[19] Nolan

9.2K 784 3
                                    

Gue menatap tangan mungil Nayla yang menarik gue ke UKS. Entah kenapa gue merasakan ada sesuatu yang aneh di dada gue. Jantung gue berdetak kencang. Huh! Gue kenapa lagi sih?

BRAK!

Nayla berhenti mendadak. Gue tanpa sengaja menaraknya.

"Duh! Lo ini kalau berhenti jangan dadak dong!" seru gue kesal.

Nayla menoleh. "Tunggu, tunggu, kamu tadi duduk di sebelah mejaku, berarti..."

Dia mendelik.

"KAMU DENGER SEMUA UCAPANKU?!"

Gue tersenyum miring. "Yaiylah! Gue enggak tuli!"

Wajah Nayla bersemu merah. Gue enggak bohong, gue dengar ucapan Nayla semuanya. Dan sejujurnya gue menunggu jawaban ketika temannya bertanya, "Kamu suka Nolan, kan?" Kemudian saat Nayla jawab "Enggak" dengan ketus itu membuat gue kecewa, tapi gue langsung senang waktu temannya bilang lagi kalau Nayla bercerita kayak orang yang lagi jatuh cinta dan Nayla cuma diam. Aduh! Gue ini kenapa sih? Padahal gue ini juga ngapain bela-belain ke kantin? Argh! Kayaknya gue habis salah makan deh.

"Kamu denger apa?" tanya Nayla dengan suara pelan dan takut-takut.

Gue menatapnya lamat-lamat. Gue menghela nafas panjang.

"Gue enggak denger apa-apa."

"Katanya tadi kamu denger..."

"Lo tahu enggak sih kalau gue ini hobinya bikin lo tersiksa? Tapi lama-lama gue juga males sendiri kalau lo tanyain terus," jawab gue ketus.

"Jadi kamu enggak dengar apa-apa?" tanya Nayla lagi.

Aduh nih anak! Dosa bohong gue makin numpuk nih.

"Enggak, Nayla!!!"

Nayla menghela nafas lega. Gue meliriknya. Lihat! Gue bahkan rela bohong supaya dia enggak khawatir. Hhhh, sebenarnya gue ini kenapa sih?!!

***

"Lo itu suka!"

Gue menatap Alan yang sedang tiduran di sofa. Gue emang sengaja minta dia datang ke sini, karena gue anggap dia satu-satunya orang yang bisa gue ceritain keanehan otak gue ini.

"Emang..."

"Udah deh, Lan! Lo itu suka ya suka! Jangan banyak nawar deh!" seru Alan. Dia bangun dari tidurnya dan duduk menghadap gue.

"Lan, gue tahu ya kalau lo itu benci sama cewek, tapi lo masih normal, kan? Lo juga bisa jatuh cinta sama seorang cewek. Jadi enggak ada salahnya lo suka sama Nayla. Kecuali kalau lo emang enggak suka cewek sih. Lo lebih milih sama cowok."

Alan mengedipkan matanya. Gue menatapnya ngeri. "Lo ngapain sih?! Jijik gue lihatnya!"

Alan tertawa. "Gak, gak, gue bercanda. Habisnya gue gemes banget sama lo. Lo itu kayaknya selalu menepis perasaan suka lo ke Nayla, padahal perasaan lo itu sebenarnya udah jelas!"

Gue menghela nafas. "Tapi kok gue bisa suka sama cewek itu sih?"

Alan duduk di samping gue dan merangkul gue. "Cinta itu enggak butuh alasan. Perasaan itu tumbuh sendiri seiring berjalannya waktu. Kalau lo cinta sama seseorang butuh alasan, nanti waktu orang itu udah enggak sesuai dengan alasan lo, lo udah jadi enggak cinta lagi. Dia orang baik? Di luar sana yang baik juga baik. Dia orang yang pinter? Dia luar sana ada yang lebih pintar daripada Nayla. Dia cantik? Beuh, Nayla sih masih kalah di banding Thalia yang udah pernah nembak lo,"

"Mungkin ada beberapa orang yang punya alasan atau mencari alasan waktu dia suka seseorang, tapi suatu saat dia akan sadar sendiri bahwa ada sesuatu istimewa yang membuat dia jatuh cinta kepada seseorang.

Alan berhenti sejenak, kemudian dia berbicara lagi.

"Lo itu selalu enggak mau dia nangis, lo selalu mau ngelindungin dia, lo selalu kepikiran dia. Dan itu semua yang lo rasain ke Nayla, kan?"

Alan menatap gue lamat-lamat. Gue menghela nafas panjang.

"Jadi menurut lo, gue suka sama dia?"

Alan tersenyum dan menepuk bahu gue. "Jangan tanya gue, tanya ke perasaan lo sendiri. Lagian jawaban di mulut lo itu enggak penting. Yang jelas segala tindakan lo itu udah mencerminkan kalau lo suka sama Nayla."

Gue heran kenapa Alan, yang dikenal enggak pernah serius soal cewek ternyata bisa jadi pakar cinta yang bagus juga.

"Lo kok bisa jadi bijak gini sih?" tanya gue heran.

Alan tertawa. "Emang kenapa? Salah?"

"Ya heran aja. Kalau lo punya pandangan kayak gitu, kenapa lo enggak pernah serius sama satu cewek?"

Alan menghela nafas. Dia kembali ke sofa dan menghempaskan diri di sana.

"Soalnya gue belum nemu yang bisa diseriusin sih," jawabnya santai.

Gue menyipitkan mata. "Soalnya lo enggak serius, makanya enggak ada yang mau serius juga sama lo."

Alan bergumam sebentar. "Paling juga mereka deketin gue karena lo, Lan. Gue udah pernah kejadian kayak gitu."

Gue berkerut menatap Alan. Maksudnya? Deketin gue?

"Hah?!"

"Ya cewek-cewek itu mereka enggak ada yang serius juga kalau sama gue. Waktu SMP, gua pernah ngalamin sendiri. Mereka udah tahu kalau gue ini sahabat lo, otomatis kalau mereka pacaran sama gue, mereka bisa ketemu lo tiap hari. Makanya gue enggak pernah serius sama cewek,"

Gue kaget. Gue memang udah sahabatan sama Alan sejak SMP, dan gue juga baru sadar kalau sikapnya itu baru ada sejak SMA. Gue enggak mengerti kalau ternyata alasan Alan bersikap kayak gitu gara-gara gue.

"Nah makanya, Lan, lo cepet-cepet punya cewek, biar gue bisa nemuin cewek buat gue juga."

Gue cuma diam. Sejujurnya gue juga masih takut buat meyakini kalau gue suka atau enggak sama Nayla. Gue ini enggak pernah tahu apa-apa dan enggak pernah berpengalaman soal cinta sama sekali, gue jadi bingung sendiri. Tapi kalau mengingat segala cerita Nayla ke temannya waktu itu di kantin, gue berharap dia mengatakan 'Iya aku suka Nolan'.

Huft! Mungkin Alan benar, gue sedang jatuh cinta. 

____

Jangan lupa vote komennya :)

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang