41. Cafe

3.3K 334 51
                                    

Words: 1307
.
.
.
Sebuah kafe klasik berdiri di area pertokoan kota Tokyo. Dilengkapi dengan musik ringan yang mengalun lembut. Tempat yang sangat cocok untuk mengadakan pertemuan dengan rekan kerja, atau untuk sekedar bercengkrama dengan teman.

Kali ini, cukup banyak pengunjung yang ada di kafe. Sesuai dengan dugaan wanita dewasa berkepang satu yang kini duduk di pojok kafe -tempat yang cukup tertutup dan jarang jadi perhatian pelanggan lainnya. Mengingat sekarang sudah jam makan siang, hal wajar jika kafe tersebut dipenuhi oleh para pekerja kantoran yang tengah beristirahat.

Ia menghentikan kegiatannya sejenak, meletakkan alat tulis yang sebelumnya ia genggam, lalu mulai memijat pangkal hidungnya perlahan. Pikirannya pun mulai mengenang masa-masa sekolahnya dulu. Terutama, saat ia berada di kelas 3-E yang penuh kenangan.

Dan ingatan tentang pernyataan Si Prankster Kelas pun terlintas. Membuatnya merasakan panas pada wajahnya.

Setelah kejadian itu, dirinya selalu menghindari Si Kepala Merah. Untungnya, mereka berada di SMA yang berbeda. Setiap kali dirinya mendapatkan email ataupun telepon dari pemuda itu, wajahnya selalu memanas dan mulai salah tingkah sendiri. Hingga berakhir dengan panggilan telepon yang terputus, atau email yang tidak ia balas. Semuanya hanya karena rasa malu yang ia rasakan.

Ia kembali menghela napas, lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. Ia harus segera menyelesaikan laporan tersebut dan menyerahkannya pada atasannya.

Ya, sekarang bukan saatnya untuk mengenang masa lalu.

"Boleh aku duduk di sini?"

Sebuah suara terdengar dari sisi mejanya. Manami juga bisa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dari suaranya, ia bisa duga kalau itu lelaki. Hal lumrah jika saat ini lelaki di dekatnya itu meminta izin untuk duduk di salah satu kursi di mejanya. Karena kafe saat ini tengah ramai, dan hanya dirinya yang duduk sendiri di meja yang seharusnya ditempati empat orang.

"Silahkan," jawabnya tanpa mengubah posisinya. Pandangan matanya tetap fokus untuk menyelesaikan laporan tulis tentang hasil pekerjaannya belum lama ini, dengan tangan kanannya yang terus bergerak menggores kertas di hadapan dengan pensil.

Ia bisa perkirakan kalau lelaki yang tadi menyapanya itu tengah duduk di posisi yang bersilangan dengan ia duduk saat ini. Manami duduk di dekat jendela, sedangkan lelaki itu di sisi lain meja. Ketukkan halus terdengar dari posisi lelaki itu duduk. Sepertinya ia bosan karena harus menunggu pesanannya dalam diam.

"Ini pesanan anda."

Seorang pelayan perempuan datang membawakan pesanan lelaki itu. Meletakkannya di hadapan lelaki itu, lalu kembali ke dapur. Manami masih sibuk dengan laporannya, tanpa sekalipun menatap lelaki yang kini tengah menatapnya lurus.

Manami kembali bersyukur karena telah mengikuti berbagai pelatihan yang ada di kelas E dulu. Karena pelatihan yang ada tersebut telah melatih setiap indera yang dimilikinya. Dan karenanya pula, dirinya bisa merasakan tatapan lelaki itu. Membuatnya merasa tak nyaman akibat ditatap terus menerus. Ia pun memutuskan untuk membuka pembicaraan. Dimulai dengan mengangkat kepalanya dan menatap calon lawan bicaranya.

Sayangnya, pergerakannya terhenti saat menyadari sosok yang kini ada di hadapannya. Matanya sedikit melebar dengan pikirannya yang mulai kosong. Setiap kata yang hendak ia ucapkan seakan tertelan kembali saat menyadari siapa yang kini ada di depannya

Kenapa ia tak menyadarinya sejak awal?

"Lama tak jumpa, Okuda-san."

Senyum lembut terukir jelas di wajah tampan lelaki itu. Membuat wajah Manami memerah perlahan dengan jantungnya yang mulai terpacu cepat.

You Will Be Mine - KarManami [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang