[33] Nolan

7.3K 701 14
                                    

Gue membanting tas gue ke tembok. Dasi yang mengikat di leher gue langsung gue lepas dengan kasar dan gue buang ke sembarang tempat. Gue membanting tubuh ke kasur.

Mau ke rumah papanya? Cih! Gue baru tahu kalau rumah papanya itu restoran. Hah, bahkan gue enggak yakin restoran itu rumah papanya. Cuma karena gue enggak mau berpikir negative aja, jadi gue anggap restoran itu rumah papanya. Tapi setelah itu, mereka berdua jalan-jalan di taman kota. Tangan gue udah gatal waktu gue lihat Nayla sama cowok jelek itu ngobrol-ngobrol di taman. Dan kemudian cowok jelek itu mengantarkannya pulang ke rumah.

HIH! Coba kalau gue enggak bisa nahan emosi, cowok itu babak belur sekarang. Jadi lebih jelek lagi. Apa sih yang Nayla lihat dari cowok itu. Ganteng juga gantengan gue. Keren juga kerenan gue.

Orangnya lumayan cerewet sih, tapi waktu aku kenal dia lebih jauh ternyata dia baik banget.

"SHIT!"

Memang jadi orang baik itu harus kayak gimana sih? Selalu tersenyum? Berkata lembut? Kalau iya itu jelas sama sekali bukan gue. Dan kalau memang itu alasannya, gue mengakui kalau gue kalah jauh dari cowok jelek itu.

Hp gue berbunyi. Telepon dari Alan.

"Pa?!"

"Wih, napa lo?! Kesel banget kelihatannya."

Gue meringis gemas. Nih anak bikin emosi gue jadi makin berapi-api aja.

"Ye!"

Alan terkekeh. "Ini gara-gara Nayla sama cowok itu ya? Wah lo harus masuk keajabain dunia yang dilestarikan! Ketika Nolan cemburu."

"Mati aja lo sana!"

Gue memutuskan sambungan. Sialan si Alan, dia sengaja buat gue jadi makin menjadi-jadi. Tapi gue teringat omongannya. Cemburu? Gue cemburu? Gue menghela nafas panjang, berusaha meredakan emosi.

Jadi gini, yang namanya cemburu. Gue baru tahu.

***

Keesokan paginya, seperti biasa Nayla masih menunggu di gerbang. Awalnya gue merasa senang, tapi mengingat kejadian kemaren, emosi gue kembali memuncak. Kali ini tanpa mengatakan apa pun, tanpa meliriknya, tanpa melihatnya, gue langsung berjalan melewatinya. Seolah-olah dia adalah hantu bagi gue, enggak kelihatan di mata gue.

"NOLAN!"

Ternyata jalan gue terlalu lambat ya, cewek itu dengan mudahnya menahan tangan gue. Gue menoleh, menatapnya jengkel.

"Apa?!"

Nayla kaget. "Kamu kenapa sih? Dari kemarin kok marah-marah terus?"

Kenapa?! Dia tanya kenapa?! Apa dia enggak sadar kalau gue ini enggak suka lihat dia deket-deket sama cowok enggak jelas itu?!

"Oh, ini karena masalah kemaren? Aku pulang sama Zidan. Ya ampun, Nolan, kemaren itu papaku sudah nunggu..."

"Papa lo kerja direstoran?" tanya gue langsung.

Nayla tersentak. "Kamu ngikutikin aku?!"

Gue tersenyum mengejek. "Pembohong."

Gue langsung berjalan meninggalkannya. Tapi, baru beberapa melangkah Nayla menghentikan langkahku lagi.

"Nolan, Nolan! Aku...aku..."

Gue memutar bola mata. "Kenapa lagi? Gue emang ngikutin lo kemaren, karena gue penasaran sama cowok brengsek yang sama lo itu. Ternyata lo mampir ke restoran, jalan-jalan di taman kota, dan cowok brengsek itu nganterin lo pulang, iya, kan?"

Nayla mendelik menatap gue. "Apa?! Cowok brengsek?! Eh, sadar ya yang brengsek itu siapa? Kamu! Bukan dia!"

Gue tersentak. Baru kali ini gue melihat Nayla marah yang benar-benar kelihatannya sangat marah besar. Dan dia bilang gue brengsek?

Gue sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertengkar. Gue dan Nayla berada di tengah lapangan upacara. Sekarang kami berdua menjadi tontonan anak-anak yang lewat. Bisa-bisa ada yang laporin ke BK nih.

"Terserah lo."

Gue langsung pergi. Dan kali ini Nayla enggak menahan gue. Di kelas, Alan langsung menyerbu gue.

"Ya ampun gue enggak tahu kalau lo sama Nayla bertengkar sampe sehebat itu!"

Gue menatapnya datar. Alan langsung diam. Dia segera menyingkir dari hadapan gue. Gue membanting tas gue ke meja. Gue membanting tubuh di atas kursi, sampai kursi yang gue diduduki membanting meja anak di belakang gue.

Gue mengela nafas panjang.

Gue, cowok brengsek, huh?

____

Jangan lupa vote dan komennya :)

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang