[15] Nolan

9.4K 787 5
                                    

Gue membuka mata. Kepala gue terasa pusing dan berat. Perut gue sakit. Seharusnya tadi gue minum obat maag dulu buat mengurangi sakitnya ini. Tapi apa daya, gue sudah enggak kuat lagi. Sekarang, rasanya semakin parah.

Gue menatap dua orang yang sedang berbincang-bincang. Alan dan seorang cewek yang sedang berdiri membelakangi gue. Gue menyipitikan mata. Itu..Nayla, kan?

"Tapi kalo dibanding sama kamu, aku juga lebih milih sama Nolan sih."

"Hah?!"

Kok tiba-tiba nama gue disebut?

Nayla menoleh. Wajahnya tegang.

"Lo ngomong apa barusan?!" tanya gue bingung.

Kalo gue enggak salah denger, dia ngomong mending milih gue, kan?

Wajah Nayla langsung memerah. Gue mengerutkan kening. Ada apa sih ini? Gue bangun-bangun kok jadi begini?

"Ah! Aku harus kembali ke kelas!"

Nayla menoleh dan menatap gue, "Cepat sembuh ya." Kemudian dia pergi.

Gue mengangkat alis. Alan tertawa keras setelah Nayla pergi dari UKS. Gue menatapnya heran.

"Lo ngapain sih?"

Alan melemparkan sesuatu. Gue menangkapnya. Obat maag. Alan menyerahkan segelas air putih.

"Lo minum dulu aja deh. Entar kambuh lagi."

Gue menurut. Setelah gue minum obat maag yang diberikan Alan, gue bersandar di tembok dengan beralaskan bantal.

"Lo tahu enggak, kalau yang tadi bawa lo ke sini itu Nayla loh," kata Alan.

"Enggak, gue enggak tahu."

"Ya makanya gue kasih tahu, Nyet! Lo itu enggak kagum apa? Si Nayla tuh sampe payah bawa tubuh lo yang gede itu ke UKS. Untung gue muncul," kata Alan.

Gue diem. Gue inget suara terkahir sebelum gue pingsan, seseorang memanggil nama gue. Itu suara Nayla. Ya, nanti gue akan berterima kasih padanya.

"Trus Nayla rela bolos pelajaran cuma mau nungguin lo. Padahal gue tahu, Nayla itu anak rajin," tambah Alan.

Kemudian dia tersenyum jahil. "Nah, seperti yang lo denger tadi, Nayla juga lebih milih lo dibanding gue," kata Alan setengah berbisik. Gue menjitaknya.

"Yaiyalah! Lo tanya cewek satu sekolah juga mereka jawabnya lebih milih gue dibanding lo!" balas gue kesal.

Alan mengusap kepalanya. "Ya tapi kalau cewek tipe Nayla gitu, kenapa dia enggak bilang enggak milih dua-duanya aja? Dia kan bukan tipe cewek yang hobi deketin cowok."

Gue mengangkat bahu. Itu bukan masalah yang perlu dipikirkan.

"Oiya katanya dia bulan depan mau nonton konser ama Radit."

Gue mendelik. "Hah? Radit? Radit kak kelas itu?"

Alan mengangguk. "Iye! Radit yang lo bilang playboy-nya lebih parah daripada gue."

"Seriusan?! Lo enggak boong?!"

Alan menatap gue kesal. "Yaelah, gue denger sendiri dari Nayla tadi. Lo nih, seharusnya gue rekam tadi."

Gue kembali diam. Ini enggak boleh terjadi. Kalau Nayla sampe datang ke tempat itu sama Radit, mungkin dia bisa nangis sehari semalam. Walau pun gue tahu Nayla bukan cewek cengeng, tapi gue yakin dia pasti nangis. Karena Nayla sudah terlanjut jatuh cinta sama buaya darat itu. Apa pun yang berhubungan dengan cinta, itu menyakitkan.

Lagi pula, gue juga enggak mau dia nangis.

Jadi... Gue harus apa?!

***

Sepulang sekolah, gue mampir dulu ke kelas Nayla. Keadaan gue jauh lebih baik sekarang. "Nayla mana?" tanya gue pada salah seorang teman sekelasnya.

"Tadi aku lihat dia udah pulang."

Gue mengela nafas. "Yaudah. Makasih."

Dengan pasrah, gue berjalan ke parkiran. Tepat waktu gue sampai di parkiran, gue melihat Nayla sedang bersama Radit. Mereka sedang berbicara. Kelihatannya akrab. Radit menyerahkan sesuatu pada Nayla. Kelihatannya itu tiker konsernya.

Tubuh gue langsung terasa panas. Tanpa diperintahkan dua kali, kaki gue sudah berjalan ke sana. Tangan gue mengambil tiket yang baru saja akan diambil Nayla dan meremasnya.

Nayla mendelik. "NOLAAAN!"

Radit menatap gue bengong.

Kemudian tanpa mengatakan apa pun, gue langsung pergi. Dengan cepat, gue bejalan ke taman belakang. Kenapa ke taman belakang? Gue tahu Nayla pasti enggak akan rela kalau tiket konsernya gue rusakin. Jadi pasti setelah ini dia akan mengejar gue dan meminta tiketnya dibalikin. Daripada membuat keributan di parkiran, mendingan gue lari dulu ke taman belakang yang sepi. Ketika sampai di taman belakang, Nayla menarik seragam gue. Dia memaksa gue berhenti. Gue menoleh.

"Apa?" tanya gue datar.

Wajah Nayla terlihat marah besar. Dia menatap gue tajam.

"Kembaliin tiketnya!" katanya tajam.

Gue diam sejenak. Kemudian menghela nafas.

"Gue lupa kalau lo seharusnya masih harus kerja sama gue."

"Hah?!"

"Gara-gara lo ngerusakin hp gue, sekarang gue masih belum bisa punya hp. Karena itu lo masih harus kerja sama gue."

"Apa?! Enggak mau!" gertaknya kasar.

Gue mendelik.

Nayla diam sejenak. "Oke! Tapi aku akan lakukan itu kalau kamu ngembaliin tiketnya."

"Enggak," balas gue santai.

"Kembaliin!" teriak Nayla.

"Enggak."

Tanpa gue duga, Nayla menginjak kaki gue dengan keras.

"AW!"

Gue enggak tahu kalau Nayla marah, kekutannya bisa jadi sepuluh kali lipat lebih kuat daripada kejatuhan barbel 5 kg. Seriusan, gue enggak boong! Sakit banget! Refleks, tiket yang ada di tangan gue terjatuh. Nayla langsung mengambilnya.

Nayla tersenyum puas. "Setelah dari konser ini, aku akan melakukan semua yang kamu perintahkan."

Gue menatapnya datar. Sebahagia itukah dia?

"Eh, itu pun kalau aku belum jadian ya," katanya sambil tertawa kecil.

Gue mengerutkan kening. Jadian? Astaga! Dia optimis sekali soal Radit yang mengajaknya konser. Gue yakin enggak cuma Nayla yang diajak konser. Gue menghela nafas panjang. Mungkin dia emang harus melihat dulu Radit itu cowok kayak gimana. Gue juga enggak menyalahkan Nayla, emang si Radit itu pinter banget menyembunyikan kebusukannya.

"Oke! Mungkin emang lo harus lihat sendiri Radit itu cowok kayak gimana,"

Nayla menatap gue sejenak. "Hah?"

"Gue cuma mau bantuin lo, karena lo udah bantuin gue ke UKS tadi. Tapi karena lonya enggak mau dibantuin, yaudah."

Nayla tersenyum miring. "Bantuin? Kalau kamu emang mau bantuin, mendingan kamu enggak usah gangguin aku sama Kak Radit."

"Oke. Tapi tanggung sendiri akibatnya."

Gue langsung berjalan meninggalkan Nayla.

Sialan! Kayaknya gue harus mengeluarkan waktu dan uang buat pergi ke konser itu.

_____

Jangan lupa vote dan komennya :)

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang