebih memilih untuk menjawab dengan gestur tubuh.

"Kalau begitu, aku boleh minta tolong?"

"Tentu, aku akan coba membantu sebisaku."

Senyum Sang Nenek melebar, membuat matanya menyipit senang atas jawaban yag diberikan oleh Karma.

"Bisa kau jaga Manami untukku?" tanyanya. "Kurasa, aku tak akan bisa hidup lebih dari satu tahun lagi. Penyakit TBC yang kuderita sejak lama semakin parah," lanjutnya dengan senyum sedih yang terlihat jelas.

Karma terdiam sejenak. Permintaan yang dilontarkan oleh Sang Nenek terbilang cukup berat. Karena itu berarti memintanya untuk bersikap layaknya ksatria yang selalu siap melindungi dalam segala situasi. Tapi, bukan berarti Karma menolak.

Permintaan Sang Nenek bisa saja menjadi arti, bahwa Sang Nenek membeiri izin atas hubungan dirinya dengan Manami. Tentunya, hal ini membuat Karma dengan senang hati menerima permintaan tersebut.

"Tentu, Obaa-san."

Sang Nenek tersenyum puas mendengar jawaban yang diberikan Karma. Karena dengan seperti ini, dirinya sudah tak perlu lagi mencemaskan cucu kesayangannya.

Kuharap kau bahagia, Manami-chan.
.
.
.
Cerita ini udah mulai masuk pertengahan. Setelah ini selesai, saya rencananya mau nyelesain buku saya yang satu lagi :"))
Sebenernya buku saya yang satu lagi (The Sky & The Sea) akan ada hubungan dengan buku ini pas masuk future arc. Atau semacam itu lah :"))

Okee, saya mau ngucapin makasih yang sebanyak-banyaknya untuk para pembaca! Mulai dari yang komen, vote, sampai silent reader ^^

Hicchi23

You Will Be Mine - KarManami [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang