Woah!
Kalau begini, aku jadi semangat nganterin Nolan setiap hari ke tempat latihannya. Aku bisa melihat Kak Radit yang tampan dan keren dengan jelas dari dekat. Meskipun dia enggak menyadari kehadiranku, aku pasti tetap senang bisa melihatnya.
Uh! Tapi aku lupa sosok Nolan itu kayak gimana. Dia marah hanya karena aku diam melihat Kak Radit latihan. Ih! Emang dia enggak pernah jatuh cinta? Norak banget!
Mau enggak mau aku terpaksa meninggalkan tempatku berdiri, dimana aku bisa melihat Kak Radit memainkan gitar, dan mengikuti Nolan. Nolan membuka pintu coklat bertuliskan 'Nolan's Room' yang sukses membuatku menganga.
Ruangan itu sangat besar untuk dihuni hanya satu orang. Di tengah ruangan itu terdapat piano grand bewarna hitam yang masih mengkilap. Di bagian ujung ruangan, ada dua buah jendela panjang. Di depannya ada tiga sofa dan sebuah meja bundar kecil. Di bagian kiri ada pintu lain, kutebak itu kamar mandi karena pintunya terbuka sedikit, samar-samar aku bisa lihat dalamnya. Sedangkan di bagian kanan ruangan itu ada meja dapur yang diatasnya terdapat coffe machine dan microwave. Sebuah rak piring dengan piring-piring dan gelas-gelas berjejer rapi. Tak lupa sebuah kulkas besar juga ada di sana.
"Ya Ampun! Lebih mewah dari rumahku!"
Dirumahku saja enggak ada coffee machine. Kulkas pun enggak sebesar dan sebagus yang ada di sini. Apa mungkin di rumah cuma di huni tiga orang ya, makanya papa enggak mau beli kulkas besar-besar.
"Tutup pintunya!" perintah Nolan. Seperti biasa dengan nada super dinginnya.
Aku menutup pintu coklat itu. Aku melihat Nolan meletakkan tas sekolah dan dasinya di sembarang tempat.
"Eh! Jadi cowok rapi dikit napa sih?" keluhku kesal. Aku paling enggak suka kalau lihat barang-barang berantakan. Nolan menatapku datar.
"Itu tugas lo buat ngerapiin."
Aku mendelik dan mengerang. Astaga! Cowok ini! Huh! Dengan kesabaran ekstra aku memungut dasi dan tasnya. Aku meletakkannya dengan kasar di atas salah satu sofa.
"Menyebalkan!" Aku mengumpat. Tapi tiba-tiba aku mendengar alunan musik yang membuat perasaan kesalku mencair seketika. Aku menoleh.
Nolan duduk di depan piano, menekan tuts-tutsnya dengan jari lentiknya. Merangkainya menjadi sebuah nada menenangkan. Aku terenyuh. Lagu ini sangat menenangkan. Berbanding terbalik dengan sikap Nolan yang begitu dingin. Tapi, aku merasa ada sesuatu di dalam lagu ini. Sebuah kesedihan. Kepiluan. Lagu itu hanya mengalun beberapa menit, karena berikutnya nadanya menjadi kacau. Sepertinya Nolan lupa lanjutan notnya. Nolan mendesah. Aku melirik tiga buah buku yang masih ada dalam genggamanku. Buru-buru aku memberikannya.
"Waw, kamu ternyata pianis yang hebat ya," pujiku kagum sambil menyerahkan tiga tumpuk buku padanya.
Nolan hanya menatapku sebentar dan mengambil tiga buku dari tanganku dengan kasar.
Aku diam. Duh! Dingin banget sih!
"Kamu latihan sendiri?" tanyaku sambil melihat-lihat ruangan ini.
"Enggaklah, Bodoh! Gue punya guru!"
Aku meliriknya kesal. Kasar sekali kalau menjawab. Mungkin lebih baik dia bersikap dingin saja dari pada berkata yang menyakitkan seperti itu.
Pandanganku berhenti di sebuah pigura di atas meja dapur, yang baru kusadari ada disitu. Aku mendekat dan menatap foto di dalam pigura itu lamat-lamat. Foto itu menunjukkan seorang anak laki-laki yang duduk di depan piano dengan seorang lelaki dewasa di sampingnya. Otakku langsung memberi sinyal bahwa anak laki-laki itu adalah Nolan. Sedangkan yang disebelahnya adalah ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...