Gue menatap HP hitam yang sudah sekarat di atas mejaku. Kacanya pecah. Garskin-nya juga sudah lecet parah. Dan yang pasti hp ini sudah enggak bisa nyala lagi.
Siapa sih cewek nyebelin tadi itu?! Seenak jidat lari enggak tanggung jawab. Untung gue bisa narik kerah bajunya. Enggak peduli itu kelihatan kejam atau enggak, apa yang dia lakukan ke gue ini jauh lebih kejam lagi.
"Bro! Lo udah....WIH!"
Alan yang baru saja datang membelalak melihat benda balok tipis yang tergeletak di atas meja gue.
"Ini hp dari ayah lo kok jadi gini?! Lo habis gulat ama macan?"
"Iya! Macan betina!"
Sumpah! Gue bener-bener kesel bahkan hanya membayangkan wajahnya.
Dia enggak mengerti betapa berartinya hp ini bagi gue. Bukan soal harga atau canggihnya, tapi ini kenang-kenangan terkahir dari almarhum ayah. Di dalamnya juga banyak foto-foto ayah. Gue takut kalau hp ini bener-bener rusak, sebelum gue bisa memindahkan semua foto ayah. Seenggaknya gue masih bisa berharap kan, hp gue ini masih hidup lagi. Walau kemungkinannya 0,00000000...1 % itu tetap aja mungkin.
"Gue enggak akan maafin dia dengan mudah!"
Alan yang dari tadi asyik mengangumi hp gue, menoleh.
"Dia siapa?"
"Macan yang lo bilang itu!"
Alan mengerutkan kening.
"Siapa sih? Cewek ya?"
Gue bergumam pelan. Gue mengambil sapu tangan yang selalu tersedia di dalam tas. Gue membungkus hp hitam itu dengan sapu tangan kotak-kotak putih hitam pula.
"Cantik enggak?! Kenalin ke gue dong!"
Pak!
Gue tanpa belas kasihan memukul kepala Alan dengan buku paket fisika yang tebalnya seperti kamus. Masih sempet ya Alan bahas cantik atau enggak di saat gue menderita kayak gini. Dasar playboy! Asal kalian tahu, Alan itu hobi banget nembak cewek. Setiap kali ada cewek lewat yang cantik atau yang badannya bohay, mulut Alan langsung seenaknya bilang 'pacaran yuk, neng'. Karena itu gue senang dekat-dekat Alan. Soalnya kalau gue lagi sama Alan, pasti cewek-cewek itu bakal berpikir dua kali buat ngejar gue.
"Jelek! Jelek banget!"
"Halah! Lo mah apaan semua cewek lo bilang jelek."
"Emang! Cuma mama gue yang cantik," balas gue kesal.
Toh itu kenyataan. Di mata gue enggak ada tuh cewek yang bener-bener cantik. Karena gue tahu tampang-tampang cewek yang suka lalu-lalang di depan gue itu pakai topeng. Sok cantik lah, sok baik lah, biar gue kagum atau takjub. Hahahahah...sayangnya gue udah tahu alibi mereka bersikap baik. Jadi semua itu nilainya nol besar.
Gue enggak sabar menunggu waktu istirahat pertama. Untuk yang kali ini gue enggak akan tanggung-tanggung. Karena cewek itu udah ngerusak hal paling berharga dalam hidup gue.
***
Atap sekolah memang tempat paling nyaman bagi gue di sekolah. Tempat di mana gue bisa sendirian. Berdiri di tengah deru kipas AC sambil memandang keramaian nan jauh. Enggak ada yang berniat ke sini. Kenapa? Karena tangga ke atap adalah tangga terburuk yang ada di SMA ini. Tangganya dari besi. Sudah berdebu, sebagian bahkan sudah ada yang lepas. Sisanya menimbulkan suara kriet yang membuat orang jantungan kalau naik, takut anak tangganya jatuh. Gue enggak yakin gadis itu datang ke sini. Biasalah, anak cewek mana berani lewat begituan.
BRAK!
Pintu besi terbuka lebar. Terpampang wajah seorang gadis bermata coklat dengan rambut hitam sepunggung ditiup angin. Gue melengos. Ternyata dugaan gue salah.
Gadis itu tiba-tiba berlari mendekat dan berteriak kegirangan.
"Eh, tangganya asyik banget sih! Aku ngerasa kayak main di film-film action atau detektif. Ternyata di sekolah kita ada ya!"
Gue melongo. Dugaan gue bukan salah lagi. Tapi SANGAT SALAH BESAR. Mungkin Alan benar. Jangan-jangan gadis ini jelmaan macan. Yang bener aja tangganya asyik? Jatuh baru tahu rasa dia.
Lupakan soal tangga itu, gue punya urusan yang lebih penting dari itu. Gue memasang tatapan tajam.
"Emang gue peduli?"
Gadis itu langsung diam dan menundukkan kepala.
"Maaf."
Bah! Empat huruf yang terlalu mudah diucapkan.
"Lo pikir maaf aja udah selesai?" tanya gue dingin.
Gue merogoh saku celana dan mengeluarkan hp yang gue bungkus dengan sapu tangan. Gue membukanya dan menunjukkannya pada gadis di depan gue ini.
"Lihat efek tendangan lo ini. Lo mau gue suruh perbaiki sampe bener?" tanya gue lagi.
Gadis itu menelan ludah. Tentu dia harus takut. Dia harus bertanggung jawab atas semua ini.
Gadis itu tersenyum gugup.
"Nah, justru kamu harus berterima kasih ke aku. Kalau aku enggak nendang ponselmu, mungkin kamu enggak tahu kalau ponsel kamu itu sebenarnya enggak tahan banting. Jadi kamu bisa beli yang model baru, yang lebih tahan banting," katanya.
HAH?!
Ada ya cewek begini? Nih cewek dari planet sih? Baru pertama kali gue ketemu sama orang aneh kayak dia.
"Seenaknya aja lo ngomong! Lo pikir cari uang itu gampang, hah?!"
Gadis itu terdiam sebentar.
"Kamu,kan cucunya yang punya sekolah."
Nah, ini yang paling gue enggak senang. Trus emang kenapa kalau gue cucunya yang punya sekolah? Bukan berarti gue bisa seenaknya minta ini itu. Keluarga gue emang kaya, tapi kakek ngajarin buat hidup sederhana. Karena itu gue ke sekolah sehari cuma boleh bawa selembar uang warna ungu. Tabungan aja diawasi ketat sama kakek. Enggak boleh macem-macem.
Tapi karena gadis ini sudah bilang begitu, gue enggak akan nolak. Itu yang ada dibenaknya, maka gue akan bersikap seperti itu.
"Lo mau minta maaf? Gue akan terima asalkan lo cium sepatu mahal gue," kata gue angkuh.
"Hah?!"
Gadis itu terkejut dengan permintaanku. Salah sendiri, dia terlalu menggampangkan urusan ini.
Paling juga gadis ini gue suruh jungkir balik juga mau. Banyak cewek-cewek yang rela gue suruh-suruh kalau gue lagi males. Kadang cari muka mereka menguntungkan bagi gue.
Tapi sekali lagi, dugaan gue salah.
Gadis itu justru menatap gue tajam. Dia berjalan mendekat ke arah gue. Mendongakkan kepala dan semakin menatap tajam.
"Apa pun itu, aku akan turutin. Tapi aku enggak suka kalau kamu merendahkan harga diriku seperti tadi," katanya tajam.
Gue balas menatap matanya dingin. Gadis ini enggak main-main. Dia sungguhan mengatakan itu. Gue menghela nafas.
Gue berjalan menjauh dan berdiri beberapa langkah dari pagar atap.
"Siapa nama lo?"
Gadis itu diam sebentar.
"Nayla."
Gue terdiam. Ini tetap kesalahannya. Jadi gue akan lebih merendahkan dirinya lagi. Gue menoleh, tersenyum licik.
"Lo, jadi milik gue. Lakuin semua yang gue perintahkan. Atau..."
Gue berjalan mendekat. Sekarang, wajah gadis itu berubah pucat.
"....gue rasa gue enggak perlu melanjutkan perkataan. Lo sendiri tadi yang bilang, gue cucunya yang punya sekolah."
Dan kemudian gue pergi. Meninggalkan sosoknya sendirian di atap sekolah.
Gue memang cowok yang jahat.
------
Jangan lupa vote dan komennya ☺☺☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...