"Juara ke dua di raih oleh...."
"....Nolan Adiputra!"
Tepuk tangan riuh menggema di seluruh penjuru ruangan. Mr. San tergugah. Mama langsung memeluk gue. Gue hanya tersenyum tipis. Dengan langkah malas, gue menyeret langkah menuju panggung. Sesekali gue melirik kursi kosong di samping mama yang tadi jadi tempat duduk Nayla. Sialan banget sih cewek itu! Sudah maksa minta nemenin gue ke sini, sekarang pulang tiba-tiba. Enggak pamit, enggak ngomong, cuma titip pesan ke mama. Lagian sejak kapan anak itu punya urusan? Gue selalu lihat dia orang yang hidup tanpa beban. Dan sekarang tiba-tiba dia pulang, bilang ada urusan mendadak. Hih! Awas aja tuh anak besok Senin gue cincang habis-habisan.
Ini kabar yang bahagia, meskipun gue hanya dapat posisi juara dua. Tapi gue merasa ada yang hal yang mengganjal. Andai aja Nayla masih ada di sini. Mendengarkan nama gue disebut, mungkin dia udah berteriak kegirangan di telinga gue. Sekalipun gue yakin saat itu gue bakal bentak dia habis-habisan, gue tersenyum geli membayangkannya. Tapi itu andai....
Gue mendengus kesal. Sekali lagi gue menatap kursi kosong di samping mama. Ada perasaan enggak enak yang tiba-tiba datang tentang Nayla. Entah itu apa, gue juga enggak tahu.
"Nolan kenapa? Kayaknya dari tadi gelisah terus? Juara dua itu udah lumayan loh, enggak harus juara satu," komentar mama tiba-tiba saat berhenti di lampu merah.
Gue diam. Ketahuan juga deh. Memang dari tadi gue seperti orang kebingungan. Di kasih selamat hanya tersenyum, di ajak bercanda hanya diam, di ajak ngomong jadi enggak nyambung. Seolah gue jadi enggak senang dapat juara ini. Padahal sejujurnya gue seneng. Seneng banget. Karena ternyata gue memang punya bakat. Bukan kayak band abal-abal Radit yang cuma bisa tampil di ruangan kaca di les-lesan. Tapi yang membuat gue sampai berada di posisi ini, selain mama dan Mr. San juga ada si cewek aneh itu. Dan dia enggak ada buat nyelamatin gue.
"Mikirin Nayla, ya?" tebak Mr. San yang duduk di belakang.
Gue enggak menjawab. Gue segera menekan gas saat melihat lampu hijau telah menyala.
"Oh, Nayla. Memangnya hp kamu belum balik dari service? Kamu bisa hubungi dia, kan?"
Gue menghela nafas panjang. Gue memang bilang ke mama kalau hp gue lagi di service, bukan yang kejadian sebenarnya. Lagian sebenarnya gue emang bawa ke service, cuma paknya sudah angkat tangan, bahkan sebelum gue tepat meletakkan hp gue di atas etalase.
"Hp Nolan rusak, Ma. Udah enggak bisa dipakai."
"Loh?! Itu kan hp kesayangan kamu dari papa, kok bisa rusak?"
"Nolan enggak sengaja jatuhin di tangga terus ke tendang orang," kata gue setengah berbohong.
"Oh, terus gimana? Kamu enggak apa?" tanya mama khawatir.
Mama sangat tahu gimana gue sayang sama hp dari ayah itu. Tapi lama-lama gue sadar sesuatu.
"Itu cuma barang, Ma. Suatu saat juga pasti rusak. Kenangan dari ayah selalu ada, bukan di hp itu, tapi selalu ada dalam nada yang Nolan mainkan. Ayah yang selalu mendukung Nolan, dan sekarang akhirnya Nolan bisa menyatakan apa yang ayah inginkan," Kata-kata itu mengalir sendiri dari mulut gue, tanpa gue sadar. Mama tersenyum.
"Mama senang, kamu bertemu cewek itu."
Gue tersenyum tipis.
Nolan juga senang kok, Ma.
***
"Nolan, selamat ya! Ya Ampun kamu keren banget deh! Aku lihat kamu main dari youtube!"
"Nolan, selamat ya! Juara dua itu keren!"
"Nolaan..."
"Nolaaan..."
Astaga! Telinga gue gatal dengan suara kecentilan cewek-cewek yang memberikan selamat sambil membawa barang-barang terbungkus rapi yang gue juga enggak tahu isinya. Ini adalah Senin terburuk sepanjang gue sekolah di sini.
Apalagi waktu gue sadar Nayla enggak ada, gue semakin kesal. Dengan kasar gue menepis tangan-tangan yang menghalangi jalan dan segera menuju ke kelas.
"Woo! Pianis kita, Bung! Selamat buat lo!" seru Alan saat gue baru masuk.
"Y!" bales gue kesal.
Alan kaget.
"Lo enggak suka menang?"
"G!"
Alan mendelik. Dia menatap gue bingung. Gue mendengus kesal.
"Lo tahu enggak sih, kemarin gue ditinggal cewek aneh itu tiba-tiba."
Alan semakin bingung. "Cewek aneh? Siapa?"
Gue menyipitkan mata.
Sedetik kemudian dia ber-oh panjang.
"Emang lo gak ketemu barusan?""Gak! Dia enggak ada di bawah!"
Mood gue udah hancur hari ini. Apalagi saat tiba-tiba Thalia datang. Duh! Nih kenapa ondel-ondel muncul juga sih!
"Nol.."
"Gue kebelet!"
Gue langsung pergi. Gue bener-bener enggak mau dengerin selamat dari orang lain sebelum Nayla sendiri bilang. Tiba-tiba sepintas gue melihat seseorang yang gue kenal sebagai teman dekat Nayla lewat. Tapi sebelum gue berhasil memanggilnya, bel sekolah berbunyi. Dia dengan cepat masuk ke dalam kelas.
Huh!
***
Tepat ketika bel pulang sekolah berbunyi, gue langsung keluar menuju kelas Nayla. Gue enggak mau kecolongan temennya Nayla lagi kali ini. Tadi istirahat temen Nayla itu enggak ada, dan Nayla ternyata enggak masuk. Gue jadi heran, firasat gue enggak enak.
"Eh!"
Gue mencegat teman Nayla beberapa langkah setelah dia keluar dari pintu kelas. Dia menatap gue heran.
"Lo sahabatnya Nayla, kan?"
Dia mengangguk bingung.
"Nama lo siapa sih? Lupa gue,"
Dia memutar bola mata. "Icha. Kenapa? Nayla enggak masuk hari ini."
"Iya gue tahu. Makanya gue mau tanya kenapa,"
Dia menatap gue lama. "Lo enggak tahu kenapa?"
Gue mengangkat alis. Udah jelas gue tanya kenapa kok dia malah balik tanya.
Icha mendelik. "Lo serius enggak tahu Nayla kenapa?!"
Ternyata sahabatnya sama anehnya juga. Enggak heran sih gue. cha menghela nafas.
"Nayla hari ini harus ke pengadilan agama. Orangtuanya cerai, dia harus memilih hak asuhnya."
Gue mendelik. Apa?! Gue enggak salah denger, kan?!
"Cerai?!"
Icha mendengus kesal.
"Enggak heran sih kalau lo enggak tahu, lo...."
Gue langsung pergi. Enggak peduli, gue enggak peduli sahabatnya Nayla ngomong apa. Gue kira selama ini hubungan orangtuanya sudah baik lagi. Nayla selalu kelihatan oke-oke aja. Gue berhenti sejenak. Sekarang gue tahu alasan kenapa dia selalu maksa supaya ikut latihan sama gue. Sampai dia ketiduran, gue sadar sekarang kenapa.
Gue kembali melangkah. Bukan, gue berlari sekarang. Masuk ke dalam mobil dan segera menyalakan mesin.
Satu tujuan gue, dan itu sudah pasti. Rumah Nayla.
***
Gue menekan bel rumah Nayla. Memang ada aura yang berbeda. Suram. Sedih.
Enggak perlu menunggu lama, muncul seorang gadis sedang mengucek matanya sambil terisak.
"Icha..."
Dia belum lihat siapa yang datang.
Begitu dia membuka matanya, ekspresinya langsung berubah kaget. Gue hanya memandangnya datar.
"NOLAN!"
-----
Jangan lupa vote dan komennya. 😊😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...