[7] Nolan

10.7K 920 3
                                    

Dia itu aneh.

Beberapa menit yang lalu dia menghina gue. Sekarang dia dengan PD-nya menyemangati gue. Gue enggak ngerti dia itu sebenarnya kayak gimana.

Tapi kalo dilihat hal lainnya, kata-kata dia ada benarnya juga. Seharusnya gue enggak boleh ragu. Ini hidup gue, buat apa mengkhawatirkan pandangan orang lain? Selama gue yakin gue ada di jalan yang benar, gue enggak perlu khawatir.

Jadi, apa gue harus berterima kasih padanya?

Gue rasa enggak, itu memang tugas wajib seorang pesuruh seperti dia, membuat tuannya merasa jadi lebih baik.

Gue kembali menatap tuts-tuts hitam putih yang ada di hadapan gue. Gue ingat pertama kalinya gue menekan tuts itu. Saat itu gue lima tahun. Gue mampir ke toko musik, karena ayah mau membeli gitar untuk sahabatnya. Hari itu, mata gue terpaku pada alat musik berkaki dan bertubuh besar. Awalnya gue enggak mengerti apa-apa. Tutsnya ditutupi oleh penutup panjang. Kemudian tanpa sengaja, seseorang membukanya.  Gue langsung tertarik melihat deretan tuts putih hitam yang berjajar. Waktu gue menekan tuts untuk pertama kalinya, seakan ada sesuatu kebahagiaan di dalam diri gue. Sejak hari itu gue mulai menetapkan hati gue untuk menjadi seorang pianis.

Yah, itu sudah lama berlalu. Tapi tetap saja gue berada di tempat ini. Ruangan yang semakin hari membuat gue sesak. Karena gue sama sekali enggak pernah berani menekan tuts piano lain selain tuts piano di ruangan ini.

Pintu terbuka. Muncul seorang lelaki berkaca mata dengan kemeja putih dan celana kain hitam masuk.

Mr. San, begitu gue memanggil guru yang sudah dua tahun mengajari gue. Beliau sudah cukup tua, beberapa rambutnya sudah berubah jadi putih. Dia adalah satu-staunya orang selain keluargaku yang gue anggap sebagai keluarga sendiri. Gue menghormatinya sama seperti menghormati ayah.

Mr. San tersenyum menatap gue.

"Maaf, tadi aku ada urusan sebentar."

Gue membalas senyumannya.

"Enggak apa. Aku juga baru sampai," kata gue berbohong.

Pandangan Mr. San beralih ke depan jendela tempat dimana cewek itu duduk.Cewek itu langsung berdiri dan membungkuk. Dia tersenyum ramah.

"Selama sore. Nama saya Nayla, temannya Nolan," katanya memperkenalkan diri.

Gue mendelik. Teman???!!  Mana mau gue temenan sama dia?! Ngaco!

Tapi gue cuma diem dan menatap datar cewek itu. Mr. San tertawa renyah.

"Sore juga. Panggil saya Mr. San, saya guru musik Nolan. Jangan canggung-canggung di sini. Teman Nolan, teman saya juga," kata Mr. San ramah.

Lelaki itu berjalan menuju mesin pembuat kopi.

"Atau jangan malu-malu mengakui kalian mungkin ada hubungan yang lebih dari itu..."

Gue berkerut.

"Hah?!!"

Mr. San menoleh, menatap gue dan cewek itu bergantian. 

"Kalian seperti pasangan yang serasi."


Gue mengangkat alis.

HAH?!

PASANGAN YANG SERASI?!

Gue melirik cewek itu yang terlihat biasa saja. Dia menatapku sejenak sambil mengedikkan bahu. Kemudian dia kembali duduk dan sibuk dengan lembarannya.

Apa-apaan dia?!

Dia sama sekali enggak masalah dengan hal itu?!

Menyebalkan! Gue enggak pernah berharap membuat cewek lain jatuh cinta sama gue. Dan gue juga enggak berminat buat jatuh cinta ke cewek lain. Apalagi cewek dihadapan gue ini!

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang