Words: 1077
.
.
.
Musim dingin di kediaman Akabane. Sunyi seperti biasanya. Hanya ada Karma dan Manami di sana -duduk di lantai ruang tamu dengan sebuah meja di depan keduanya. Dengan posisi Karma yang memeluk Manami dari belakang.Tangan kanan Manami terus bergerak, menuliskan berbagai macam kata yang terpikirkan olehnya untuk menyelesaikan laporannya. Mengabaikan Karma yang tengah mengistirahatkan kepalanya di bahu kanannya, dengan kedua lengannya yang melingkari pinggang Manami.
Katakanlah kalau posisi mereka saat ini terbilang cukup memalukan -untuk Manami.
"Karma-kun," panggil Manami pelan. Karma sedikit menggerakkan kepalanya yang tengah berada di lekukkan leher Manami, ditambah sedikit menggeram sebagai tanda bahwa ia mendengarkan. "Bisa kau lepaskan tanganmu? I-ini memalukan," lanjutnya dengan senyum canggung dan wajahnya yang memerah tipis.
"Tak mau," jawab Karma langsung dengan nada tak niat. Manami mendengus mendengarnya, rona di wajahnya bertambah pekat secara perlahan saat ia menyadari kalau Karma mengeratkan pelukannya.
"Sudah lama aku ingin memelukmu seperti ini."
Merah di wajah Manami bertambah. Ia tak menyangka kalau Karma akan mengatakan sesuatu yang memalukan seperti itu.
"Aku selalu berpikir, kalau punggungmu terlihat nyaman untuk disandari."
Manami semakin bertambah merah. Bisakah Karma berhenti mengucapkan itu?
"Karma-kun, berhenti menggodaku," pinta Manami dengan senyum canggung. Karma hanya merespon dengan kepalanya yang bergerak tak nyaman di lekukkan leher Manami. Menimbulkan sensasi geli akibat rambut Karma yang bergesekkan dengan kulit lehernya. Ia tak pernah menyangka kalau Karma akan semanja ini.
"Aku serius. Aku tidak sedang menggodamu," balasnya mirip bisikkan. Manami mengerutkan keningnya, berpikir antara mempercayai atau tidak mempercayai perkataan Karma barusan.
"T-tapi, kenapa kau bisa berpikir begitu?" tanya Manami ragu, sedikit merasa canggung dengan topik pembicaraan yang menurutnya sedikit memalukan. Karma tak menjawab selama beberapa saat. Namun, Manami bisa merasakan kalau Karma sedikit mengeratkan pelukannya -membuat wajah Manami kembali memanas.
"Aku duduk di barisan paling belakang, dan kau duduk di deretan kedua dari belakang, tepat di samping barisanku. Aku bisa melihat punggungmu dengan jelas setiap jam pelajaran berlangsung. Dan-"
Kalimat menggantung yang Karma gunakan pun membuat jantung Manami sedikit terpacu. Merasa penasaran dengan kelanjutan dari ucapannya. Karma masih terdiam selama beberapa saat. Sedikit menggeliat untuk mencari posisi nyaman pada lekuk leher Manami yang terlihat jelas karena rambutnya yang disampirkan ke sisi lainnya.
"-tubuhmu terlihat nyaman untuk di peluk dari belakang."
Manami bisa merasakan wajahnya memanas sempurna. Kalimat memalukan yang Karma lontarkan membuatnya terdiam tak membalas.
"K-Karma-kun."
"Hmm?"
"K-kau... berpikir begitu sejak kita ada di kelas E?"
"Iya."
Lagi. Wajah Manami kembali memerah, ditambah dengan sensasi aneh yang ia rasakan pada perutnya dan jantungnya yang berdegup kencang. Ia juga bisa merasakan deru napas Karma di kulit lehernya -membuatnya memerah hingga telinga.
"B-berarti... kau selalu berpikir begitu selama tujuh tahun?" tanyanya ragu. Sedikit malu dengan pertanyaan yang ia lontarkan sendiri.
"Kalau dihitung dengan waktu di kelas E, kurasa jadi delapan tahun."
Delapan tahun. Apa selama itu Karma memikirkan hal memalukan macam itu? Manami benar-benar tidak menyangka dengan sisi Karma yang ini.
Dulu, Manami selalu berpikir kalau Karma termasuk tipe orang yang serius dalam situasi tertentu, suka melakukan apapun yang diinginkan, dan punya caranya sendiri dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Ia juga tak pernah berpikir kalau Karma akan tertarik dengan hal berbau percintaan -tidak sebelum Rio mengatakan kalau Karma tengah menyukai seseorang. Tentu dirinya terkejut saat Karma mengatakan kalau ia menyukai dirinya. Karena Manami pikir, kalau orang yang disukai Karma mungkin saja Yukiko -karena Yukiko adalah primadona kelas- atau Hinano, atau Akari -karena keduanya memiliki wajah manis dan tubuh mungil menggemaskan di kelas.
"Memikirkan apa?"
Lamunan Manami pecah. Merasakan geli pada telinga kanannya yang merasakan napas Karma. Lagipula, kenapa Karma harus berbicara dengan nada rendah yang terdengar menggoda seperti itu?
"T-tidak. B-bukan apa-apa," kilah Manami dengan senyum ragu. Bagaimanapun, ia tak mungkin mengatakan apa yang dipikirkannya barusan.
"Hee? Kau bohong 'ya? Kau tidak pintar berbohong 'lho, Manami. Terlihat jelas kalau kau sedang berbohong," kata Karma disertai kekehan kecil. Kepalanya yang berada di bahu kanan Manami kembali bergerak, mencari posisi nyaman pada lekuk leher Manami. "Jangan bilang kalau kau memikirkan lelaki lain," lanjutnya dengan nada rendah yang sedikit terdengar mengerikan.
Manami menelan salivanya. Apa Karma cemburu? Tidak mungkin 'kan? Karma yang dikenalnya adalah seseorang yang selalu berpikir secara rasional. Bukan seseorang yang akan berpikir berdasarkan perasaan yang ia rasakan.
"K-Karma-kun cemburu?" tanyanya ragu. Dalam hati merutuk dengan pertanyaan konyol yang ia lontarkan. Karena, tidak mungkin 'kan seorang Akabane Karma cemburu?
"Iya."
Tebakan Manami salah besar. Manik violet miliknya melebar saat mendengar satu kata yang Karma gunakan sebagai jawaban. Perlahan wajahnya kembali memerah, sama sekali tidak menyangka dengan jawaban yang akan Karma berikan.
"Apa aku tak boleh cemburu, hm?"
Manami menggeleng kaku. Wajahnya masih memerah karena jawaban yang Karma berikan.
"Wajar 'kan kalau aku tak suka jika wanitaku memikirkan lelaki lain?"
Lagi, Karma kembali menggunakan kalimat memalukan itu lagi. Rasanya, wajah Manami benar-benar menguap sekarang. Sensasi panas di wajahnya meningkat. Lagipula, apa maksud kata 'wanitaku' yang ia gunakan itu?
"Yah, walau aku memang tidak pernah suka jika kau berinteraksi dengan orang lain 'sih."
"Eh? Maksudmu?"
"Selama di kelas E, kau dekat dengan siapapun yang mengajakmu bicara. Aku tahu kalau kau senang karena bisa mendapatkan teman dan bisa akrab dengan semuanya. Tapi, aku tak suka melihatnya. Aku hanya ingin kau memperhatikanku seorang."
Manami tertegun sesaat. Masih mencerna setiap kata yang dilontarkan Karma. Merasa senang mendengarnya, namun terselip sedikit rasa tidak percaya dalam hati.
"Apa kau menyukaiku sampai seperti itu?"
"Kau saja yang tak menyadarinya. Kurasa, yang lainnya menyadari itu."
Keheningan menyelimuti ruangan tersebut. Manami masih sibuk memutar setiap memori selama ia di kelas E, berusaha mencari kebenaran atas pernyataan Karma. Karma sendiri memilih diam, masih dengan posisinya yang sebelumnya -aroma tubuh Manami membuatnya nyaman dengan posisi mereka saat ini.
"Are? Karma membawa seorang wanita ke rumah?"
Manami maupun Karma sama-sama terkejut dengan suara yang tiba-tiba menyapa indera pendengaran mereka.
Keduanya menoleh ke arah daun pintu yang menjadi penghubung ruang tamu dengan lorong di rumah besar milik keluarga Karma. Keduanya pun mendapati sesosok pria paruh baya dengan rambut hitam -sedikit putih karena termakan usia- yang kini tengah menyeringai pada keduanya, manik mercury milik pria itu menyipit senang -mengingatkan Manami dengan ekspresi yang sering ditunjukkan Karma. Di belakang pria itu, berdiri seorang wanita paruh baya dengan rambut merah tua bergelombang yang mencapai punggung. Ekspresinya terlihat bercampur antara terkejut dan malu. Dan, tiga sosok yang sangat Manami kenal berdiri di belakang wanita berambut merah tua itu.
Karma berdecih pelan melihat kehadiran mereka. Sedikit kesal karena situasi nyamannya terganggu.
Dari sekian banyak orang, kenapa harus mereka yang mengganggu?
KAMU SEDANG MEMBACA
You Will Be Mine - KarManami [Complete]
FanfictionKisah Karma tentang bagaimana perjuangannya untuk mendekati sang Poison Glasses. KarManami (Drabble) Assassination Classroom © Yusei Matsui