[9] Nolan

10K 933 8
                                    

Cewek memang penuh drama.

Thalia gila kalau dia pikir gue bakal senang hati melihatnya melakukan hal buruk itu pada buku Nayla. Setia? Setia dari mana? Gue bahkan enggak paham kenapa mereka membuat kumpulan pecinta sosok gue.

Gue diem saja melihat pertengkaran cewek-cewek dihadapan gue ini. Dari dulu gue selalu berharap jauh-jauh dari urusan para cewek. Bagi gue, mereka itu susah untuk dimengerti. Tapi mereka minta dimengerti. Soal matematika yang susah dan enggak minta dimengertiin aja gue males, apalagi masalah cewek. Tapi yang gue heran adalah, cewek itu yang namanya Nayla, bersikap biasa saja. Seolah yang tadi itu hanya mimpi. Dia santai saja. Dia merangkul temannya dan tertawa.

Gue menatap bungkusan bakso dan gado-gado di tangan gue. Kemudian menatap potongan-potongan kertas berserakan di bawah sana. Dan mengingat ekspresi cewek itu. Kenapa ya, tiba-tiba gue merasa jadi enggak enak hati?

***

Gue akan ganti kata 'cewek itu' dengan Nayla. Karena biasanya gue selalu bilang 'cewek itu' dan 'cewek itu' kali ini gue akan mengatakan Nayla. Bukan karena apa-apa. Lama-lama gue merasa aneh aja menyebutnya 'cewek itu'.

Ugh!

Cewek itu lama banget! Nayla lama banget! Gue udah hampir nungguin di sini lima belas menit. Gue paling benci disuruh menunggu.

Tidak lama kemudian, dari arah kejauahan gue melihat seseok cewek berlari. Kunciran rambut ekor kudanya bergoyang-goyang, mengikuti irama langkahnya yang cepat.

Gue berdecak kesal.

"Lama amat sih!"

Nayla terengah-engah. Dia berusaha mengatur nafasnya.

"Ma...af."

"Udah ayo!"

Baru beberapa langkah, tangan gue ditahan.

"Eh! Aku mau ngomong."

Gue mengangkat alis. Apa enggak bisa berbicara di mobil aja?

"Aku berangkat sendiri ke sana. Aku harus ngerjain resensi buku dari Bu Husna dulu. Nanti aku susul ke sana."

Gue terdiam sebentar. Dia dihukum?

"Kapan lo ada di sana?"

"Jam lima."

"Enggak! Setengah lima!"

Nayla langsung diam. "Iya, iya setengah lima," katanya akhirnya.

Gue mengangguk setuju.

"Okey setengah lima di sana. Lo enggak dateng lihat aja."

Nayla mengangguk. "Oke! Udah gue duluan. Bye!"

Dia melambaikan tangan dan kemudian berlari-lari. Gue menatapnya datar. Apa dia enggak sadar dia dari tadi mendapat tatapan nanar dari gadis - gadis yang berkeliaran di sini? Dia terlihat enggak peduli. Dia bahkan enggak terbebani dengan hukuman itu. Dia hanya menganggguk patuh menuruti perintah gue.

Cewek itu emang susah dimengerti.

***

Meskipun udah janjian jam setengah lima sore, Nayla tetep aja baru sampai di tempat latihan jam lima sore. Kalau udah jam segini ngapain juga dia dateng. Gue udah bawa buku gue sendiri. Gue udah ngerapihin barang gue sendiri. Tapi karena gue lihat wajahnya udah suntuk gitu, jadi gue tetap suruh dia masuk, tanpa gue omelin. 

"Bikinin kopi." 

Nayla menatap gue sejenak. Meskipun gue tahu dia suntuk, bukan berarti dia bisa bebas di sini. Duduk di sofa kesayangan gue yang gue rela didudukin dia sejak kemarin. Tanpa berkata apa-apa, cewek itu langsung melakukan apa yang gue perintah. 

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang